Sepuluh

18 3 0
                                    

Armand dan Tia memutuskan berangkat ketika waktu menunjukan pukul sepuluh pagi, bersamaan dengan yang lain yang memutuskan pulang lebih dulu ke Jakarta. Sedangkan Nero dan keluarganya entah pergi kemana, katanya mereka ingin lebih intens hanya dengan keluarga saja.

"Jadi kita mau kemana?" tanya Armand.

Tia mengedikkan bahu. "Surprise me. Aku suka kejutan ngomong-ngomong."

Armand tersenyum lebar. "Sure, my pumpkin."

Tia tidak pernah benar-benar tahu Bandung, sebenarnya. Dan dia juga tidak pernah berniat untuk mengunjungi Bandung. Entah kenapa kota ini selalu bisa membuatnya sedih; mengenang ibu yang tidak pernah benar-benar dikenalnya. Ibunya bahkan sudah tidak bisa merawatnya sejak dia berumur 9 tahun karena sakit yang dideritanya. Sosok ibu yang selama ini dikenal olehnya adalah kakaknya. Tapi meski begitu, mengingat ibu selalu tetap membuatnya sedih, dia merasa menjadi seseorang yang gagal karena tidak sempat membahagiakan ibunya.

Ketika mobil Armand mulai berbelok, Tia melihat bahwa mereka mengunjungi Floating Market. Dia sering mendengar tempat ini dari Ratih dan teman-temannya yang lain.

Tia harus mengakui bahwa tempat ini indah dan asyik dijadikan tempat piknik. Dia mendapati danau yang membentang luas, dihiasi oleh rumput dan bunga-bunga yang ada di sisi danau. Terdapat pasar mengapung di sisi lain danau.

Perjalanan mereka dimulai dari melihat angsa-angsa yang ada di sisi kanan pintu masuk. Berfoto di tempat-tempat yang menurut Tia indah dengan Tia yang menjadi objek fotonya. Kapan lagi dia akan di foto oleh fotografer profesional seperti Armand. Mencoba memakai kimono yang disediakan tempat penyewaan yang ada di sana. Tak lupa mereka juga mencoba berbagai macam makanan yang disediakan di sana, juga membeli beberapa souvenir yang disediakan di sana.

Menjelang sore mereka memilih untuk mengunjungi Rainbow Garden, dan Tia benar-benar terpukau ketika melihat pemandangan kebun itu; bunga-bunga yang di susun sesuai warna pelangi, rumah-rumah kaca yang juga dipenuhi oleh bunga, juga disediakan kursi untuk bersantai.

Hari sudah menjelang malam ketika Tia dan Armand memutuskan melihat bunga dari rumah kaca. Rumah kaca itu seperti rumah pohon. Bedanya ada dua tingkat rumah kaca di sini. Bagian bawah juga bagian atas. Tia dan Armand memutuskan bersantai di rumah kaca bagian atas, di balkon, melihat bunga yang tersusun sesuai warna pelangi yang terlihat lebih jelas dari sana.

"Makasih lho, Mand, aku seneng banget. Kapan lagi liat pemandangan kayak gini. Aku ngerasa, stress aku ilang gitu aja ngeliat bunga-bunga di sini," ucap Tia. Dia menangkupkan tangannya di kayu yang ada di balkon.

Armand tersenyum kemudian mendekatkan dirinya pada Tia, merangkul Tia dari belakang dan menumpukan dagunya di kepala Tia. Awalnya Tia memberontak ingin melepaskan diri dari Armand, tapi semakin Tia melakukannya semakin Armand mengeratkan pelukannya. "Hadiah buat saya karena udah hilangin stress kamu," bisik Armand.

Sayangnya, maksud Tia adalah dia tidak ingin Armand tahu bahwa sekarang jantungnya berdetak lebih cepat dari biasanya, mukanya bahkan sudah seperti kepiting rebus.

"Aku malu," lirih Tia.

Armand terkekeh. "Sama siapa? Gak ada yang liat juga."

Tia mendengkus. "Terserahlah."

Armand tersenyum kecil. Mencium puncak kepala Tia, pelipis Tia, dan leher Tia. Tia langsung berbalik menatap Armand dan memelototinya. "Kamu ngapain?" bisik Tia.

Armand tersenyum kemudian mendekatkan dirinya pada wajah Tia. Mencium kening Tia lama. Beralih ke matanya, pipinya, hidungnya, dan ketika Tia menyangka Armand akan mencium bibirnya, laki-laki itu sedikit menjauhkan wajahnya kemudian kembali mendekatkan bibirnya pada bibir Tia.

"Armand, kalau kamu berani--"

Perkataan Tia terputus ketika Armand mencium bibir Tia lembut. Tidak ada paksaan di sana, tidak ada nafsu. Hanya bibir Armand dan bibir Tia yang bersentuhan.

"I love you, Tia. And I know you do," bisik Armand ketika Armand melepas ciumannya.

Tia yang masih merasa kaget, menatap Armand dengan linglung. "Armand, aku pikir--"

"Don't think," sambar Armand dan langsung mencium bibir Tia lagi. Kali ini, Tia menerimannya dan menikmati apa yang Armand lakukan padanya.

***

Armand mengajak Tia ke Coffee and Sugar untuk makan malam. Armand bilang kafe ini termasuk kafe punya salah-satu anak Adibrata, Azura. kafe ini juga terdapat di Jakarta, di Bandung merupakan cabangnya.

Harus Tia akui selera Armand benar-benar bagus. kafe ini benar-benar nyaman. Dia yakin, Ana dan Lea pasti menyukai juga kafe ini karena ada tempat khusus yang disediakan untuk makan sambil baca karena ada beberapa rak yang berisi berbagai macam buku. Belum lagi makanannya yang terasa lezat. Walaupun hanya kafe, tempat ini juga menyediakan makanan sedikit berat seperti berbagai macam ramen dan sushi. Belum lagi musik jazz yang mengiringi mereka benar-benar terasa mendamaikan.

Setelah selesai makan, Armand mengajak Tia ke halaman belakang. Karena malam Minggu, taman belakang kafe penuh, walaupun tidak membuat sesak. Kafe ini dihampari rumput jepang dan dihiasi oleh bunga warna-warni. Ada lampu LED yang menghiasi bunga-bunga itu. Dan yang membuat Tia tidak berkutik adalah air mancur yang terlihat bersinar karena pantulan-pantulan cahaya yang berada di sekelilingnya. Kalau biasanya lampu jalan itu dari lampu, kali ini lampu yang mengelilingi air mancur ini diganti dengan cahaya api.

Armand menarik Tia ke sisi lain air mancur. Sisi yang tidak ada orang, seakan-akan Armand meminta pemilik kafe ini untuk mengosongkan bagian itu.

"Suka?" tanya Armand.

"Suka banget. Bisaan banget ya emang keluarga Adibrata ini desain cafe-nya."

"Gak ada makasih buat saya, nih?"

Tia menatap Armand. Keningnya berkerut seakan-akan sedang memikirkan sesuatu. "Ehm... kasih jangan, ya?"

Armand tergelak kemudian menarik Tia dan memeluknya dari belakang. "Saya gak nolak lho, Ti, kalau kamu ngasih saya ucapan makasih sama kayak yang tadi," bisik Armand.

Tia terkekeh. "Itu sih maunya kamu, Mand."

Armand membalikan Tia agar bisa dia bisa melihatnya dengan jelas. Dengan refleks Tia mengalungkan tangannya pada leher Armand.

"So?" tanya Armand.

"So what?"

Armand mendengkus, lebih mengeratkan pelukannya pada Tia sampai-sampai Tia sedikit terangkat.

"I'm still waiting for your thank you."

"What do you want?"

"A kiss."

Dan mereka berdua berciuman. Berbeda dengan yang tadi, kali ini ciuman ini lebih cepat dan menuntut.

"Now you're mine, Tia."

"Don't You dare to hurt me , or I will kill you."

Armand tersenyum kemudian mencium kening Tia lama. "I won't."

***


The Lies Behind UsTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang