Lima Belas

15 2 0
                                    

Pagi itu Armand datang tepat jam sepuluh siang bersamaan dengan Dena, Fian, dan anak laki-laki mereka. Kebetulan sekali mereka bertemu di lobi rumah sakit. Ketika mereka masuk kamar rawat inap bapak, terlihat Tia barus selesai mandi dan sedang mengeringkan rambutnya. Bapak juga sudah terlihat segar.

Armand melihat Tia yang menghampiri Dena dan segera menggendong Kean yang sudah semangat di gendong Tia. Entah kenapa hati Armand terasa hangat. Dia membayangkan bagaimana jika yang digendong Tia adalah anak mereka kelak.

"Nak Armand jadi ajak Adek jalan?" tanya bapak ketika Armand sudah menyalami bapak dan berdiri di samping Tia.

"Jadi, Pak. Kalau bapak mengizinkan," jawab Armand.

Bapak tertawa. "Ngizinin lah, Nak Armand. Kasian anak bapak satu ini gak istirahat dari empat hari yang lalu."

"Duuuuh, udah cocok tuh kamu, Dek gendong anak. Buru halalin, Mand," goda Dena. Armand tertawa dan membawa Tia ke rangkulannya. "Iya, nih Den. Sayang adikmu ini banyak mikir."

"Armand!" Tia memperingatkan Armand yang hanya tertawa geli. "Pinjem Kean boleh ya, Teh?" pinta Tia.

"Lah masa mau nge date ajak Kean, sih?" tanya Dena.

Armand terkekeh. "Gak papa, Den. Itung-itung belajar kalau nanti punya anak."

"Armand ih!" sentak Tia dan Armand hanya tertawa dan segera mengajak Tia keluar setelah pamit pada Bapak, Dena, dan Fian.

Mereka memutuskan untuk ke supermarket terlebih dahulu membeli makanan yang akan mereka masak. Armand bilang dia merindukan sayur bayam buatan Tia. Karena itu mereka membeli bayam, daging sapi, rempah-rempah, dan beberapa makanan ringan untuk camilan untuk Kean.

Sesampainya di apartemen Armand, Tia segera mengolah bahan-bahan yang mereka beli sedangkan Armand bermain dengan Kean. Mereka-- Kean dan Armand-- terlihat akrab sekali. Sesekali Tia mendengar suara tawa mereka atau jeritan kesal Kean dan suara tawa Armand. Tiba-tiba saja hati Tia merasa hangat. Apa yang akan terjadi kalau bukan Kean lah yang Armand ajak main melainkan anak mereka kelak. Rasa-rasanya masa depannya terasa sempurna. Tia tersenyum lebar, merasa tidak sabar untuk menghadapi hari di saat hal yang dibayangkannya menjadi kenyataan.

***

Jam telah menunjukan pukul tujuh malam ketika Kean baru saja terlelap dan Armand serta Tia sudah duduk kelelahan di bangku taman dengan Kean di pangkuan karena lelah bermain dengan Kean yang seakan tidak kekurangan tenaga.

Setelah makan tadi mereka memutuskan untuk bermain ke taman bermain. Karena hari libur, tentu saja tempat itu penuh. Dan seperti anak kecil pada umumnya, Kean terlihat senang sekali dan mengoceh ingin bermain semua wahana yang jelas saja tidak bisa karena anak itu masih terlalu kecil untuk menaiki wahana berbahaya. Walaupun begitu, anak itu tetap saja semangat dan mencoba semua wahana yang bisa dia naiki juga tempat bermain lain seperti rumah miring, istana boneka, dan lainnya.

"Sorry, mand. Kita malah kayak jadi pengasuh gini," ucap Tia sembari menyandarkan kepalanya pada bahu Armand.

"Gak papa, kok. Aku seneng malah, itung-itung latihan kalau nanti kita punya anak," jawab Armand.

Tidak ada lagi yang berbicara di antara mereka. Mereka menikmati kesunyian yang menyelimuti mereka. Merasa tidak ingin hari ini cepat berakhir.

"Aku kangen banget tahu, Yang. Seminggu ini kita bener-bener gak ketemu," keluh Armand memecah kesunyian.

Tia terkekeh. "Salah sendiri sibuk sendiri."

"Kan lagi cari uang buat biaya nikah kita, Yang. Sewa gedung sekarang mahal."

Sontak muka Tia memerah. Ucapan Armand yang seakan-akan memberikan kode bahwa mereka akan berakhir bersama selalu sukses membuat jantung Tia berdegup kencang. Sayangnya dia tidak berani berharap lebih karena selama ini Armand tidak pernah menanyakan kebersediaan Tia untuk menikah dengannya.

"Ngomong-ngomong, Yang, udah saatnya kamu kenal orangtua aku," kata Armand. Laki-laki itu menatap Tia yang ternyata sedang menatapnya degan mata membesar. "Aku ada rencana ngenalin kamu minggu depan. Aku juga udah cerita ke Bunda dan dia udah gak sabar banget ketemu kamu. Mau, ya?"

Entah kenapa perasaan Tia campur aduk. Antara senang, terharu, bahagia, dan khawatir.

"Aku mau," jawabnya akhirnya.

Armand tersenyum kemudian mendekatkan dirinya pada Tia dan mencium bibir Tia; hati-hati agar tidak membangunkan Kean.

Dan ciuman itu membuat Tia merasa yakin bahwa Armand adalah laki-laki yang tepat untuknya.

***

Armand menatap Dilan lekat-lekat. Setelah mengantarkan Tia dan Kean kembali ke rumah sakit, Armand segera pulang menghubungi Dilan dan mengatakan mereka perlu bicara. Dilan yang saat itu sedang 'berkencan' dengan Catty harus mendengus kesal karena kesenangannya sedang terganggu. Dengan hanya mengenakan celana selutut, Dilan menyambut Armand di apartemennya. Dan ucapan yang dikatakan Armand benar-benar membuat Dilan tidak percaya.

Dilan menatap memory card yang Armand letakkan di meja. "Tinggal selangkah lagi dan lo nyerah?" desis Dilan.

Armand mengangkat bahu tidak peduli. "Gue pikir ini saatnya gue ngerancang masa depan gue. Lagian kalau cuman ditraktir makan dan liburan ke praha gue juga masih bisa, Lan."

"Tapi bukan itu poinnya, Mand. Have fun, remember?"

"Dan gue udah mengganti persepsi gue tentang have fun, Lan. Lo gak ngerti karena lo belum nemuin cewek yang tepat."

"Nambah lagi cowok yang jadi bego karena cewek," cibir Dilan.

"Gue serius. Gue berhenti. Dan sebagai sahabat gue, lo harusnya ngerti. Gue pulang, dan lo bisa lanjutin bobo lo ama Catty," putusnya dan segera meninggalkan apartemen Dilan yang masih menatap Armand tidak percaya.

Hilang deh satu keasikan gue, keluh Dilan. Tapi hey, apa jangan-jangan ini cuman kode buat gue supaya gue yang nyerahin memory ini ke Tia?

Dilan tersenyum lebar. Ya, dia yakin ini hanya cara Armand untuk membeberkan apa yang telah dia lakukan pada Tia, dan dia senang hati akan membantu.

***


The Lies Behind UsTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang