Tujuh

23 4 0
                                    

Ingin sekali Armand mengumpat kasar. Ini hari minggu dan ponselnya tidak berhenti berbunyi. Apa orang yang menelpon tidak bisa menunggu sampai matahari ada tepat di atas kepalanya untuk menelpon? Dengan susah payah Armand meraih ponsel yang ada di nakas dan mengangkatnya dengan perasaan dongkol.

"Ha--"

"Kamu pikir sekarang jam berapa Armand Kaisar Dirgantara!" Armand menjauhkan ponselnya dan melihat di caller id. Ibunnya. Armand mendengus kesal dan terduduk. Hilang moodnya untuk tidur lagi.

"Ya Bun?"

"Bun-banben-bon! Bangun Armand! Ini udah jam sepuluh, ya. Jangan terus-terusan ngedekem di balik selimut," decak Bundanya.

Armand memutar kedua bola matanya kesal. "Ini aku udah bangun, Bun. Ada apa?"

"Gimana pencarian jodoh kamu? Udah ampir sebulan lo, Mand? Kok gak ada kabarnya?"

"Bunda pikir cari jodoh kayak cari sandal di pasar apa? Nyari jodoh tuh susah, Bun," jawab Armand. Tidak habis pikir dengan pertanyaan ibunya.

"Lah ia emang susah, makanya kamu tuh harus bener-bener nyari--"

Entah apalagi yang bundanya ucapkan. Armand memilih mengeraskan panggilan bundanya sementara dia pergi ke kamar mandi untuk membersihkan tubuhnya.

Sebenarnya, Armand mengerti kepanikan bundanya yang berlebihan tentang mencari seorang pasangan. Bundanya sudah mulai sakit-sakitan karena penyakit diabetesnya, belum lagi adiknya, Olivia, tidak ada kejelasan sama sekali dengan pacarnya, Naren. Kadang Armand heran dengan hubungan mereka berdua. Naren sudah lebih dari cukup untuk menikahi Olivia. Punya pekerjaan yang matang, umur yang juga sudah cukup untuk menikah. Walaupun begitu, Armand juga tidak bisa menyalahkan Naren karena tidak segera melamar Olivia, mengingat dirinya yang di umur 35 masih belum menikah. Tapi tentu saja, Armand tidak akan pernah memberi ampun siapapun yang berani-beraninya menyakiti adiknya itu.

"Armand! Kamu denger Bunda gak, sih? Bunda lagi ngomong kok kayaknya kamu sibuk sendiri si? Kebiasaan!"

Armand mengambil ponsel yang tadi diletakkan di nakas sebelah ranjang dan mematikan loud speakernya. "Aku dengerin, Bun," jawab Armand. Lagipula dia sudah hapal di luar kepala apa yang bundanya katakan padanya.

"Pokoknya, tiga bulan dari sekarang bunda udah pengen dikenalin ama calon kamu. Kalau kamu gak bawa-bawa juga calon kamu ke Bunda, kamu dicoret dari daftar anak sama Bunda."

Klik.

"Loh? Bun? Bunda? Kok ditutup si?" Armand berdecak kesal kemudian melemparkan ponselnya ke kasur. Apa-apaan itu? Sudah cukup dia diusir bundanya dari rumah dan sekarang dia harus dicoret juga dari daftar anak? Bundanya memang benar-benar!

Sepertinya dia memang harus segera mendapatkan Tia. Bagaimanapun caranya, wanita itu harus mau menjadi pacarnya, terserah nanti dia akan menikah dengan wanita itu atau tidak.

***

Entah Tia harus senang atau kesal ketika dia mendapati kakaknya, Dena, dan Armand sedang mengobrol seru di apartemennya. Dia lupa kalau kakaknya ini punya kunci apartemen miliknya. Dan kenapa pula Armand harus ada di apartemennya. Menyebalkan.

"Teteh ngapain di sini? A Fian nyariin teteh, teteh malah asik-asikan di sini ngobrol ama cowok lain," tegur Tia.

Seketika obrolan mereka terhenti. Entah apa yang mereka obrolkan sebelumnya, tapi Tia yakin obrolan itu melibatkan dirinya. Melihat wajah mereka berdua yang berseri-seri. "Nongol juga. Teteh udah nungguin dari tadi. Sini, dek," perintah Dena. Tia mendengus kesal. Rasa-rasanya dia tahu apa yang akan kakaknya ini katakan padanya. Mengingat akhir-akhir ini kakaknya gencar sekali menjodohkannya dengan laki-laki.

"Teteh gak usah mikir aneh-aneh. Udah ah adek mau ke kamar dulu," ucapnya cuek dan berjalan ke arah kamarnya tanpa mempedulikan panggilan kakaknya.

Tia mendengar kakaknya berbincang sebentar dengan Armand sebelum Armand meninggalkan apartemennya. Tidak lama setelah itu Dena masuk ke kamar Tia dan merebahkan dirinya di kasur Tia. Kadang Tia heran dengan tingkah kakanya yang masih seperti anak kecil padahal sekarang wanita itu sedang mengandung anak keduanya.

"Teteh kenapa kabur ke sini, si? A Fian nyariin," ucap Tia kemudian mengikuti jejak kakaknya merebahkan diri di kasur.

Dena mendengus kesal. "Mas Fian nyebelin, Dek. Masa iya Teteh di biarin kontrol sendiri, sih? Emang biasanya juga sendiri sih, tapi ini dia udah janji lho, Dek. Dan yang bikin keselnya dia malah lagi asik-asikan aja ngobrol ama mantanya itu," cerita Dena.

"Tia denger waktu A Fian ngobrol ama Bapak, Teteh salah paham."

"Dia emang sering gitu, Dek. Teteh tuh ya cape, berusaha ngertiin dia tapi dia juga gak pernah mau ngertiin perasaan teteh. Rasanya teteh pengen berenti aja kalo udah gini."

"Hush, teteh jangan ngomong gitu, ah. Teteh cuman lagi emosi aja, itu."

Dena mengusap perutnya yang belum terlalu membuncit. Dia sangat tahu bahwa di usia kehamilanya yang baru dua belas minggu adalah masa-masa rentan, jadi seharusnya dia tidak boleh stress sama sekali. Sayangnya, banyak sekali masalah yang mendatanginya akhir-akhir ini. Bapak yang mulai sakit-sakitan, tuntutan bapaknya agar membantu Tia cepat-cepat menikah, dan Fian yang menurutnya menyebalkan dan tidak mengerti dirinya.

"Dek, kamu sayang teteh gak, sih?"

Tia mengerutkan keningnya bingung. "Ya sayanglah. Pertanyaan macam apa itu?"

"Sayang Bapak juga?"

Tia memutar bola matanya jengah. Rasa-rasanya dia tahu arah pembicaraan kali ini. "Teh, aku bakalan merit kalau udah ada yang cocok ama aku. Aku gak mau sembarang pilih," ucap Tia.

"Armand baik kok, Dek."

"Tahu darimana? Teteh bahkan baru ketemu dia hari ini."

"Dia bantuin teteh selama di sini, kok. Teteh tahu aja dia orangnya baik, perasaan seorang ibu lho, Dek."

Tia bangkit dari tidurnya. "Mending teteh selesain dulu aja masalah teteh ama A Fian, baru teteh urusin aku," tandas Tia kemudian pergi ke luar kamar.

Dena menghela napas kemudian meraih ponselnya dan mencari nama Fian di ponselnya.

Aku di apartemen Tia.

***


The Lies Behind UsTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang