Sebuah meja sudah ditata indah, berhiaskan lilin dan juga rangkaian bunga berwarna putih. Tak begitu jauh, menara Eiffel berdiri gagah sebagai latar belakangnya."Sayang, menikahlah denganku." Tangan kanan Nathan menggenggam tangan Chava yang berada di atas meja sedangkan tangan kirinya mengambil sebuah benda dari saku jas blazernya.
Mata Chava membola. Apa ia tidak salah dengar? Sejak mengenal Nathan kesehatan jantungnya terancam. Tiba-tiba bertemu, tiba-tiba kenalan, tiba-tiba terkena bola, tiba-tiba ditembak, tiba-tiba jatuh hati, dan sekarang tiba-tiba diajak menikah.
"Menikah? Kau bercanda, sayang?"
"Aku serius. Aku mau ikut kau ke Jakarta dulu sebelum kembali ke club untuk mengurus semuanya."
"Ya Tuhan, sayang... Apa ini tidak terlalu cepat? Kau bahkan belum mengenal aku sepenuhnya. Baru berapa hari kita menjalin hubungan?" Chava menggelengkan kepalanya seakan tidak percaya.
"Lalu kenapa jika semua berjalan begitu cepat? Tidak ada yang salah, bukan?"
"Menikah itu bukan ajang untuk coba-coba, sayang... Menikah itu sekali sumur hidup untuk kita. Kau harus siap kehilangan semua kebebasanmu setelahnya."
"Sayang, dengar aku. Apa kau ragu padaku?" Nathan mencoba mengunci tatapan Chava dan meyakinkan gadis kesayangannya.
Chava menarik tangannya. "Ini bukan sekedar ragu atau percaya, sayang. Bahkan kita belum membahasnya dengan mama papa. Mengapa tiba-tiba sekali? Atau kau yang tidak percaya padaku?"
"Jujur, setelah semalam aku memikirkannya, aku tidak bisa membiarkanmu sendiri kembali ke Indonesia. Bukan karena aku tidak percaya, tapi karena ada sebagian dari diriku yang hilang saat jauh darimu." Nathan menghela napasnya. "Lalu aku membawanya di dalam doa, dan dorongan ini semakin kuat. Hatiku menjadi tenang setiap kali aku menyebutkan namamu."
Chava bangkit berdiri, melihat ke puncak Eiffel yang sudah mulai dihiasi lampu.
Apa yang harus kukatakan? Aku juga menginginkannya, Tuhan. Tapi aku takut...
Sebuah dekapan hangat membuat mata Chava terpejam sesaat. Nathan meletakkan dagunya di puncak kepala Chava.
"Kau masih meragukanku?"
Terdiam sesaat lalu Chava berbalik badan. Ia membenamkan wajahnya di dada bidang Nathan. Terdengar jelas jika detak jantung Nathan juga sama kencangnya.
"Aku tidak pernah meragukanmu. Aku hanya meragukan diriku sendiri. Sayang... rasa takut itu masih ada."
"Aku mengerti. Biarkan aku menjadi penangkal rasa takutmu."
"Lalu, bagaimana dengan mama papa?"
"Kita akan membicarakannya sesudah semua siap, sekarang mereka juga sudah kembali ke rumah. Aku sudah menghubungi pihak yang mengurus kepindahan kewarganegaraanku di Indonesia, dan mereka mau membantu."
KAMU SEDANG MEMBACA
Summer In Paris || Nathan Noel Romejo Tjoe-A-On
General FictionChava, terbiasa sendiri dalam menghadapi kerasnya kehidupan, membentuknya menjadi cewek yang tangguh. Nathan, terbiasa hidup di tengah-tengah kehangatan keluarga, membentuknya menjadi cowok yang penuh cinta kasih. Jika cinta itu saling melengkapi...