Dua Puluh Tujuh

32 3 0
                                    

Dua Puluh tujuh

Wanita itu tersenyum lebar kemudian duduk di sofa yang berada di depan Armand. Sedangkan Armand masih tidak percaya dengan apa yang dilihatnya.

Banyak yang berubah dengan wanita yang berada di hadapannya. Dulu, rambutnya panjang dan berwarna hitam, sekarang rambut itu hanya sebahu dengan warna coklat. Dulu Armand yakin sekali kalau wanita itu lebih berisi, tapi sekarang wanita itu terlihat lebih kurus. Wajahnya yang selalu terlihat sinis, sekarang terlihat lebih hangat, seakan-akan dia telah bahagia.

Tapi senyum itu, senyum itu masih sama. Senyum yang dirindukan Armand. Tatapan mata itu pun masih sama. Memancarkan tatapan penuh cinta ketika mata itu menatap Armand. Apakah dia boleh berharap kalau perasaan wanita itu masih sama seperti perasaan Armand terhadap wanita itu?

"Kayaknya aku harus geledah isi ponsel kamu, laptop kamu, sama kamera kesayangan kamu itu. Itu kapan, deh, kamu rekam aku pas bikin kue. Kan aku udah bilang kalau kamu mau jadiin objek itu, akunya harus lagi cantik. Bukannya belepotan ama tepung," rutuk wanita di hadapannya. "Mand! Ih, kok bengong mulu!" seru Tia. Ya, wanita di hadapannya adalah Tia. Tia-nya yang menghilang tiga tahun yang lalu dan sekarang datang langsung merutuki Armand karena Armand telah merekamnya.

"Ti ... a?" lirihnya. Dia tidak bermimpi kalau wanita di hadapannya adalah Tia, kan?

"Ia, Armand. Ini Tia. Tia yang fotonya banyak banget di kantor kamu, Tia yang ada di video ponsel kamu, dan Tia yang kangen Armand setengah mati."

Armand segera bangkit dari duduknya dan menghampiri Tia, duduk di sebelahnya. Menangkupkan tangannya di wajah Tia, mengelusnya lembut seakan-akan wajah Tia adalah porselen yang mudah rusak.

"You're here," bisiknya.

"Yes. I'm here, seeing you, forgiving you, and asking you to make a new life."

Armand meraih Tia kedalam pelukannya. Mendekapnya erat, mencium puncak kepala Tia berkali-kali.

"I'm sorry. I really am, my pumpkin. And I do miss you. Miss you so much."

Tia terkekeh, membalas pelukan Armand sama eratnya. Matanya sudah berkaca-kaca. Oh, sejak kapan dia jadi mudah menangis seperti ini?

Seakan-akan Armand baru sadar akan sesuatu, dia melepaskan pelukannya dan menatap Tia tajam.

"I need your explanation, Tatiana Aradela Putri. Now!"

Tia memiringkan wajahnya. "Gimana kalau kita bahas dulu kerja sama Artiaz ama Titanium?" goda Tia.

Armand tersentak. "Kamu ownernya?"

Tia tersenyum lebar kemudian mengangguk.

"Shit! Dan kita harusnya udah bisa ketemu dari tahun lalu, kan? Dan aku dengan bodohnya nolak tawaran kerjasama kita?"

Tia terbahak. "Iyap. Makanya aku gak jadi temuin kamu tahun kemaren. Walaupun dipikir-pikir asyik juga sih denger kalau kamu menderita banget tiga tahun ini. Udah kayak hiburan tahu, nggak?" Tia menatap Armand geli, "apalagi pas aku tahu kalau kamu selalu, setiap hari, dan kalau ada kesempatan liatin video-video aku yang ada di ponsel kamu itu. Oliv bahkan bilang kalau kamu udah kayak orang gila sering ngomong sendiri kayak aku ada di depan kamu. Segitu cintanya kamu ama aku, ya, Mand?"

Armand menatap Tia tajam. "Oliv kamu bilang?"

"Iya, Olivia Monica Dirgantara. Adik kesayangan kamu yang baru lahiran anak pertamanya tiga bulan lalu."

"Kamu ... Oliv?" Armand tersentak ketika dia menyadari satu hal. Armand menarik Tia agar berdiri dan membawa Tia keluar kafe setelah membayar minumannya. Membawa Tia masuk ke dalam mobilnya dengan kasar. Tia yang diperlakukan seperti itu hanya terkekeh geli.

The Lies Behind UsTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang