Sembilan

15 3 0
                                    

Kamis malam, ketika Tia mendapat izin dari ayahnya, Tia dan Armand berangkat ke Bandung. Awalnya, Armand ingin bertemu dengan ayah Tia agar lebih afdhol katanya. Sayangnya Tia menolak dan hanya mengizinkan Armand bertemu dengan Dena. Walaupun hal itu membuat Dena menggoda Tia.

"Jadi sebenarnya ada acara apa di Bandung?" tanya Tia ketika mereka baru memasuki tol. Armand sebenarnya menyuruh Tia untuk tidur, tapi Tia tidak ingin mengambil resiko kalau-kalau Armand ngantuk. Tia bahkan menawarkan diri untuk menyetir bergantian.

"Temen saya ulang tahun. Kebetulan dia punya vila di Bandung, jadi ngadain acaranya di sana."

Tia mendengkus. "Udah gede masih aja ulang tahun dirayain? Dasar orang kaya."

Armand terbahak. "Udah tradisi keluarganya kaya gitu, Ti. Ngomong-ngomong soal Bandung," Armand menatap Tia sekilas, "kamu juga orang sana, kan?"

"Aku orang jakarta lagi. Bapak sama Ibu baru orang Bandung. Mereka pindah karena pekerjaan bapak, sih."

"Masih suka ke Bandung?"

Tia menggeleng. "Terakhir sebelum Ibu meninggal. Lagian gak ada juga yang mau dikunjungi di sana. Nini sama Aki juga udah meninggal jauh sebelum ibu."

Armand mengangguk mafhum. Sekilas, dia bisa melihat guratan kesedihan di mata Tia. Tapi secepat emosi itu muncul, secepat itu pula emosi itu hilang.

Tidak ada lagi pembicaraan di antara mereka berdua. Walaupun begitu, entah kenapa Tia menikmatinya. Seakan-akan memang inilah yang mereka butuhkan. Tepat pukul tujuh pagi mereka sampai di villa teman Armand. Villa itu memiliki halaman yang luas. Ada khusus jalan untuk kendaraan yang dikelilingi oleh rumput jepang di samping jalan dengan berbagai macam tanaman yang menghiasinya. Ada garasi terbuka di samping rumah yang telah dihiasi oleh lima mobil. Bangunan villa ini dihiasi oleh cat warna putih. Temboknya dihiasi oleh ornamen daun sulur. Ornamen yang ada di tembok juga dimiliki oleh kayu jati berwarna putih. Ada kubah di yang menghiasi rumah tersebut.

Tia hanya bisa terkagum-kagum ketika Armand memarkirkan mobil di sebelah mobil berwarna merah.

"Ini villa pribadi atau apa?" tanya Tia ketika mereka keluar dari mobil dan menuju pintu utama.

Armand tersenyum dan meraih pinggang Tia agar dekat dengannya. Entah Armand menyadarinya tau tidak, tapi muka Tia berubah merah padam ketika Armand melakukannya.

"Saya pikir kamu pernah denger Adibrata?"

Tia terbelalak. "Adibrata? Maksud kamu, kamu temenan ama salah-satu anak Adibrata group itu?"

"Saya bahkan pernah pacaran ama salah-satu anak Adibrata group."

Tia mendengkus. "Jadi maksud kamu cerita itu ke aku apa?"

Armand terkekeh. "Pengen liat kamu cemburu?" bisik Armand.

Tia menjauhkan tubuhnya dan menatap Armand sengit. "Buat apa juga aku cemburu? Ngayal kamu."

Kekehan Armand berubah menjadi tawa. Dia kembali menarik Tia kedalam pelukannya dan membuka pintu rumah tanpa basa-basi seakan-akan villa itu miliknya sendiri.

Kalau Tia mendeskripsikan bagian luar villa ini indah, Tia harus meningkatkan pujian untuk bagian dalam rumah ini; Menakjubkan.

Bagian rumah ini adalah hall untuk pesta. Ukiran langit-langitnya menggambarkan lukisan-lukisan sebuah sungai dan desa. Sekilas, Tia merasa sungai-sungai itu benar-benar terlihat mengalir. Tembok yang berwarna putih dengan hiasan sulur-suur daun yang sama dengan ukiran yang berada di tembok luar menyambung pada atap-atap. Ada tangga berutar yang menyambungkan hall tersebut dengan ruangan atas. Ada ruangan yang mengarahkan pada satu ruangan entah apa.

The Lies Behind UsTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang