("Resep andalan: Tatacara meracik masakan yang di dalamnya terdiri dari 20% bahan baku, 20% langkahmemasak, 60% ungkapan perasaan")
Minggu pagi yang biasanya Gusti habiskan untuk tidak melakukan apa pun di atas kasur, kali ini dimanfaatkan untuk mencicil berkemas. Di hadapannya sudah terbuka koper besar yang sepertinya cukup untuk menampung—selain barang-barang utama—2 ekor kucing anggora. Jadwal keberangkatannya memang masih tiga hari lagi, tetapi berkemas sedini mungkin dilakukan untuk meminimalisasi risiko barang tertinggal. Gusti sudah menetapkan komposisi barang bawaannya: 65 % persediaan pangan, 30 % sandang, dan 5 % barang-barang printilan. Sekarang, setengah kopernya sudah terisi makanan instan, bumbu instan, kopi kemasan, teh celup, dan berbagai kudapan kering hasil berbelanja bersama Lian. Gusti benar-benar bisa membuka warung di sana.
Logistik sudah, sekarang saatnya beralih ke pakaian. Ketika hendak memasukkan celana dalam, tiba-tiba alis Gusti naik saat melihat Ambar, ibunya, memasukkan seikat petai ke dalam koper.
"Ibuuuk, Gusti kan mau ke Jepang, bukan ke Kebumen. Ya masa bawa pete?"
"Di sana kan ora ono pete, Gus?" Ambar masih berkeras. "Emange kamu bisa hidup tanpa pete? Wis toh, selipin aja di mana gitu."
"Iya juga ya." Sedetik kemudian Gusti sadar kalau itu tetaplah ide buruk. "Eh, enggak-enggak! Bawa hasil bumi kan dilarang, Bu," sembur Gusti sambil mengembalikan petai itu kepada ibunya.
"Kalau jengkol, Gus?"
"..."
"Yo wis, Ibu kasih ke Lian saja. Nanti anak mantu Ibu main ke rumah, toh?"
Gusti menjawab dengan anggukan. Panggilan anak mantu untuk Lian sudah bukan hal yang asing di telinga Gusti. Dari situ jelas bahwa Ambar menaruh harapan agar mereka jadi suami istri. Dan, apabila nama Lian sudah keluar dari mulut Ambar, maka obrolan selanjutnya sudah dapat Gusti tebak.
"Kamu enggak ada pikiran buat nembung* Lian, Gus?"
Tidak ada respons dari Gusti hingga Ambar melanjutkan kalimatnya. "Umurmu wis 28 lho, Gus. Ibarat mangga, wis mateng di pohon itu. Nunggu opo meneh**? Nyari siapa lagi?"
"Lian kan temenku, Bu." Untuk kesekian kalinya Gusti mengeluarkan jawaban sama.
"Ibuk enggak lihat itu sebagai masalah, Gus. Lian itu baik, pinter, nyambung, dan yang jelas wis ngerti kamu. Dalam pernikahan, justru itu yang penting. Lihat bapak dan ibukmu iki, bisa bertahan gara-gara itu semua."
"Bukan karena tresno?"
"Tresno itu tumbuh seiring waktu, dan biasanya jenis tresno seperti itu yang abadi."
Gusti menghela napas. Lelah mendengar nasihat pernikahan yang berulang-ulang.
"Piye? Kalau kamu mau, sekarang Ibuk sama Bapak langsung berangkat ngelamar."
"Ibuk, Gusti itu—"
Kalimat Gusti terpotong seiring kedatangan Lian dari arah ruang tamu. Gadis itu pun menyapa, "Assalamualaikum, Ibuuk." Persahabatannya dengan Gusti sejak remaja telah meruntuhkan sekat dengan keluarga pria itu, sehingga dia bebas masuk tanpa diteriaki maling. Lian pun segera meraih tangan Ambar untuk salam cium tangan.
"Eh, Lian. Panjang umur, Nduk***. Ini pete buat kamu"
"Eee... ma-matur nuwun, Bu."
Lian tidak pernah siap ujug-ujug dikasih petai segar.
"Anak mantu ibuk makin cantik saja."
Dipanggil anak mantu, Lian senyum-senyum sendiri sambil menyelipkan amin di dalam hati. "Pasti Ibuk lagi ngomongin Lian ya?"
"Iya, ibuk kasihan sama kamu." Ambar membelai rambut Lian. "Enggak apa-apa toh, ditinggal Gusti setahun?"
"Enggak apa-apa, Bu. Itung-itung detoks," canda Lian. Padahal, hatinya perih.
Gusti memelotot. "Semprul! Emangnya aku zat racun."
Tak ingin mengganggu mereka bercengkrama, Ambar pun undur diri. Lian sempat menahannya, tetapi Ambar beralasan bahwa dia hendak pamer ke para tentangga bahwa tiga hari lagi, anak semata wayangnya bakal pergi ke Jepang. "Oya, tolong bantuin Gusti berberes yo, Nduk. Packing dari zaman perang Diponegoro kok enggak selesai-selesai," ucap Ambar sebelum berlalu.
"Juki, mana aja barang-barangmu? Sini ta' bantu masukin."
Gusti memberikan pada tumpukan kemeja, kaus, celana dan, ah... tiba-tiba dia malu melihat tumpukan terakhir. Celana dalam. "Kalau yang ini aku masukin sendiri ya, Li."
"Wis, sekalian aja!" raih Lian.
"Tapi itu belum dicuci."
"Kyaaa!!!" Dan, celana dalam Gusti berhamburan ke mana-mana. Gusi memunguti satu demi satu sambil terbahak. Lian membalas dengan menjambak rambut keriting Gusti. Cengkraman dilepas setelah Gusti menjelaskan bahwa itu hanya guyonan. Setelah situasi kembali kondusif, Lian dengan gesit langsung beraksi. Memang, dalam hal memasukkan barang-barang ke koper, pria membutuhkan sentuhan wanita. Sudah tiga puluh menit Gusti melakukan bongkar pasang, tetapi rasanya tidak sreg. Ajaib, Lian hanya butuh lima menit dan voila, misi selesai. Rapi pula.
"Ini udah aku kasih space untuk barang-barang yang belum kamu masukin ya, Gus."
"Hebat!" Jempol Gusti mengacung. "Itu kebetulan di belakang ada Gajah Way Kambas, Li. Bisa enggak dimasukin sekalian?"
"Jangankan Gajah, Gus. Trauma masa kecilmu bisa juga ta' masukin ke sini!"
Gusti tertawa. Lian senang melihatnya. Selang sedetik kemudian, ada sesak yang muncul di dada ketika ingat bahwa setelah tiga hari, tidak ada lagi sesi canda secara langsung seperti ini. Oke, bercanda via video call tetap bisa dilakukan. Namun, rasanya tentu beda. Bercanda lewat saluran internet penuh keterbatasan. Salah satunya, dia tidak bisa mencubit lengan Gusti. Dia juga tidak bisa merasakan bagaimana jemari Gusti merangsek sela-sela rambut pendeknya, lalu mengacaknya. Seperi saat ini.
"Udah ah!" Lian lantas mengeluarkan kotak makan dari dalam tasnya. Isinya jelas, makanan favorit Gusti.
"Waah, cilok!" Gusti langsung menyambar kotak itu dan melahap satu butir cilok. Matanya memejam. Buatnya, cilok buatan Lian adalah salah satu makanan surga. Perlahan ekspresi Gusti berubah lesu.
"Kenapa, Gus? Enggak enak ya?"
"Di Jepang nanti kalau aku kangen sama cilokmu, piye?"
Enggak kangen sama yang bikin, Gus?
"Tenang aja, nanti ta' tulisin resepnya ya."
Senyum Gusti merekah bersama anggukan. Lian senang. Setidaknya, walau nanti jarak membentang, dirinya bisa tetap hadir membersamai Gusti melalui resep itu. Dan, per-cilok-an ini bukan sekadar makanan favorit Gusti. Ia lebih dari itu. Ia menyimpan kenangan yang membekas di hati Lian. Kenangan masa remajanya.
***
Catatan kaki:
*Nembak
**Apa lagi
***Panggilan anak cewek
KAMU SEDANG MEMBACA
Cilok dan Ramen (TAMAT)
RomansaGusti kaget waktu Lian bertanya, "Gus, mungkin enggak persahabatan kita berakhir ke pelaminan?" Jelas Gusti terkejut. Sebab, Lian adalah sahabatnya sejak remaja. Sahabat kental! Belum tahu harus menjawab apa, pertanyaan itu Gusti biarkan menggantung...