(Isi hati: Orang tidak bakal pernah tahu kalau tidak dikasih tahu)
Ada kelegaan tersendiri bagi Gusti karena hari ini Seruni tidak masuk kuliah. Tubuhnya belum fit untuk beraktivitas di kampus. Bukan, Gusti bukan bersyukur karena dia masih sakit, tetapi absennya Seruni bikin Gusti sanggup memenuhi tuntutan Lian.
Sore itu, Gusti telah duduk di rooftop andalan, tempat dia dan Seruni menghabiskan waktu senja bersama. Namun, kali ini Gusti melakukannya bersama Lian dan sebotol air mineral.
"Liat dong, Gus," pinta Lian. Gusti mengarahkan ponselnya ke matahari.
"Podo wae kan, Li?"
"Mungkin mataharinya sama ya, Gus. Tapi yang bikin beda adalah dengan siapa kita melihatnya." Lian tersenyum, pipinya memuai.
Gusti memelotot. "Habis nyikat kopi segalon, Li? Ujug-ujug nge-quote."
"Biarin, Rojak!"
Gusti membuka botol air mineral kemudian menenggaknya.
"Gus, aku mau jujur nih," Lian mengucap dikala Gusti masih minum. "Sebenernya ya, Gus, aku punya perasaan sama kamu."
Air yang masih di mulut Gusti langsung muncrat dengan jaya. Dia heran mengapa orang senang sekali mengagetkannya tepat saat mulutnya sibuk menelan sesuatu.
"Ma-maksudmu, Li?" tanya Gusti setelah memastikan aliran pernapasannya aman terkendali.
"Aku ya, hmm, gitulah," ungkap Lian sambil berusaha menyembunyikan gurat-gurat malu di wajah. Matanya dikuat-kuatkan tetap menatap Gusti. "Aku yakin, kamu udah paham waktu kamu ta' minta mikirin kemungkinan pertemanan kita naik jenjang."
Lian benar. Sejak perpisahan di bandara, Gusti tidak sebodoh itu untuk menampik fakta bahwa Lian punya rasa terhadapnya. Hal itu terus membombardir otak. Padahal, Gusti berusaha menghapus dan menghindar untuk memikirkannya. Dan, penyataan cinta yang blak-blakan ini bikin Gusti makin pening.
"Dari kelas 1. Dari cinta monyet sampai sekarang monyetnya wis jadi gorila."
Mampus. Kalau Lian menyukainya sejak usia puber, bagaimana cara dia mengelola perasaan kala menghadapi Gusti yang tengah jatuh ke hati yang lain? Mendengar itu, rasanya ada seribu pleton pasukan semut yang merayap dari ujung kakinya ke seluruh badan.
"Aku ngerti kok, waktu itu perasaanmu bukan buat aku. Aku nyerah. Bahkan, aku jadi benci banget sama Seruni, sama kebucinan-mu itu," tutur Lian menambah beban di kepala Gusti. "Tapi mau gimana lagi? Toh, waktu itu persahabatan kita jauh lebih penting ketimbang perasaanku. Berteman udah bikin aku happy."
"Kenapa baru cerita sekarang, Li?
"Ternyata, terpisah jarak itu nyebelin, Gus. Sebelumnya kamu ada di dekatku hampir tiap hari. Dan sekarang, tiga bulan ini kamu ora ono. Ngejalaninnya enggak semudah yang aku kira. Jadi, kayaknya aku harus berani ngungkapin semuanya."
Perasaan Gusti campur aduk seperti es teler. Rasa bersalah menerobos dada bersamaan dengan kebingungan dalam bersikap. Jika bertanya pada nurani, Gusti menyadari bahwa apa yang dilakukan selama ini, kebohongan demi kebohongan yang dia sampaikan, jelas bakal melukai Lian sangat dalam.
"Apa ini bikin kamu enggak nyaman?"
Gusti menggeleng tanpa kuat untuk berkata.
"Terus, gimana dengan kamu, Gus?"
****
Catatan kaki:
*)Sama saja
KAMU SEDANG MEMBACA
Cilok dan Ramen (TAMAT)
RomanceGusti kaget waktu Lian bertanya, "Gus, mungkin enggak persahabatan kita berakhir ke pelaminan?" Jelas Gusti terkejut. Sebab, Lian adalah sahabatnya sejak remaja. Sahabat kental! Belum tahu harus menjawab apa, pertanyaan itu Gusti biarkan menggantung...