Dua Puluh Lima

15 1 0
                                    

Putih.

Itulah yang pertama kali Armand lihat ketika dia membuka matanya. Dia harus membiasakan cahaya yang tiba-tiba masuk ke dalam netranya. Dia meringis pelan ketika pusing menjalari kepalanya ketika dia berusaha bangun.

"Abang udah bangun!" Suara histeris Oliv membuat Armand semakin mengerang. Apakah adiknya tidak tahu kalau Armand baru saja bangun dan membutuhkan ketenangan dengan tidak mendengar teriakan Oliv ketika dia baru saja bangun. Badannya terasa sakit semua. Apalagi bagian kaki dan dadanya.

"Abang butuh apa? Biar Oliv ambilin," tawar Oliv.

"Air," ucapnya serak.

Oliv dengan cekatan menyodorkan gelas pada Armand. Benar-benar khawatir melihat keadaan Armand yang ringkih. Jujur saja, ini pertama kalinya Oliv melihat Armand sakit. Selama ini Armand selalu terlihat kuat dan baik-baik saja. Ajaib sekali hanya karena seorang wanita abangnya bisa menjadi seperti ini.

"Udah berapa lama abang si sini?" tanya Armand ketika tenggorokannya terasa lebih baik.

"Tiga hari, bang. Abang pules banget tidurnya," ucap Oliv.

Armand meringis. Lama sekali dia pingsan. Armand mencoba mengingat-ingat apa yang dia lakukan terakhir kali sebelum pingsan.

"Abang kenapa sih? Gak biasanya abang meleng kayak gini. Untung benturannya gak kena kepala."

"Tia...," lirih Armand, mengabaikan ucapan Olivia. Oliv menghela napas lelah dan menggeleng sedih.

"Gak ada yang tahu, Bang. Bahkan keluarganya gak ada yang tahu Teh Tia kemana. Cuman ada pesan kalau Teh Tia mau nenangin diri dulu katanya," jawab Oliv.

Armand tersenyum kecut. Seberapa benci Tia pada dirinya sampai-sampai wanita itu bahkan menyembunyikan kepergiannya dari keluarganya sendiri.

Apa-apa hari-hari yang kita lewati itu gak berbekas sedikit aja di kamu, Ti. Pikir Armand. Apa yang harus aku lakuin buat bikin kamu balik lagi ke aku, Ti? Apa?

Oliv menatap Armand yang terlihat melamun. Oliv mengusap lengan Armand lembut. "Oliv panggilin dulu dokter ya, Bang. Abang istirahat aja dulu," ucapnya sebelum pergi memanggil dokter.

***

Seminggu setelah Armand dirawat di rumah sakit, Dena dengan Fian menjenguk Armand. Sekalian kontrol, katanya. Sekilas, Armand merasa wanita yang menjenguknya itu adalah Tia. Jika saja dia tidak melihat Fian dan perut Dena yang besar, mungkin Armand sudah memeluk Dena saat itu juga.

"Bapak titip salam, Mand. Maaf gak bisa jenguk, katanya. Ada liburan di Bali bareng temen-temen sesama pensiunan," ucap Dena.

Armand tersenyum. "Gak papa, Den. Bapak gimana, sehat?"

"Sehat, Mand. Tapi ya begitulah bapak, banyak pikiran malah drop. Makanya dia iya-in ajakan temannya. Biar gak mikirin Tia terus katanya."

Armand menundukan kepalanya. Benar-benar merasa bersalah dengan apa yang telah dia lakukan. Dialah penyebab Tia pergi yang berdampak pada Bapak. Beruntung sekali bapak mau memaafkan Armand. Rasa-rasanya kata maaf itu tidak pantas keluar dari bapak, Dena, bahkan Tia.

"Tia ... kamu gak tahu kabarnya, Den?"

Dena menggeleng. "Tia emang gitu kok, orangnya. Selalu pergi kalau lagi banyak masalah. Nenangin diri. Tapi nanti juga balik lagi, kok, Mand. Tenang aja."

"Tapi...." Hampir semua orang yang mengenal Tia mengatakan itu. Sudah seberapa sering wanita itu kabur-kaburan karena punya masalah? Tapi apa dia bisa menunggu? Apa ada yang bisa menjamin kalau Tia akan kembali padanya dan memaafkan kesalahanya? Bagaimana kalau wanita itu tidak sudi untuk bertemu dengannya lagi?

Dena tersenyum, mengusap lengan Armand. Menenangkan laki-laki yang terlihat ringkih itu. "Kasih Tia waktu, ya. Aku janji kalau Tia ngasih kabar, aku langsung kasih tahu kamu. Tia cuman butuh waktu, Mand, dan aku harap kamu gak ganggu waktu buat Tia mikirin semuanya," Dena menghela napas sejenak, "bakalan lebih baik kalau kamu bersiap buat hari dimana Tia dateng lagi ke kamu, Mand."

Armand tersenyum kecut. "Saya gak yakin Tia mau ngeliat saya lagi."

Dena terkekeh. "She will Armand. She loves you more than you know. Emangnya kamu pikir kenapa Tia kecewa banget ama kamu? Ya karena dia cinta banget ma kamu lah, Mand. Bukan hal aneh Tia dijadiin taruhan."

Ada sepercik perasaan lega di hati Armand ketika Dena mengucapkan itu. Apakah dia masih punya harapan agar Tia mau memaafkannya? Apakah penantian yang akan dia lakukan akan berbuah manis?

Kalau memang yang dibutuhkan Tia adalah waktu, baiklah, Armand akan mengabulkannya. Armand akan memberikan waktu sebanyak mungkin untuk Tia. Tapi ketika saatnya tiba Tia datang padanya dan memaafkan Armand. Saat itulah dia tahu dia tidak akan pernah melepaskan Tia sedetikpun.

Tidak akan pernah.

***

19 Januari 2018


The Lies Behind UsTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang