Dua

71 8 2
                                    

Entah sudah ke berapa kalinya Tia menumbukkan kepalanya pada meja kerjanya. Pasalnya, dia tidak mempunyai ide untuk desain pakaian musim ini. Tia memang bekerja di butik sebagai salah-satu perancang busana. Kalau ada yang bertanya padanya kenapa dia tidak membuat butik sendiri, hanya satu jawaban yang akan keluar dari mulutnya. Tidak ingin mengambil resiko. Bukankah lebih baik bermain aman daripada salah melangkah. Sayangnya lama-lama idenya hilang juga kalau begini. Bekerja di tempat yang sama tanpa ada motivasi membuatnya kehilangan seleranya sendiri. Apalagi dia bukan seorang jenius. Dia hanya si pekerja keras yang sedang kehilangan motivasi.

"Kenapa lagi lo, Ya?" tanya Dian. Perancang busana sama sepertinya. Sayangnya, ide-ide Dian selalu fresh dan mencengangkan; padahal Dian selalu bilang bahwa desainnya tidak lebih bagus dari milik Tia. Ha! Dasar tipe orang yang senang merendah untuk meroket.

"Gak napa. Lagi stuck aja," jawab Tia malas.

Dia mendorong kursi yang ada di samping meja Tia dan mendekat padanya. "Akhir-akhir ini lo lesu amat, tahu. Padahal gue gak sabar liat karya lo yang selalu menakjubkan."

Kan, kan. Ngejek lagi.

"Haha."

"Serius deh, Ya. Lo kenapa?" desak Dian.

"Bukan urusan lo ih, bisa pergi gak si? Gak liat orang lagi gak mau di ganggu apa?" usir Tia kesal.

Dian tergelak. Wanita ini memang tidak pernah mempan dengan sikap Tia yang kelewat jahat. "Lo dan temperamen lo itu, ya, Ya. Untung gue tahan temenan ama lo."

Tia mendelik. "Serah lo, lah."

Gelakan Dian berubah menjadi tawa. "Gue pergi dulu deh. Di suruh Mbak Siska buat nyerahin desain. Lo juga mending cepetan selesain, Ya. Lo tahu sendiri Mbak Siska kadang cerewet," ucapnya kemudian melangkah pergi ke ruangan Mbak Siska.

Tia menghela napas lagi. Sepertinya dia membutuhkan refreshing. Banyak sekali tekanan yang dia hadapi akhir-akhir ini. Keluarganya yang terus-terusan menuntutnya untuk menikah karena umurnya yang sudah bisa disebut perawan tua. 29 tahun. Belum lagi Mbak Siska yang akhir-akhir ini rewel karena banyak produk yang malah berakhir di penjualan cuci gudang karena tidak laku. Brand mereka memang tidak seterkenal Chanel atau Hermes, tapi setidaknya brand mereka sudah punya nama di kalangan masyarakat menengah ke bawah. Dan sepertinya, sekarang banyak brand baru yang lebih fresh. Hal ini sukses membuat Mbak Siska uring-uringan dan berdampak pada karyawan yang bekerja di sini.

"Tatiana! Saya gak gaji kamu buat ngelamun, ya! Ini udah lewat sehari dari deadline, dan kamu belum nyerahin desain kamu ama saya!"

Tia melonjak kaget ketika dia mendengar teguran Mbak Siska yang entah sejak kapan berdiri di depannya dengan wajah garang.

"Ma-maaf, Mbak," cicit Tia.

"Saya tunggu desain kamu minggu ini. Dan gak ada tambahan waktu," tegas Mbak Siska.

"Iya, Mbak."

Tia memandang kepergian Mbak Siska miris. Minggu ini berarti hari Jum'at dan sekarang sudah hari Rabu. Bagaimana caranya dia bisa mendapatkan ide dalam 36 jam ke depan.

Tia menarik napas panjang. Lagi. Lebih baik sekarang dia makan siang dulu. Kali aja dia bisa mendapatkan wangsit.

***

Dan wangsit yang diharapkan datang oleh Tia harus menunggu karena apa yang dia hadapi sekarang bukannya mendatangkan wangsit, tapi tekanan yang lebih berat. Memangnya siapa yang tidak tertekan ketika bahasan yang ingin kau hindari ternyata adalah pembahasan yang sedang booming.

Ratih, salah-satu desainer di butik, telah dilamar oleh kekasihnya, Azmi. Dan semua orang yang mendengarnya senang karena Ratih yang telah menunggu kekasihnya selama lima tahun ini, akhirnya menikah. Semuanya kecuali Tia.

Ratih bilang bahwa lamaran yang dilakukan tadi malam adalah lamaran paling romantis sepanjang masa. Bahkan keromantisannya mengalahkan keromantisan lamaran yang sering muncul di tv-tv atau novel-novel roman. Ratih cerita bahwa tadi malam ketika di pesta perayaan ulang tahun sepupunya tiba-tiba ada para sepupu yang lain memberinya bunga. Satu tangkai dari para sepupu. Di Setiap bunga pasti ada surat yang mengharuskan Ratih menghampiri sepupu yang lain. Setibanya di sepupu terakhir, bunga berikat kertas itu mengatakan bahwa dia harus pergi ke lobby. Di lobby hotel, dia menemukan setangkai bunga yang bertuliskan harus kemana Ratih pergi. Singkat cerita setangkai bunga itu membawanya ke rooftop. Dan apa yang dilihatnya di rooftop benar-benar membuat Dian dan Melati menahan napas karena saking terbuainya dengan cerita Ratih. Ratih bilang, dia sampai menguraikan air mata karena terharu. Iya, di rooftop Azmi duduk di depan piano. Lantainya di penuhi dengan bunga yang mengelilingi Azmi dan pianonya. Ketika Ratih datang, Azmi langsung menyanyikan lagu Marry Me dari Jason Derullo. Dan yang paling membuat pendengar cerita Ratih tercengang adalah munculnya kembang api yang bertuliskan 'Ratih, will you marry me.'

Semua bersorak.

Ratih cengar-cengir.

Dan Tia ingin muntah.

Ayolah, apanya yang romantis dari cerita Ratih yang panjang lebar seperti cerpen itu? Menurutnya, lamaran yang dilakukan Azmi tidak lebih seperti adegan di salah-satu novel-novel roman yang dibenci Tia.

Alay, lebay, dan membuat muntah.

"Terus, terus lo jawab apa, Rat?" tanya Melati antusias.

"Ya, gue jawab 'iya' lah, Mel. Lima tahun bo, gue nunggu dia lamar gue dan akhirnya dia lamar gue dengan cara teromantis sepanjang sejarah pelamaran perempuan," jawab Ratih tak kalah antusias.

"Duh, gue pengen deh dilamar kayak gitu. Kapan, ya Bima lamar gue," harap Dian.

"Bima mana, nih? Terakhir gue inget pacar lo kemarin si Rully, deh," tanya Melati.

"Rully kelaut kalee. Sekarang gue lagi nyoba gaet Bima. Dia anak Wolfox Studios. Perusahan pengembang game paling terhits dari lima tahun kebelakang."

"Emang dia mau ama lo, Yan?" dengus Tia akhirnya buka suara. "Seinget gue, anak-anak Wolfox itu punya selera tinggi. Mereka pada seneng cewek pinter daripada cewek yang punya badan doang," lanjut Tia.

"Arghhhhhhhh!!! Gue baru inget ipar lo kerja di sana, iya, kan?" jerit Dian, "bisa dong lo pura-pura ke sana nganterin bekal titipan kakak lo atau apa. Dan gue pengen ikut buat ketemu Bima."

"Kenalin gue juga dong ama anak Wolfox, Ya. Lo kan tahu gue masih jomblo gara-gara si kutu selingkuh. Urgh, padahal dia kissable banget tahu, gak," timbrung Melati.

Tia mendelik kesal. "Gue aja belom pernah kesana. Gaje banget gue kesana buat nganterin bekel. Lo kira kakak gue suka biarin lakinya kelaperan apa. Sinting." Tia bangkit dari duduknya dan menepuk punggung Ratih. "Thanks traktiran lo, Rat. Dan gue ikut seneng karena penantian lo berakhir. Gue pergi dulu, mau cari wangsit," ucap Tia kemudian melenggang pergi.

"Wangsit kawin, ya, Ya?" teriak Ratih dan Tia memilih mengabaikannya.

***



The Lies Behind UsTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang