("Harapan: Kata orang bijak sih jangan putus harapan. Tapi, kadang hasilnya bikin mules")
Botol kecap di tangan Gusti terlepas kemudian jatuh ke troli. Genggamannya melemas waktu mendengar pertanyaan Lian. Melongo selama dua detik menjadi dampak lanjutan.
"Eh, piye*, Li?" Sebenarnya Gusti dengar, tetapi dia ingin lebih memvalidasi bahwa apa yang masuk ke dalam telinganya bukanlah bisikan gaib.
"Naryo, mungkin enggak sih persahabatan kita berakhir di pelaminan?" ulang wanita berambut sebahu itu setelah menghela napas.
Dahi Gusti berkerut. Perkara Lian suka seenak jidat mengganti panggilan Gusti, itu memang tabiatnya. Yang jadi masalah, sejak bersahabat dari remaja, baru kali ini dia bertanya seekstrem itu. Jeda pun mengambang di antara tatapan mereka. Jeda yang diisi pengumuman anak hilang lewat pengeras suara. Jeda yang juga diisi deham ibu-ibu yang pengin mengambil botol saus tomat di rak. Setelah sadar sudah mengganggu mobilitas pengunjung lain, Gusti dan Lian melanjutkan langkah.
"Kok nanya begitu, Li?"
"Kemarin aku ke nikahannya Puan, Gus, temen zumbaku. Dia nikah ama sahabatnya." Sejenak telunjuk Lian mengetuk pegangan troli. "Jadi ya, kepikiran aja. Random banget ya, pikiranku?"
"Puan Maharani kan udah punya suami?"
"Ora** lucu!" pukulan melayang ke bahu gemuk Gusti. Gusti meringis nakal.
Bisa-bisanya pria itu bercanda. Padahal, gadis Sleman itu sudah mengumpulkan gundukan keberanian untuk mengutarakan pertanyaan itu. Andai ada alat yang bisa mengukur rasa malu, saat ini level malu Lian berada di level 75 persen. Jadi, sebelum mencapai 100 persen, Lian segera ganti topik dengan mengambil satu sachet bumbu instan nasi goreng. "Rojak, butuh berapa iki?"
Gusti menjawab tiga puluh renteng. Mata belok Lian membesar, alis tipisnya terangkat.
"Kamu mau kuliah S2 atau buka warung nasi goreng sih di sana?"
"Harga makanan di Jepang mahal, Li. Kalau mau hemat yo kudu masak."
"Tapi kalo tiap hari makan nasi goreng, ususmu bisa kribo, Gus!"
"Aku selang-seling kok."
"Sama opo?"
"Indomie."
"Bodo amat!" Lian melempar satu demi satu renteng bumbu nasi goreng instan ke troli dengan bibir mengerucut. Gusti menyengir kuda.
Dalam hitungan hari, mereka bakal berpisah. Gusti mendapatkan beasiswa double degree buah kerja sama antara Indonesia dan Jepang. Program ini mengharuskan Gusti menempuh masa studi setahun di Yogyakarta dan setahun di Tokyo. Fase pertama di dalam negeri telah selesai dilalui, dan kini pria chubby itu siap menghadapi gerbang selanjutnya. Gerbang yang membuat Lian gulana, tanpa disadari Gusti.
Perempuan itu pernah iseng mengakses Google Maps untuk mendapatkan informasi tentang seberapa jauh sebenarnya Sleman-Tokyo. Ternyata, butuh 170 hari untuk sampai di Tokyo dengan berjalan kaki. Itu pun tanpa ishoma. Pokoknya, jalan terus. Kalau naik pesawat, butuh sekitar 7 jam tanpa transit dari Jakarta, setara dengan 7 episode drama Korea. Duh, mau 170 hari atau 7 jam, kesimpulannya sama, sama-sama jauh! Lian sejatinya tidak rela. Namun, dia bisa berbuat apa? Untuk itulah, Lian ingin lebih banyak menghabiskan waktu dengan pria tembem berkacamata itu sebelum berpisah. Dan, menemani berbelanja perbekalan adalah salah satu cara paling logis, walau dalam hati dia mempertanyakan niat Gusti memenuhi koper besarnya dengan bahan makanan instan.
"Jadi..., mungkin enggak, Gus, kita seperti Puan?" tanya Lian lagi. Andai Gusti menjawab dengan guyonan, Lian tidak tahu mau menyembunyikan mukanya di mana lagi.
"Kemungkinan selalu ada." Gusti garuk-garuk hidung. "Itu kan kuasa Tuhan, Li. Emangnya kamu bisa tahan hidup sama aku? Aku kalau tidur nyanyi lho."
"Tinggal ta' sumpel mulutmu pakai kanebo."
"Sadis."
Bagi Gusti, semua adalah canda. Bagi Lian, itu harapan.
****
Catatan kaki:
*Bagaimana
**Enggak
Author's note: Terima kasih udah berkenan baca Bab 1 Cilok dan Ramen. Semoga cerita dan komedinya masuk yaaa, hehe. Anyway, karena tokohnya adalah Mas-mas dan Mbak-mbak Jawa, sebisa mungkin aku kasih catatan kaki untuk beberapa istilah bahasa Jawa. Selamat mengikuti cerita Cilok dan Ramen!
KAMU SEDANG MEMBACA
Cilok dan Ramen (TAMAT)
RomanceGusti kaget waktu Lian bertanya, "Gus, mungkin enggak persahabatan kita berakhir ke pelaminan?" Jelas Gusti terkejut. Sebab, Lian adalah sahabatnya sejak remaja. Sahabat kental! Belum tahu harus menjawab apa, pertanyaan itu Gusti biarkan menggantung...