"Di Belanda atau di Indonesia? Tapi saran kami, lebih mudah kalian melangsungkan pernikahan di Indonesia. Mengingat Nathan sudah menjadi warga negara Indonesia. Semua dokumennya juga sudah lengkap. Jika kalian mau melakukan pernikahan di Belanda tidak masalah, hanya saja nanti akan sedikit repot perkara pencatatan sipil di Indonesia," terang pria paruh baya di hadapan Chava dan Nathan.
"Jadi, lebih mudah di Indonesia?" tanya Nathan yang diangguki oleh pria itu. "Kira-kira kami butuh waktu berapa lama? Mengingat saya harus kembali ke club dua minggu lagi."
Kepala Chava rasanya berputar. Ia benar-benar tidak habis pikir dengan pemikiran Nathan. Dua minggu pemberkasan pernikahan? Rasanya Chava kehabisan napasnya. Belum lagi menyelesaikan urusan dengan sponsor juga mengurus visa pendidikannya.
Ya Tuhan, Nathan, kau membuatku hampir gila.
Pria itu terkekeh pelan. "Bisa dipercepat, setelah ini kalian masukkan berkas ke Gereja."
Wajah Nathan berbinar. "Baik, hari ini juga saya akan memasukkan berkasnya ke Gereja."
"Wait! What?" Mata Chava membulat sedangkan Nathan tersenyum riang. Melihat wajah Chava, Nathan mengedipkan sebelah matanya.
Jet lag ku saja belum sepenuhnya hilang. Kau bersemangat sekali.
"Pak, tolong rahasiakan perihal ini, ya," pinta Chava. Ia sudah terlalu pusing, tidak ingin semakin bertambah pusing jika terjadi huru hara.
Keluar dari tempat itu, Chava sedikit menjaga jarak. Berusaha menyibukkan diri dengan ponselnya sebagai langkah penyamaran status, pikirnya.
"Kita mampir dulu ke rumah sakit sekalian. Kau harus disuntik katanya." Nathan menghela napasnya. "Tidak bisakah aku saja yang menerima vaksin?"
Di tengah rasa pusingnya, masih saja ada hal yang membuat Chava tertawa. "Kau mau mewakiliku?"
"Jika bisa aku mau menggantikanmu."
"Lalu, gantikan juga peranku untuk hamil dan melahirkan. Itu vaksin untuk calon ibu, sayang."
Nathan terkekeh. Rupanya seperti itu fungsi vaksin yang menjadi salah satu syarat pernikahan di Indonesia.
"Sayang, apa ini tidak terlalu terburu-buru?"
Nathan menepikan mobil Chava yang ia kemudikan.
"Apa kau belum siap jika kita mempercepatnya? Maaf, aku terlalu exited dengan semua ini sampai aku mengabaikan perasaanmu," sesal Nathan. "Aku melupakan impian seorang gadis. Ini pernikahanmu juga, kau pasti menginginkan yang terbaik untuk pernikahanmu. Sebuah gaun yang indah, pesta yang meriah-" ucapan Nathan terputus.
"Kau salah. Aku bahkan tidak peduli dengan semua itu. Bagiku yang terpenting bukan acara pernikahannya, tapi dengan siapa aku menikah. Pesta itu hanya sehari, sedangkan hidup bersama pasangan itu selamanya."
Nathan tersenyum, ia menatap lekat mata Chava. "Jadi, bagaimana menurutmu?"
"Kau yakin dalam dua minggu kau siap berubah status?" Chava balik bertanya. "Bagaimana dengan mama papa?"
Hampir saja Nathan melupakannya. Jika ia akan menikah di Indonesia, bukankah ia harus memberi tahu keluarganya lebih cepat?
"Aku akan menghubungi mereka nanti setelah kita dari Gereja. Jadi bagaimana?"
"Apa yang menurutmu baik, aku ikut."
Wajah Nathan semakin sumringah. Ia melajukan kembali mobil Chava membelah kemacetan kota Jakarta.
Benar kata Mbak Ratri, bule kalau sudah jatuh cinta effortsnya ugal-ugalan. Tuhan, kami berserah. Jika ini kehendakMu maka lancarkanLah, jika tidak maka tegurlah kami.
KAMU SEDANG MEMBACA
Summer In Paris || Nathan Noel Romejo Tjoe-A-On
Ficción GeneralChava, terbiasa sendiri dalam menghadapi kerasnya kehidupan, membentuknya menjadi cewek yang tangguh. Nathan, terbiasa hidup di tengah-tengah kehangatan keluarga, membentuknya menjadi cowok yang penuh cinta kasih. Jika cinta itu saling melengkapi...