[ 3 ] 💖

32.2K 2.3K 188
                                    

Hembusan angin malam mebuat salah satu tirai putih tersingkap, Agasta buburu buru bangkit dari ranjang menutup jendela kamarnya.

Tidak seperti malam biasanya ia akan membiarkan angin malam masuk di temani sinar cahaya lampu yang temeram, kali ini ia menyalakan lampu agar putrinya tidak takut jika tidur berasama dengannya malam ini.

Ataupun Agasta akan pindahkan tempat tidur putinya di sini, sebelum usianya memasuki tujuh tahun. Ia hanya ingin membayar waktu yang telah Agasta sia siakan bahkan tadi si mungil sempat menagis.

Terus mengulang kata "bubu, Anya au kut bubu"

Agasta dengan sikap kaku dan dinginnya perlahan mencoba menenangkan putrinya dengan pelukan dan kecupan yang terus ia layangkan untuk putrinya ini.

"Ayah disini sayang bersama Anya" kalimat penenang yang beberapa menit lalu sempat ia ucapkan tidak berpengaruh pada putrinya.

Sampai akhirnya ia memilih memanggil salah satu Maid yang ia perintahkan khusus menjaga putrinya.

Terilhat tangan gempal nya yang menepuk nepuk bingkai foto sang istri yang ia berikan dengan ukuran kecil.

Seravina mengelus surai halus nonanya, sebenarnya ia sempat kaget ketika tuannya memanggilnya masuk dan melihat si mungil sudah di gendongan tuannya dalam keadaan menangis"Tuan, nona hanya ingin menyentuh foto ibunya sebab pernah beberapa hari lalu saya menemukan foto Almarhum nyonya di gudang. Saya memberi pengertian bahwa foto itu ada ibunya"Seravina mengalihkan tatapan matanya dari Agasta yang beralih pada si mungil mengecup gemas pipi gembulnya.

Sedangkan si mungil asik mengelus foto ibunya bibirnya bergetar akhirnya ia bisa melihat foto ibunya di dunia ini.

"Bubu... Bubu... Bubu..." ia terus mengulang kata yang sama di peluknya bingkai foto mini itu.

Setidaknya ia tau rupa ibunya di dunia ini, dan ia bisa memeluknya meskipun bukan raga tapi hati merasa senang.

Mata Agasta terlihat berair tak luput dari pandangan Seravina, Apa mungkin tuannya sudah menyesal memperlakukan putrinya, bagaikan orang asing di rumahnya sendiri.

Agasta tidak bisa membayangkan penderitaan putrinya jauh lebih sakit di bandingkan dirinya.

Sedari lama Seravina ingin mengatakan sesuatu yang mengusik pikirannya, dan tuannya layak tau, tentu seseoramg yang berdiri di ambang pintupun berhak tau.

Agar hatinya lega dan penderitaan nona mudanya berhenti sampai disini"Saya juga ingin memastikan sesuatu mungkin kata kata saya terkesan lancang. Apa tuan sudah menerima kehadiran nona?"

Agasta menoleh menatap dingin Seravina kemudian beralih pada putrinya, berjalan mendekat mengambil alih Anya dari Seravina"hmm, jadi apa tujuanmu menayakan hal itu?"si mungil yang kembali di gendong Agasta menyenderkan kepala di dada bidang Ayahnya dengan sebelah pipi gembulnya yang terhempit membuat bibirnya kecilnya sedikit mengerucut terlihat lucu.

Dan hal itu Menghadirkan rasa gemas seseorang yang berdiri di ambang pintu, perasaan sekarang tak jauh berbeda dengan Ayahnya mengenai pembunuh kecil ibunya itu.

Seravina menghelanafas gugup di perhatikan empat mata tajam yang menuntut jawaban darinya, membuat atsmofer sekitarnya terasa mencekik baginya"Saya hanya ingin bilang tolong jangan lagi membentak nona muda, saya hanya ingin mewanti wanti, jika Anyaku mendegar suara bentakkan badannya akan bergetar hebat bahkan suhu tubuhnya akan lansung naik"

"Dan maaf saya lancang pernah membawa nona tanpa izin dari anda keluar menemui dokter, Saya khawatir saat itu dan panik melihat kondisinya"

Agasta mendegarkan dengan baik penuturan Seravina, ia kembali mengecup pucuk kepala putrinya dengan rasa khawatir hingga perkataan terakhir mengejut
kannya.

"Nona Anya mengalami Trauma tuan Agasta" ucap Seravina menggigit bibirnya. Sungguh jika mengingat masa itu membuat air matanya menetes.

Agasta terdiam dengan tatapan yang terlihat bergetar, semakin mengeratkan pelukannya"La-lalu apa lagi?"ucapnya.

Seravina menggeleng, menghapus air matanya ketika si mungil menatapnya bingung, memberi senyuman pada si mungil kesayangannya"Anda berutung memilki putri yang sangat kuat, meskipun Anyaku memiliki Trauma ia tetap ceria, dengan segala keatifan dan tingkah menggemaskannya yang selalu menghiburku"

"jika penyesalan anda terlambat mungkin saja anda bisa kehilangan putri anda"

~000~

Pagi ini Mansion di isi keheningan tepatnya di meja makan ke empat pria berbeda usia itu tenggelam dalam pikiran mereka masing masing.

Terutama Agasta bahkan semalam pria itu menangis kembali ketika melihat putri kecilnya tertidur dalam dekapan hangatnya.

Perkataan Maid itu membuatnya di landa rasa takut, takut kehilangan putrinya.

Sementara si mungil sudah asik memakan sarapanya di pangkuan sang Ayah, ketiga pria yang merangkap sebagai abangnya memperhatikan kecerian yang di tunjukkan si mungil.

Makhluk kecil itu begitu menderita di bandingkan mereka sudah kehilang sang ibu bahkan belum sempat merasakan kasih sayangnya malah mendapatkan kebencian dari mereka di tambah rasa trauma yang di tutupi oleh senyumannya itu.

Alaska merenungi semua yang telah ia lakukan bahkan ucapan kejam pernah ia lontarkan pada Makluk kecil itu tak jauh berbeda dengan pikirannya kedua adiknyapun memikirkan hal yang sama.

Mengapa mereka bisa tau? Alaska yang berdiri di ambang pintu malam itu, dan kedua adiknya Xavier, Aidan hendak mengadu pada sang Ayah setelah pertengkaran mereka, langkah mereka terhenti di ambang pintu tepat di belakang Alaska.

Berbeda dengan Alaska yang nemilih menetap, Aidan, Xavier setelah mengetahui semuanya langsung berbalik arah memasuki kamar mereka masing masing dengan perasaan campur aduk.

"enyak tue nya au?" tawar si mungil pada ketiga pria yang tengah menatapnya sedari tadi.

Si mungil berpikir bahwa mereka mengingkan kuenya.

Agasta tersadar dari lamunanya menunduk ketika tagan gempal putrinya berlumuran cream kue, menyodorkan makanannya pada salah satu dari ketiga putranya.

Sedangkan ketiganya menggigit bibir dalam mereka, takuat dengan kegemasan di depan mata mereka bagaimana mata polos dan tangan gempal itu memberikan kue yang berukuran kecil bagi Ketiganya.

Begitu bodonya mereka meyianyiakan adiknya yang menggemaskan ini.

Agasta terlebih dulu mengabil tisu untuk mengelap wajah putrinya yang berlepotan, sementara si mugil memandang wajah tampan Ayahnya dengan mata bulatnya"kenapa sayang melihat Ayah seperti itu hmm?" tanya Agasta dan ketiga putranya memilih diam memperhatikan.

"mimi num mimi~"




•••••

GOOD NIGT🌛

Buat salah satu kalian yang bertanya, kak biasanya upnya setiap hari.
"sayangku, Day sekarang sibuk sama kerjaan di tambah alhamdulilah ngajar ngaji anak anak setelah magrib" lumayan dapet jajan tambahan😅
Untuk soal up pasti Day up ko.

160vote + spam nexnya 100

Votenya ❤
See you nex time🤚

Family Possessive [ END ]Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang