Tiga Belas

29 4 0
                                    

"Jadi fix mau tanggal 10 pas ultah Teteh aja, nih? Gak tanggal 11 pas ultah bapak?" tanya Dena ketika Dena sekeluarga ditambah Tia berkumpul di rumah Dena untuk merencanakan syukuran bertambahnya umur antara Dena, Tia, dan Bapak. Keluarga mereka memang memiliki keunikan karena lahir di tanggal yang berurutan, 9 untuk Tia, 10 untuk Dena, dan 11 untuk bapak di bulan Desember. Ibu bahkan lahir di tanggal yang sama dengan Tia.

"Iya Teh, menurut Tia sih kita nyoba lah di hari lain," jawab Tia. Tia meraih Kean yang baru berumur tiga tahun itu ke pangkuannya dan mencium keponakannya itu gemas. Kean hanya tertawa-tawa saja ketika bibinya melakukan itu, anak itu bahkan terkesan bahagia sekali kalau Tia datang ke rumah. Kean, anak laki-laki kakaknya itu sangat mewarisi paras rupawan Fian, suami Dena. Dengan mata belo dan hidung mancungnya, sudah diketahui bahwa anak laki-laki ini akan menjadi incaran para gadis ketika dia besar nanti.

"Bener juga sih, kamu. Terus jadi kamu kenalin Armand ke bapak? Duh, Teteh udah gak sabar nih liat antusiasnya bapak."

Tia memutar bola matanya jengah. "Biasa aja kali, Teh. Gak ada yang spesial."

"Yey, gak ada yang spesial gimana coba? Bapak tuh udah nanti-nanti kamu nikah, akhirnya ada juga cowok yang mau ama kamu." Dena terbahak. "Eh, ngomong-ngomong, jadi itu si Armand bantu kita siapin acaranya? Kamu bilang dia kadang ngurus event-event gitu?"

Tia mengangguk. Dia menyerahkan Kean pada Fian karena anak itu sudah meminta susunya. Mungkin memang saatnya tidur siang, dan khusus hari minggu, semua kebutuhan Kean, Fian yang menangani.

"Heran sih aku kenapa dia gak mau buka EO sendiri. Tapi ya udahlah bebas," kata Tia, "tapi dia udah setuju mau bantuin kita. Lagian kita juga cuman undang berapa orang coba? Kayak biasa aja kan? Ana-Lea-Mbak Siska sekeluarga. Palingan cuman di tambah Armand ama adeknya. Dia bilang pengen ngenalin adek ama pacarnya juga ke aku."

"Gak sekalian lamaran aja, Dek? Lumayan tuh udah pada ngumpul," goda Dena.

Tia mendelik. "Apa sih, Teh. Belom kepikiran juga sampe sana. Aku ama Armand ini juga baru berapa bulan, yakali langsung omongin nikah-nikah segala macem."

"Elah, Dek. Umur kamu itu udah 29 beberapa minggu lagi. Nunggu apa lagi, sih? Udah gak musim tahu pacaran-pacaran gak jelas."

"Tahu ah, Teh. Malesin kalo udah ngomong beginian. Tia ke belakang dulu deh bantuin A Fian boboin Kean."

Dena hanya menggelengkan kepalanya tidak mengerti melihat keengganan Tia membicarakan pernikahan ketika Tia memilih menghindar dari hadapannya.

***

Hari itu disebut design free mount, yang artinya semua karyawan di butik tempat Tia bekerja bebas mendesain rancangan baju apapun dan di serahkan ke pabrik untuk di buatkan.

Tia selalu menantikan bulan November, karena itu tandanya dia bebas mendesain rancangan apa saja tanpa harus dibatasi oleh tema yang ditetapkan setiap bulannya. Tia kerap sekali merancang gaun-gaun pesta, desain yang sebenarnya lebih sering masuk barang cuci gudang karena jarang peminatnya. Pasalnya tempat kerjanya khusus merancang baju-baju untuk kalangan menengah ke bawah yang jelas sekali jarang hadir datang ke acara-acara pesta dengan gaun-gaun mahal. Tia sadar betul obek pasar mereka adalah orang-orang yang lebih memilih harga murah dan bagus daripada harga mahal dan bagus. Tia sering sekali mendapat teguran dari Siska untuk tidak merancang baju-baju yang harganya akan mencapai kisaran lima ratus ribu ke atas.

Karena itu kali ini dia lebih memilih merancang baju-baju kasual walaupun dia tahu kadang dia payah dalam mendesain baju-baju seperti itu.

"Tumben lo desain baju-baju gitu di bulan ini?" tanya Dian ketika dia mampir ke meja Tia.

Tia hanya mengedikkan bahu tak peduli. Jujur saja, dia sebenarnya tidak terlalu menyukai tempat dia bekerja. Terlalu banyak tuntutan. Belum lagi orang-orangnya yang terlalu sering mencampuri urusan orang lain. Kalau bukan karena dia butuh pekerjaan, sepertinya dia tidak akan mau bekerja di sini lagi. Dia juga sering mendengar bisikan Dian, Melati, dan Raih bahwa dia diterima bekerja karena Siska adalah teman kakaknya. Dia tahu maksud perkataan itu bahwa sebenarnya Tia tidak berbakat. Tapi bukankah kalau dia tidak berbakat dia tidak akan lulus saat kuliah dulu. Lagipula dia tahu sendiri bahwa fokus desainnya bukan pakaian kasual seperti ini. Dan salahnyalah karena dia memilih bekerja di butik Siska alih-alih dia membuka butiknya sendiri.

"Lo tuh ditanya malah gak dijawab. Lo dan kecuekan lo itu emang gak dipisahin, ya," cibir Dian.

"Lo sendiri ngapain ke meja gue dan bukannya beresin desain lo sendiri?"

Dian memutar bola matanya. "Lagi cari ide. Buntu nih, gue. Makanya kali aja liat desain lo gue ada inspirasi."

"Hidup lo gak jauh-jauh dari ngejek gue kek nya."

"Itu sih lo nya aja yang sinis ke gue," katanya, "etapi, lo ama Armand gimana?"

"Gimana apanya?"

"Hubungan lo lah? Udah ada omongan serius? Kapan unangan nyampe rumah gue nih, Ya? Gak sabar gue."

"Gue yang merit kenapa lo yang sibuk, sih, Yan?"

"Itu tandanya gue peduli ama lo, Ya. Udah gak sabar liat lo merit."

"Lo sendiri belom merit kali, Yan," cibir Tia.

Dian nyengir. "Tapi gue gak pernah jomblo, Ya. Lo kan beda, selalu kesepian."

Tia memutar bola matanya kesal dan memilih tidak menghiraukan Dian. Kegiatannya terhenti ketika dia mendengar bunyi di notif di ponselnya. Dari Dena.

Dena Mahardika: bpak masuk rs, Dek.

Dena Mahardika: teth di rs melati.

***


The Lies Behind UsTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang