DUA

3K 206 37
                                    

Mulmed - In the end

❤‍🩹❤‍🩹❤‍🩹

"I like white." Nathan melihat penampilannya sendiri. T-shirt pemberian Chava begitu pas melekat di tubuhnya.

Mengamati sekilas isi mobil Chava, sungguh bukan seperti isi mobil gadis biasanya. Tidak ada sentuhan girly di dalamnya, namun begitu bersih dan wangi. Hanya ada satu aksesoris menggantung di spion dalam dan itu cukup menarik bagi Nathan.

Perhatiannya beralih kembali ke Chava yang masih berada di luar mobil. Gadis itu bersandar di pintu mobil bagian belakang. Jemarinya tampak sibuk dengan layar ponsel. Sesekali kepalanya menengadah menatap langit-langit, entah apa yang dicarinya.

Nathan menggapai handle pintu bagian kemudi lalu membukanya dari dalam.

"Sudah?" tanya Chava.

Gadis itu duduk di kursi kemudi, lalu memasang sabuk pengaman diikuti oleh Nathan.

Chava meletakkan ponselnya pada sebuah holder setelah sebelumnya mengetikkan alamat yang mereka tuju. Setiap gerak gerik Chava tak lepas dari perhatian Nathan.

Sunyi, hanya suara rintik hujan yang berbenturan dengan kaca mobil, sedangkan di luar sana jalanan begitu padat oleh kendaraan.

Chava berdehem. "Mau mendengarkan musik?" tanya Chava. Mata bulatnya masih fokus ke depan.

"Boleh." Nathan menoleh ke arah Chava.

Dengan tangan kirinya, Chava menyalakan music player di dashboard mobil. "Kau bisa memilih lagu yang kau suka." Chava mempersilakan.

"I like it," ucap Nathan saat mendengar lantunan lagu In The End milik Numb yang dimainkan dalam versi slow.

"Welcome to Indonesia." Chava menunjuk ke arah luar mobil dengan tangan kanannya. "Macet, panas. Lalu... mengapa kau memilih Indonesia? Jujur, saya tidak mengerti tentang sistem persepakbolaan." Chava menghentikan laju mobilnya saat lampu lalu lintas menyala merah.

"Kau sedang mewawancarai saya?" Nathan tersenyum simpul.

Sudut lengkung di bibir Chava ikut memamerkan cekungan di pipinya. "Ya, anggap saja begitu."

"Saya berdarah Indonesia juga."

Chava menoleh, mata bulatnya sedikit menyipit. Benar juga, wajah Nathan bukan seperti kebanyakan wajah-wajah bule. Justru lebih mirip dengan pria-pria Jawa, kecuali postur tubuhnya yang cukup tinggi. Bayangkan saja mobil Swift milik Chava hanya menyisakan sedikit ruangan di atas kepala Nathan. "Pantas saja." Lampu berubah hijau membuat Chava kembali fokus.

"Oh iya, kalau mau minum, di belakang ada air mineral," ucapnya kemudian.

Nathan bergerak, mengambil dua buah botol air mineral. Ia membuka satu, kemudian mengulurkannya pada Chava.

"Thanks," ucap Chava. Dua teguk sudah cukup membasahi kerongkongannya. Namun, tidak dengan hatinya. Nathan mengambil botol dari tangan Chava kemudian menutupnya kembali.

"Jadi, kau tidak takut pada saya?" Pertanyaan Chava membuat Nathan mengurungkan niatnya untuk meneguk minuman. Ia menatap Chava yang masih fokus dengan kemudinya.

"Maksudmu?"

Chava terkekeh. "Kau tidak curiga kalau saya anggota sindikat penculikan orang?"

"Oh... wow... sepertinya saya mulai cemas." Nathan tersenyum. "Jika kau seorang penculik, tidak mungkin kau mengantar saya ke sini." Nathan menunjuk plakat besar bertuliskan Persatuan Sepak bola Seluruh Indonesia.

"Masuk akal." Chava tersenyum. Ia menginjak pedal rem hingga mobilnya bergerak perlahan dan berhenti tepat di gerbang.

"Tidak masuk dulu?"

Chava melirik arloji di pergelangan tangannya. "Sepertinya saya cuma bisa antar sampai sini. Tidak mengapa, kan?"

"Tentu saja." Nathan melepas sabuk pengamannya. Ia turun dari mobil Chava. Kaca mobil terbuka dari dalam.

Nathan membungkukkan badannya hingga dapat melihat dengan jelas wajah Chava di dalam mobil. "Terima kasih banyak sudah mengantar saya, Chava."

"Sama-sama," jawab Chava. Ia melambaikan tangannya. "Bye, Nathan."

"Hati-hati." Nathan melambaikan tangannya seiring dengan mobil Chava yang bergerak menjauh. Ia baru memasuki gedung pelatihan PSSI setelah mobil Chava tak tampak lagi. Ia berjalan menaiki anak tangga.

"Nathan!" Raut wajah cemas menyambutnya. Cowok di hadapannya kini menenteng tas miliknya. "Saya pikir kau hilang. Tadi saya kembali ke sana tapi kau sudah tidak di sana. Saya telpon, ponselmu mati." Cowok itu melompat-lompat seperti anak kecil yang menemukan kembali mainannya yang hilang.

"Saya baik-baik saja, Lino. Beruntung tadi ada seseorang yang menolong saya."

Mata Lino membulat. Ia melongokkan kepala untuk melihat ke arah jalan, lalu menghadang langkah Nathan saat tidak menemukan siapa pun di luar sana. "Hah? Cewek atau cowok? Tua atau muda?" cecar Lino.

"Cewek."

Keduanya melanjutkan langkah. "Cantik? Ah, pasti cantik. Kau tanya nomer ponselnya? Atau tanya rumahnya di mana?"

Nathan menghentikan langkah. "Saya tidak tepikir sampai sana." Harusnya ia tadi bertanya minimal nomer ponsel Chava. Mungkin untuk balas budi suatu hari nanti.

"Aish... Kenapa tidak bertanya?" sesal Lino. Hal itu sedikit menambah rasa sesal di hati Nathan. "Tapi tenang saja. Kita tunggu saja... Kalau mereka tahu kau seorang atlet sepak bola, biasanya mereka langsung bikin konten tuh..." Lino berdiri di hadapan Nathan. "Hai, tidak menyangka saya tadi mengantarkan Nathan pulang," ucapnya sembari meniru gaya kemayu seorang gadis yang membuat Nathan tertawa.

"Kau sangat berpengalaman sepertinya?"

Lino menepuk dadanya. Ia menganggap ucapan Nathan sebuah pujian. "Marselino."

Mungkinkah semesta mempertemukanku lagi dengannya? Mencari satu di antara dua ratus tujuh puluh lima juta jiwa lebih manusia. Semoga.

***

Berada dalam satu team dengan empat bahasa : Indonesia, Inggris, Korea, dan Belanda, bukan perkara mudah. Namun jika semua bermain dengan satu bahasa yaitu hati, tentulah dengan mudah mereka menyatu.

"Lebih cepat lagi!" teriak sang pelatih yang diikuti oleh penerjemahnya, baik dalam bahasa Indonesia juga bahasa Inggris.

"Siap, Coach!" teriak para anak didik sedikit tertunda. Mereka segera berlari sesuai pola yang sudah ditentukan dengan kecepatan terbaik mereka. Dilanjutkan dengan beberapa tekhnik mengoper bola. Di sisi lain juga ada sekelompok atlet yang bertugas sebagai penjaga gawang sedang berlatih menangkis tendangan bebas.

Menjelang laga kualifikasi piala dunia, sang pelatih benar-benar menginginkan para pemain memiliki kekuatan fisik dan daya juang yang tinggi. Perubahan ini memang sudah mulai terasa sejak masa kepelatihan beliau. Meski di awal banyak sekali protes, baik dari atlet maupun dari berbagai pihak luar.

Nathan duduk sembari meluruskan kedua kakinya saat sesi latihan berakhir. Ini hari pertama ia ikut berlatih di lapangan, setelah kemarin sibuk dengan urusan kewarganegaraan.

Ia tidak kesulitan berkomunikasi dengan atlet lain, mengingat beberapa diantaranya berasal dari negara yang sama yaitu Belanda, juga para atlet kelahiran Indonesia bisa berbahasa Inggris meskipun tidak begitu fasih. Hanya saja rasa canggung itu masih ada.

"Jadi, bagaimana? Sudah menemukan akunnya?" bisik Lino yang tiba-tiba sudah duduk di sebelahnya.

"Tidak, belum. Saya belum menemukannya." Nathan menenggak minuman isotoniknya hingga kandas.

"Belum, ya? Berarti termasuk salah satu jenis yang langka cewek ini. Perlu memasang sayembara?" kelakar Lino.

Nathan hanya tersenyum simpul sembari menepuk pundak Lino. "Mari makan siang, saya lapar."

Bersambung...

Notes:

Jangan lupa nonton laga timnas U23 lawan Irak nanti malam ya. Doa dari kalian sangat berarti ❤‍🔥

Summer In Paris || Nathan Noel Romejo Tjoe-A-OnTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang