Dua Puluh Dua

50 2 0
                                    

Sudah seminggu ini Armand tinggal di rumah Ana untuk menemani Tia. Tia bahkan tidak pernah dia biarkan untuk diam sendiri. Armand benar-benar ada di mana-mana. Di dapur ketika Tia memasak, di kamar ketika Tia sedang menggambar desain baju yang entah untuk siapa, di taman belakang rumah Ana ketika Tia melamun, di ruang TV ketika Tia menonton, dan di tempat-tempat lain yang memungkinkan untuk Armand berada di sana.

Bukan berarti Tia senang atau merasa tersanjung dengan sikap Armand yang terkesan mengejar-ngejarnya lagi. Memangnya dia wanita bodoh yang akan terjerumus ke lubang yang sama? Tentu saja tidak. Dulu Armand juga melakukan hal ini padanya, untuk mencari perhatian Tia dan memenangkan taruhan sialannya. Dan sekarang Armand melakukannya lagi, bahkan lebih parah dari sebelumnya.

Sayangnya, ketika dulu Armand melakukannya, Tia merasa bisa mengatasi Armand untuk tidak menghiraukan laki-laki itu, dan menjaga hatinya. Walaupun tetap saja gagal. Dan sekarang, ketika Armand melakukannya lagi, Tia merasa tak sanggup dan tidak yakin apakah dia akan lebih kuat dari sebelumnya menghindari godaan Armand atau malah akan semakin lemah dengan pesona Armand. Hatinya bahkan masih saja berdetak cepat ketika Armand berada di sampingnya. Dan detakan itu bercampur dengan rasa sakit karena pengkhianatan Armand padanya.

"Jadi makan apa kita malam ini, pumpkin?" tanya Armand ketika Tia berada di dapur dan bersiap memasak. Dia benar-benar harus mengutuk Ana karena selalu pulang terlambat, dan dia tidak bisa menyalahkan Bella kalau anaknya itu lebih senang bersama dengan ibunya dan rumah kaca yang dipenuhi dengan bunga-bunga daripada dengan wanita yang sedang patah hati serta laki-laki gila yang terus berbicara.

Tia tidak menghiraukan Armand dan memilih fokus dengan mengupas bawang merah serta bawang putihnya.

"Perlu bantuan, pumpkin?" tanya Armand lagi, "aku harus ngulek ini? Aku jago lho, pumpkin, ngulek rempah-rempah."

Tia masih tetap bergeming.

Armand menghela napas kemudian memutuskan untuk duduk di kursi meja makan dan memperhatikan Tia yang sedang memasak.

Nggak ada kemajuan, batin Armand. Dia bahkan tetap nganggep gue kasat mata.

Sebenarnya, ketika hari itu Ana mengizinkan dia untuk menemui Tia setelah mendengarkan penjelasannya, Armand berharap banyak kalau Tia akan, setidaknya, peduli terhadapnya. Apalagi ketika wanita itu melihat wajah Armand yang babak belur. Tapi Tia seakan buta. Armand memang melihat rahang Tia mengeras, tapi bukan khawatir terhadap luka-luka Armand, tapi terhadap amarah yang sudah siap dia semburkan pada Ana. Dan benar saja, mereka bertengkar hebat. Lebih tepatnya Tia yang terus marah-marah pada Ana, sedangkan Ana hanya bersikap tenang seakan-akan tidak ada yang terjadi.

Tapi Armand tetap berharap banyak kalau usahanya akan berhasil. Lagipula Armand yakin, masih ada setitik perasaan yang Tia simpan untuk dirinya. Kalau memang Tia sudah tidak mencintainya lagi, kenapa wanita itu tidak pergi saja ketika tahu Armand akan tinggal bersamanya alih-alih tetap tinggal di rumah Ana.

Lamunan Armand terhenti ketika Tia menyodorkan mangkuk berisi sayur bayar dan setoples kacang pada Armand. Armand tersenyum lebar. Lihat, bagaimana mungkin Tia melakukan ini kalau wanita itu benar-benar telah membencinya.

"Gak perlu besar kepala. Aku cuman gak mau kamu mati kelaparan," desis Tia.

Senyuman Armand semakin lebar. "Thank you, pumpkin, and I love you so much," balas Armand.

Tia hanya mendelik tajam dan mulai memakan makanannya.

***

Seharusnya Tia tidak membiarkan Armand memasuki hatinya lagi, tapi dia merasa harus melakukan ini; melihat tawa Armand, mendengar godaan-godaan Armand terhadap dirinya, sentuhan Armand pada tangannya, dan sosok Armand itu sendiri untuk terakhir kalinya.

Tia tahu akan sulit untuk melupakan seorang Armand. Laki-laki pertama yang membuatnya jatuh cinta sedalam-dalamnya, laki-laki yang membuatnya merasa menjadi perempuan paling beruntung sedunia. Sayangnya dia tahu apa yang Armand lakukan saat itu hanyalah kebohongan belaka dan tidak seharusnya Tia terbuai dengan itu semua.

"Bisa kita ngobrol serius, Ti. Aku rasa udah saatnya aku jelasin semuanya ke kamu." Tia mendongak ketika dia mendengar suara Armand. Tia menggeser duduknya di ayunan yang ada di taman belakang rumah Ana, tanda mengizinkan Armand.

"Aku tahu aku salah, Ti," mulai Armand, "tapi perasaan aku ini benar dan nyata. Aku jatuh cinta ama kamu, Ti. Really deep."

Aku juga.

"Dari awal aku ketemu kamu, aku udah tertarik ama kamu. Aku cuman nyangkal perasaan itu dan tetep jadiin kamu target buat taruhan aku. Tapi...," Armand termenung sejenak sebelum melanjutkan, "walaupun begitu aku tetep nikmatin hari-hari ama kamu, Ti. Kamu satu-satunya wanita yang aku kenal yang gak tertarik ama aku pas pertama kali liat aku. Hari-hari bareng kamu itu nyenegin, Ti. Selalu kerasa lebih cepet dari biasanya.

Tapi dengan begonya, setiap kita udah selesai jalanin hari sama-sama, aku selalu ngingetin diri aku kalau kamu cuman target aku. Dan hari itu muncul," Armand menarik napas sejenak, "hari dimana aku ngeliat kamu ngerawat ayah kamu. Kamu bener-bener keliatan sayang dia, Ti, seakan-akan dunia kamu berpusat ke dia. Aku juga ngeliat gimana kamu berinteraksi ama Kean. Kamu bahkan bisa ngerebut perhatian keluarga dari pertama kali kalian ketemu. Satu-satunya hal yang gak pernah terjadi sebelumnya, Ti. Bahkan ke Azura sekali pun.

Lalu tiba-tiba aja terlintas di benak aku kalau suatu hari yang kamu gendong itu bukan Kean, melainkan anak kita. Ngebayangin kalau kamu bukan ngerawat bapak, tapi ngerawat aku. Saat itu aku sadar kalau aku udah jatuh terlalu dalam ama kamu, Ti. I truly am." Armand menatap Tia yang masih bergeming. Menatap kosong ke depan.

"Soal video itu, aku udah apus, Ti. Aku gak tahu kalau Dilan malah nukerin memory card-nya yang ngebuat video itu malah keputer. Sialnya, keputer di acara ulang tahun kalian. Can i have a second chance, Ti? Kasih aku kesempatan buat ngebuktiin kalau aku bener-bener cinta ama kamu."

Tia menghela napas kemudian menatap Armand. "I did, Mand. I did. But i can't. tiap liat kamu, walaupun aku tahu aku masih ada perasaan itu, tapi perasaan sakitnya lebih mendominasi. Aku gak bisa hidup dengan hanya ngeliat kamu aja bisa bikin aku sesakit ini," lirih Tia.

"Apa yang harus aku lakuin, Ti?"

Tia menggeleng lemah. "Aku gak tahu. Mungkin cukup dengan kamu pergi dan ninggalin aku, Mand."

"Tapi aku cinta kamu, Ti. Aku gak bisa pergi ninggalin kamu, ngelupain perasaan aku, dan gak berbuat apa-apa buat perjuangin kamu," ucap Armand putus asa.

"Sayangnya aku gak bisa, Mand. Maaf."

Dan untuk kesekian kalinya, Tia pergi meninggalkan Armand. Dan entah kenapa Armand merasa tidak enak dengan kepergian Tia sekarang.

Seakan-akan ini adalah malam terakhir dia melihat Tia lagi.

Dan perasaan itu membuatnya bergidik.

Dia tidak akan pernah membiarkan Tia pergi.

Tidak akan.

***

16 Januari 2018

Sebetulnya, Armand emang udah red flag dari awal. Sayang, Tia-nya nggak nyadar :(


The Lies Behind UsTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang