Satu

55 6 1
                                    

Tiga puluh tiga tahun yang lalu, Gunawan sudah berjanji pada orangtua Laskmi bahwa dia akan menjaga putrinya sampai maut memisahkan mereka. Janji suci yang Gunawan lafalkan terasa masih jelas di ingatannya. Bagaimana dia gemetar ketika mendengar kata 'sah', dan tangis haru dari orangtuanya serta mertuanya, atau Laskmi yang berusaha menahan tangisnya karena tidak ingin air mata merusak riasannya. Hari itu adalah hari yang benar-benar membahagiakan untuk Gunawan dan Laskmi. Kebahagiaan mereka bertambah ketika setahun kemudian anggota keluarga mereka bertambah karena kehadiran anak perempuan mereka; Dena, disusul oleh kelahiran Tatiana tiga tahun kemudian.

Akan tetapi, setiap kebahagiaan pasti ada kesedihan. Setiap pertemuan pasti ada perpisahan. Gunawan harus menelan pil pahit ketika di lima belas tahun pernikahannya, dia harus kehilangan Laskmi. Kanker payudara stadium empat. Masa-masa awal dia kehilangan Laskmi, dia benar-benar terpuruk, merasa kehilangan semangat untuk hidup. Lalu dia ingat dia masih mempunyai dua anak yang membutuhkannya dan salah-satu dari mereka benar-benar mirip Laskmi. Tatiana Aradela Prasetyo memiliki mata bulat seperti Laskmi, matanya bersinar ketika dia sedang tersenyum. Lesung pipi yang ada di kedua pipinya, serta rambut hitam bergelombang. Alisnya yang tebal, bibirnya yang kecil, dan kulitnya yang kuning langsat benar-benar mengingatkan Gunawan pada Laskmi muda. Di sanalah dia melihat Laskmi, merasakan kehadiran Laskmi dan yakin bahwa Laskmi akan selalu hidup.

Sayangnya, sifat Tatiana tidak seperti Laskmi. Anaknya yang satu ini benar-benar keras kepala seperti dirinya, tidak bisa diberi tahu dan sulit diatur. Gunawan harus sering mengelus dadanya agar tetap sabar menghadapi Tia. Tapi dia memiliki Dena. Sifat Dena yang sangat Laskmi mengobati hati Gunawan, lebih meyakinkan dirinya bahwa Laskmi hidup di kedua putrinya yang sangat berharga.

Tapi sekarang umurnya tidak lagi muda. Lima puluh enam tahun, dan dia ingin segera melihat Tia menikah, mengantarnya ke pelaminan, menjalankan tugas terakhirnya sebagai Bapak. Lagipula umur Tia juga sudah melebihi target menikah wanita pada umumnya, dua puluh sembilan tahun. Tapi sekali lagi, sifat Tia benar-benar mirip seperti dirinya, keras kepala. Gunawan bingung bagaimana dia bisa membuat kepala batu Tia mencair.

"Capek bapak teh ngawartosan Dedek mah, teu beunang di bejaan pisan. Sok atuh ku Teteh pasihan terang," keluh Gunawan ketika Dena menginap di rumahnya karena Fian, suaminya, sedang dinas ke luar kota.

(Lelah bapak ngasih tahu dedek. Dia gak bisa dikasih tahu. Coba sama kakak kasih tahu).

"Sama wae Pak, ku abi ge. Komo ku abi, ku bapak wae teu nguping," balas Dena.

(Sama aja Pak. Apalagi sama aku, sama bapak aja dia gak mau denger).

Gunawan kembali menghela napas. Sudah berbagai cara Gunawan mencarikan laki-laki untuk Tia, tapi hasilnya nihil. Tia tetap menolak laki-laki yang Gunawan kenalkan. Gak cocoklah, terlalu mudalah, terlalu ambisius, sombong, dan entah alasan apalagi yang Tia lontarkan untuk menolak laki-laki itu; padahal, menurut Gunawan semua yang dikatakan Tia terhadap laki-laki itu tidak sepenuhnya benar. Mungkin karena Tia memang sudah tidak mau.

"Gak punya kenalan kamu, Teh?" tanya Gunawan lagi.

Dena yang sedang mengaduk sotonya menghela napas kemudian berbalik melihat bapaknya.

"Gak ada, Pak. Semua laki-laki yang Teteh kenalin juga ditolak ama Dedek."

"Bapak tuh udah tua, Teh. Dek Tia kudu cepet-cepet punya pasangan, bapak pengen nganterin Dek Tia sama kayak bapak nganterin Teteh."

Dena menghentikan aktivitas memasaknya kemudian menghapiri Bapaknya, lalu memijat pundak Bapaknya lembut. "Bapak bakalan nganterin Dek Tia sama kayak bapak nganterin Teteh. Percaya sama Teteh," yakinnya dan diberi anggukan lesu bapaknya.

***

"Gue tuh capek tahu gak, sih. Dia tuh tetep aja gak mau getting relationship ama cowok. Padahal dia udah tahu Bapak tuh pengen banget cepet-cepet liat dia nikah," gerutu Dena. Sore itu dia memutuskan untuk ngopi bareng dengan sahabat baiknya, Siska, yang juga adalah atasan adiknya, Tia.

Siska menatap Dena prihatin. "Gue bingung juga si, musti ngomong apa. Tapi lo tahu sendiri Tia itu keras kepala dan prinsipnya kuat banget."

Dena mendengus. "Makanya. Udah berbuih deh gue ngasih tahu dia kalau merit itu gak selamanya berakhir menyedihkan. Lihat aja gue ama Mas Fian atau lo yang ama Dhika. Kita bahagia."

"Udah coba lo kenalin ke siapa, gitu?"

"Sebulan sekali, Sis! Sebulan sekali! Dan dia pasti berakhir ngancurin pertemuannya. Dia malah sering gak dateng dan biarin cowoknya nunggu. Ya gue lah yang malu."

Siska meringis. Pantas saja akhir-akhir ini dia melihat Tia sering uring-uringan tak jelas. Ternyata Dena lah penyebabnya. Tiba-tiba saja satu pemikiran gila muncul di kepala Siska. Mungkin saja rencana ini bisa membantu kegelisahan Dena juga keantipatian Tia pada laki-laki.

"Den, gue punya ide. Tapi gue gak tahu si ide ini bakalan berhasil. Tapi gak ada salahnya dicoba, kan?"

Dena yang dari tadi cemberut segera menatap Siska semangat. "Apa, apa?"

"Jadi, gue punya sepupu tuh, cowok. Dia juga hampir sama kasusnya kayak Tia, disuruh cepet-cepet nikah, secara gak langsung, sih. Gimana kalau gue kenalin sepupu gue ke Tia, kali aja mereka klop."

Dena menatap Siska sangsi. "Emang selama ini gue ngapain, Sis? Ngenalin dia ke cowok-cowok. Tapi akhirnya? Failed."

Siska tersenyum lebar. "Tapi rencana gue gak bakalan gagal, sih, gue yakin. Karena gue bakalan ngebuat mereka kenalan atas kemauan mereka sendiri, bukan gue."

Kening Dena berkerut. "Caranya?"

"Gue bakalan ngebuat sepupu gue tinggal di sebelah apartemen Tia. Gue denger dari Tia, kamar apartemen depannya kosong karena udah merit dan mutusin gak tinggal di apartemen lagi. Kalau gak salah kamar apartemen itu punyanya kakak sepupunya Nero, temennya sepupu gue. Menurut lo, apa yang bakal kejadian?"

"They'll know each other? What if...."

"Dan pastinya sepupu gue bakalan mau kenalan ama Tia. Karena berbeda ama Tia, dia ke Jakarta memang berniat nyari nyodoh."

"Jadi maksud lo...,"

"Yap! Gue bakalan suruh sepupu gue kenalan ama Tia. Kalau dia ngerasa cocok ama Tia, dia pasti bakalan bisa bikin Tia suka juga ke sepupu gue itu. Gimanapun juga, he was a playboy."

"You sure it 'was'?"

"One hundred percent, Dena."

"Ok, i'm in."

"Good." 

***


The Lies Behind UsTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang