(Di tengah sidang, semua akan diputuskan apakah berakhir cerita atau bencana)
Gusti keluar ruang sidang dengan wajah sedatar tripleks. Ibarat pendekar yang mengalahkan pasukan musuh, Gusti telah mengatasi seteru terbesar walau dengan kondisi tercabik. Sulit untuk tampil maksimal kala pikiran masih disesaki problema asmara.
"Piye, Gus?" tanya Herman setelah lima kali bolak-balik toilet karena cemas. Setelah ini gilirannya maju.
"Syukurlah, Her. Lolos tapi revisinya segambreng."
"Alhamdulillah. Allah pasti bersama kita." Saat-saat terjepit Herman memang selalu mengingat Tuhan. Dia lalu kembali berlalu-lalang menenangkan diri dan sesekali bernyanyi.
"Potong beb—"
"Herman-san, your turn." Panggilan Orihara-san yang ditugaskan menjadi staf teknis sidang tesis memangkas nyanyian Herman.
"YES MADAM!" Kegugupan bikin suara Herman melengking dengan janggalnya.
Selepas Herman masuk ke ruangan, Gusti turun gedung untuk mencari Seruni. Musim sidang bikin kampus pagi itu tidak ramai. Hanya ada segelintir mahasiswa yang lalu lalang dengan mengenakan busana musim panas. Hal tersebut memudahkan radar Gusti untuk segera menemukan Seruni. Wanita itu tengah duduk di satu bangku di bawah pohon momiji yang daunnya masih hijau.
"Nunggu lama ya, Ni?" Gusti basa-basi.
Seruni hanya menjawab dengan alis yang terangkat cepat. Tidak ada senyum, tidak ada lesung pipi. Anyep.
"Tadi malam Uni ketemu dengan Lian."
"Hah?"
****
Seruni dan Lian, tadi malam.
Punya pengalaman kandasnya hubungan dengan berbagai mantan tidak bikin Seruni mudah dalam menghadapi kejadian tadi. Rasa sakit hati dengan kelakuan Gusti, yang bercampur dengan rasa bersalah terhadap Lian, merunjam batinnya. Gusti memang bilang kalau Lian sekadar sahabat, tetapi jika itu fiktif belaka, artinya Seruni adalah pelakor. Dan, dia tak pernah mau menjadi pelakor! Seruni juga wanita, dia paham bagaimana rasanya diselingkuhi. Kini, dia berdiri di depan kamar 303 untuk melucuti rasa bersalahnya.
Wajah yang dicari muncul setelah Seruni menekan tombol bel di sisi kanan pintu. Seruni iba melihat keadaan teman lamanya itu. Aroma keterpurukan begitu nyata. Matanya sembab seperti habis diamuk massa. Pipinya masih tampak basah.
"Boleh Uni masuk, Li? Uni pengin ngobrol."
Lian memandangnya malas. Mengapa dia harus bertemu dengannya lagi?
"Please...." Seruni memohon. Lian mengangguk lemas. Toh, bagi Lian semua sudah selesai.
"Dari mana kamu tau aku nginep di sini?" tanyanya setelah mempersilakan Seruni duduk di pinggir kasur.
"Uni minta Mas Herman ngejar Lian." Seruni menangkap ketidaknyamanan Lian. "Sorry...."
Lian kemudian beranjak mengambil satu botol air mineral dan memberikannya kepada Seruni.
"Thanks. Uni ke sini mau minta maaf sama Lian," ucapnya tulus, berusaha membuat Lian senyaman mungkin. "Uni enggak tahu kalau kalian tuh punya hubungan. Selama ini, Gusti ngakunya jomlo."
"Bukan salahmu kok," jawab Lian sambil menarik ingus di hidungnya. "Mungkin juga bukan salah Gusti."
"Hah?"
"Tapi salahku," sambung Lian. Dia menunduk sambil memilin ibu jari tangannya. "Hubungan kami cuma sahabat kok, Un. Ya, aku memang punya rasa ke Gusti. Udah aku nyatain, tapi memang belum ada jawaban dari dia. Semua masih menggantung."
KAMU SEDANG MEMBACA
Cilok dan Ramen (TAMAT)
RomanceGusti kaget waktu Lian bertanya, "Gus, mungkin enggak persahabatan kita berakhir ke pelaminan?" Jelas Gusti terkejut. Sebab, Lian adalah sahabatnya sejak remaja. Sahabat kental! Belum tahu harus menjawab apa, pertanyaan itu Gusti biarkan menggantung...