Tiga

23 4 1
                                    

Tia bukannya tidak ingin menikah atau menutup dirinya dari laki-laki yang segaja ayah atau kakaknya kenalkan padanya. Hanya saja, Tia muak dengan laki-laki yang mendekatinya. Mereka selalu punya tujuan lain. Entah itu hanya dijadikan bahan taruhan karena Tia yang memang apatis terhadap laki-laki atau karena menjadikan Tia pacar memiliki keuntungan meningkatkan kepopularitasan mereka.

Karena itu, hal pertama yang dilihat Tia ketika berkenalan dengan seorang laki-laki adalah apa yang dilihat laki-laki itu pada dirinya. Dia akan lebih menghargai kalau laki-laki itu melihat matanya dan bukan dadanya. Oh, ayolah, dia tidak akan pura-pura bodoh dengan fantasi liar yang selalu dipikirkan laki-laki akan tubuhnya, dan dia muak.

Sayangnya, ada yang berbeda dengan laki-laki yang sekarang sedang berdiri di hadapannya. Tatapan tajamnya yang menatap Tia membuat Tia salah tingkah. Dia tidak pernah mendapat tatapan seperti itu sebelumnya, tatapan mengintimidasi juga tajam seakan-akan mata itu bisa melihat ke dalam Tia.

"Ada yang bisa dibantu Mas?" tanya Tia ketika laki-laki itu masih tidak mengatakan apapun setelah beberapa menit berdiri di depan pintu apartemen Tia.

Laki-laki itu mengerjap kemudian menggeser tubuhnya yang menghalangi pintu masuk apartemen Tia. "Maaf, saya pikir ini apartemen saya. Kayaknya saya salah lihat nomor kamar," jawabnya. Tatapanya tetap tidak beralih dari mata Tia. Membuat Tia lama-lama jengah juga dengan kelakuan laki-laki yang tidak dikenalnya ini.

"Oh, Masnya penghuni baru apartemen depan, ya? Apartemen yang dulunya punya Mbak Della?"

"Mbak Della kamar 1405? Iya, saya tinggal di sana sekarang."

Tia mengangguk kemudian membuka kunci pintu kamar apartemennya. "Kalau gitu saya masuk dulu. Selamat datang Mas--"

"Armand."

"--Armand. Saya Tia ngomong-ngomong."

Laki-laki itu tersenyum. Senyum pertama yang Tia lihat. Ada kerutan di ujung matanya ketika laki-laki itu tersenyum.

"Kalau begitu saya permisi. Maaf karena saya tadi salah kamar," pamitnya kemudian membuka pintu kamar yang tepat berada di seberang kamar Tia.

***

Armand hanya ingin bersenang-senang. Bebas dan tidak terikat dengan siapapun. Sayangnya, baik ayahnya maupun ibunya tidak ada yang mengerti dirinya. Apa salahnya masih lajang di umurnya yang ke 35. Dia laki-laki yang tidak memiliki target untuk menikah. Lagipula bukankah semakin tua maka akan semakin matang? Lagipula dia menyadari bahwa tidak akan sulit untuknya mendapatkan seorang wanita yang diinginkannya. Tidak pernah ada yang bisa tahan akan pesona Armand Kaisar Dirgantara.

Sayangnya, rencananya untuk melajang sampai dia berumur 40 harus gagal total karena ayahnya memblokir semua akses kartu kreditnya, belum lagi dia diusir dari rumah orangtuanya dan dilarang pulang sebelum dia mendapatkan wanita yang akan dinikahinya. Untung saja dia memiliki tabungan dari hasil freelancernya sebagai fotografer.

"Kamu udah ayah izinin buat gak bergabung ama perusahaan demi hobi foto-foto kamu," ucap ayahnya ketika Armand masih tetap ngotot kalau dia masih belum ingin menikah. Akhirnya dia hanya bisa pasrah dan mengikuti keinginan orangtuanya. Dan dia benar-benar harus mengucapkan terimakasih pada Nero karena laki-laki itu dengan sangat baik hatinya meminjamkan apartemennya pada Armand yang sebelumnya ditempati oleh kakak sepupunya.

"Ini kenapa lagi, gak mau ngebuka!" decaknya kesal ketika kunci yang dia masukkan ke kamar apartemennya tidak juga kunjung membuka. "Jangan-jangan si Nero boongin gue lag--" dumelan Armand terhenti ketika ada seseorang yang menyentuh bahunya.

Armand berbalik dan melihat perempuan dengan rambut kecoklatan dan mata dengan warna senada berdiri di hadapannya.

Anjir, apa Tuhan dengan baik hatinya ngirimin gue bidadari cuman karena gue gak bisa buka pintu apartemen? Batin Armand.

Wanita di hadapan Armand menatap Armand heran. "Ada yang bisa dibantu Mas?" tanya wanita itu.

Anjir, bener aja nih cewek kiriman Tuhan buat gue.

Armand melirik sekilas nomor kamar yang ada di seberang. 1406. Si anjir gue salah kamar?

Armand menelan ludah. Berusaha menghilangkan kegugupannya. Lagipula sejak kapan seorang Armand gugup di hadapan seorang perempuan?

"Maaf, saya pikir ini apartemen saya. Kayaknya saya salah lihat nomor kamar," jawabnya.

Setelah obrolan singkat dengan wanita di hadapannya yang ternyata memiliki nama Tia, Armand pamit dan segera menuju kamarnya. Benar saja, pintu itu dengan mudahnya terbuka ketika Armand memasukkan kunci kamarnya. Lagipula bisa-bisanya dia keliru melihat nomor kamar. Tapi mungkin ini petunjuk bahwa wanita yang dicarinya telah berada di hadapannya.

Armand merebahkan tubuhnya di ranjang kamar yang masih belum berseprai. Dia tersenyum kecil.

"I found you," gumamnya pelan.

***


The Lies Behind UsTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang