Dua Puluh Delapan

13 1 0
                                    

Tia memandang wajahnya di cermin sepanjang badan.

Setelah perjuangan tiga bulannya menghadapi kekeraskepalaan Armand tentang tema pernikahan mereka, akhirnya hari ini terlewati. Hari ini dia telah resmi menjadi Tatiana Aradella Putri Dirganta. Dua belas jam yang lalu Armand telah resmi menjadi suaminya.

Sayangnya, hal itu tidak membuat kekesalan Tia mereda, apalagi apa yang telah dilakukan Armand kemarin.

Kemarin malam, Armand menghilang. Orangtuanya, Olivia dan Naren, serta teman-teman Armand tidak bisa menemukan Armand dimanapun. Tiba-tiba saja Armand menghilang di telan bumi dan hanya menyisakan sebuah surat berisikan bahwa dia akan kembali sebelum pernikahan akan dimulai.

Memang tidak memberitahunya, tapi dia secara tidak sengaja mendengar obrolan Dena dan Siska yang panik karena Armand tiba-tiba menghilang.

Dan sekarang, ketika semua orang sudah tidur, Armand belum juga kembali. Laki-laki itu bahkan ke kamar hanya untuk mandi dan langsung keluar tanpa memperdulikan Tia.

Apa-apaan laki-laki itu? Sebenarnya dia serius atau tidak menikahi Tia? Padahal siapa yang paling sibuk mengurusi pernikahan mereka. Semua harus terserah Armand, Tia tidak diizinkan untuk memberi masukan sedikitpun. Wanita itu hanya diizinkan untuk mengurus gaun pernikahan mereka. Bahkan seragam keluarga pun tidak boleh Tia yang membuat.

Tia menghela napas, memutuskan untuk tidur. Percuma saja dia menunggu Armand. Ini sudah jam 12 malam, mungkin Armand memang tidak akan pulang.

Tia memejamkan matanya. Entah kenapa hatinya terasa sakit. Dia merasa tidak dihargai, merasa tidak diinginkan. Apa sebenarnya yang Armand mau? Kalau laki-laki itu memang tidak ingin menikah dengannya, harusnya batalkan saja dari awal. Bukannya malah menyiksa Tia seperti ini.

Tia mendengar suara pintu dibuka. Dia merasakan ranjangnya dinaiki oleh seseorang. Dari wanginya saja, Tia tahu itu Armand. Tapi dia tidak berniat untuk berbalik. Dia memutuskan untuk memejamkan matanya, pura-pura tertidur.

Dia merasakan tangan Armand mengelus puncak kepala Tia. Armand memeluk Tia dari belakang dan menelusupkan kepalanya di leher Tia. Menciumnya lembut.

Ingin rasanya Tia menyingkirkan Armand, sayangnya dia terlalu lelah untuk marah-marah.

"Aku tahu kok, kamu belum tidur, Yang," bisik Armand.

Tia berusaha tidak mendengkus. Apa-apan laki-laki ini?

"Yang, buka mata, sih. Masa biarin suaminya cuman peluk doang. Malam pertama lho ini," rengek Armand.

Tia tetap tidak peduli. Memangnya kenapa kalau malam pertama? Tidak ada bedanya dengan malam-malam sebelumnya. Tia mendengkus, tentu saja berbeda. Kemarin dia masih tidur sendiri, dan sekarang, malam ini, ada Armand.

Armand terkekeh. "Marah ni ye, karena ditinggal. Gimana perasaannya pas tahu suami kamu malah ngilang sebelum akad?" goda Armand.

Tia bangun dari tidurnya dan menatap Armand yang senyum-senyum tidak jelas dengan tajam.

"Kamu pikir ini lelucon apa?" desis Tia.

Armand semakin terbahak. "Kamu beneran marah, Yang. Wow."

"Kamu kenapa, sih?"

Raut wajah Armand berubah. Tidak ada lagi wajah cengengesan dan hanya raut wajah keras. Tatapan matanya tidak kalah tajam dengan tatapan Tia. "Harusnya aku yang tanya, Nyonya Dirgantara," ketus Armand.

Tia mengerutkan kening heran. "Maksud kamu itu apa, Tuan Dirgantara. Kalau ngomong itu yang jelas."

Armand mendengkus. "Pura-pura gak tahu, lagi."

The Lies Behind UsTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang