Delapan Belas

18 2 0
                                    

Armand dan Tia duduk dihadapan Gunawan dengan wajah tertunduk. Gunawan menatap mereka kecewa. Seumur hidupnya, dia tidak pernah membayangkan bahwa di umurnya yang ke-56 ini, anak perempuannya akan dipermalukan di depan umum oleh seseorang yang telah dirinya percayai untuk menjaga anaknya. Gunawan bukannya menutup mata atas apa yang telah terjadi pada Tia selama ini, dipermainkan oleh para lelaki yang mendekatinya. Tapi selama ini dia percaya Tia bisa mengatasi semuanya. Akan tetapi untuk sekarang, dia tidak bisa tinggal diam. Dia merasa tahu, untuk kali ini, Tia tidak akan bisa menghadapinya.

"Saya harap, ini adalah terakhir kali saya melihat kamu, Armand," Gunawan berkata, "dan saya harap kamu tidak menemui anak saya lagi."

"Tapi Pak, saya—"

"Jangan panggil saya seperti itu lagi. Kamu tidak pantas," potong Gunawan. "Sekarang kamu pergi."

"P—Om, beri saya kesempatan untuk menjelaskan," mohon Armand.

"Apalagi yang ingin kamu jelaskan, Brengsek!" hardik Gunawan, "kamu pikir video itu kurang ngejelasin semuanya?!"

"Om—" ucapan Armand terhenti ketika Tia menyentuh tangannya kemudian berkata, "Pergi Armand. Kita bicara nanti."

"Tidak ada nanti! Sekarang kamu pergi, dan kamu Tia," Gunawan menatap Tia tajam, "kita harus bicara."

Armand menghela napas panjang. Entah kenapa dadanya terasa nyeri melihat Tia dengan tatapan kosongnya. Dia merasa tahu bahwa sekarang adalah salah-satu titik terlemah Tia, dan ini semua karena dirinya. Armand bangkit dari duduknya, mengelus pundak Tia sebentar sebelum dia meninggalkan ruang TV.

Setelah kepergian Armand, Gunawan menghampiri Tia dan duduk di sebelah Tia. Gunawan meraih Tia kedalam pelukannya. Menenangkan tubuh Tia yang gemetar hebat.

"Maafin bapak, Nak. Maafin bapak," lirih Gunawan. Tia menggeleng lemah. "Tia yang salah, Pa. Harusnya Tia yang minta maaf. Tia udah ngecewain bapa."

Gunawan mengelus punggung Tia dan mencium puncak kepala Tia. "Bapak tahu ini sulit, tapi bapak tahu kamu pasti bisa bertahan. Bapak sama Teh Dena ada disini, di samping kamu."

Tangis Tia pecah. Dia mencengkram kemeja Gunawan Erat. "Tia pengen pergi, Pak. Tia gak mau disini," isak Tia.

Gunawan mengangguk. Air matanya pun mengalir, hatinya hancur melihat anak yang dijaganya hancur seperti ini. "Iya, sayang. Nanti kita pergi. Dan mulai sekarang bapak janji, bapak bakalan jadi tameng kamu, menghalangi semua cowok yang deketin kamu."

Tia terkekeh di sela-sela tangisnya. "Berarti Tia gak perlu pusingin lagi calon suami, kan, Pak?"

"Gak usah! Udah kamu hidup aja berdua ama bapak. Di dunia ini gak ada satupun laki-laki yang bisa jagain kamu selain bapa," tandas bapak kemudian memeluk Tia lebih erat.

Kali ini Gunawan berjanji, dialah orang pertama yang akan menendang semua laki-laki yang berani mempermainkan anaknya.

***

Entah sudah berapa banyak pukulan yang diterima Armand. Dia tidak melawan dan memang tidak berniat untuk itu. Dia tahu dia lebih dari pantas untuk menerima pukulan-pukulan yang disarangkan Fian padanya.

Olivia yang melihatnya di dalam mobil hanya bisa menangis. Armand sudah membuat Olivia berjanji bahwa wanita itu tidak akan keluar dari mobil, apapun yang terjadi. Setidaknya selama Fian mengamuk. Armand tidak mau pukulan Fian mengenai Olivia secara tidak sengaja.

"Gimana kalau hal ini terjadi ke Adek lo, Brengsek?!" bentak Fian di sela-sela pukulannya.

Buk!

"Ini karena lo udah ngacauin pesta tahun ini!"

Buk! Buk!

"Ini karena lo udah bikin Bapak marah!"

Buk! Buk! Buk!

"Ini karena lo udah bikin adek ipar gue nangis!"

Buk! Buk! Buk! Buk!

"Dan ini karena lo udah bikin istri gue kecewa!"

Untuk terakhir kalinya, Fian membanting Armand ke tanah kemudian meninggalkan Armand yang sudah babak belur.

Satu hal yang Armand lihat sebelum dia kehilangan kesadarannya adalah Olivia yang meneriakkan namanya dan menangis pilu.

Saat itulah Armand menyadari satu hal, pukulan ini tidak akan pernah cukup untuk membalas semua yang telah dia lakukan.

***



The Lies Behind UsTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang