Bab 16: Mana Janjimu, Gus?

64 8 0
                                    

(Janji: Di awal begitu menggoda, ketika ditagih tiba-tiba amnesia)


Gusti mengempaskan diri ke kasur kamar. Dipan berderit, sepertinya protes ada makhluk seberat delapan puluh lima kilogram menerpa secara kurang berperikekasuran. Gusti memandangi langit-langit kamar dengan senyum, seperti remaja yang baru tahu bahwa sosok yang ditaksir ternyata tidak menganggapnya sebagai lumut. Bayangan Seruni memegang tangannya masih memantul di kepala. Dulu, boro-boro berpegangan tangan, bisa berpapasan saja Gusti langung pesta kambing guling.

~Drrrt~

Ponsel Gusti bergetar. Lian memang paling mahir merusak lamunannya.

"Hai, Li." Gusti merasa jahat jika kembali mengabaikannya.

"Kayanya sibuk banget nih Kaisar Hirohito," celetuk Lian dengan wajah yang cerah. Manis sekali. Mood-nya terlihat baik.

"Kaisar Hirohito udah meninggal dari kapan tau, Li."

"Kapan?"

"Tauk!"

Lian ngakak.

"Seneng banget, Li. Habis liat artis ya?"

"Aku ora doyan artis. Lebih doyan duit."

Lian kemudian bercerita hari ini pengunjung kafe meningkat drastis setelah berhasil menjalin kerja sama dengan salah satu startup uang digital dalam hal pemberian potongan harga kepada para konsumen.

"Semoga pada sering-sering bakar duit. Bisa sugih aku, Gus!"

"Jangan takabur, anak muda," komentar Gusti renyah.

"Kalo kamu gimana, Mahmud? Kayaknya padet banget kegiatanmu? Video call-ku sejam yang lalu dicuekin."

"Oiya, tadi kamu kontak ya?" Gusti pura-pura lupa. "Sorry, tadi aku lagi ke konbini sama Herman, beli sayur."

"Kon... opo?"

"Konbini. Minimarket, Li."

"Duh Gusti, guayamu sok Jepang banget. Terus, seharian ngapain aja?"

Gusti yang paham betul bahwa berterus terang hanya akan berujung luka tusuk, secara sadar memilih untuk mengibul.

"Biasa, Li. Banyak paper yang harus ta' reviu."

"Edan, padahal kamu itu deadliner sejati. Tugas sore dikumpul, siang baru bergerak."

"Jepang uwis menempaku."

Lian menjulurkan lidah. Meledek.

"Eh, Gus. Katamu, aku mau ditunjukin tempat yang bagus-bagus? Mana?" Lian menagih janji. Gusti langsung merinding. "Ini udah jalan dua bulanan lho, enggak mungkin dong kamu cuma nyembah kulkas di dalam kamar?"

Pertanyaan sesederhana itu nyatanya bikin Gusti tertekan. Dia memutar kepala, dan dengan sembrono menjawab, "Nanti deh, ta' ajak ke rooftop kampus. Ngelihat sunset."

Dan, Gusti menyesal.

"Sunset? Wow, mau dong, Gus, diajak ke sana!"

Gusti garuk-garuk kepala. Buat Lian, sunset bukan hanya fenomena alam, tetapi lebih dari itu. Matahari terbenam sudah memberinya satu kenangan yang sulit dilupakan.

****

Cilok dan Ramen (TAMAT)Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang