Dia semakin protektif. Dan dari tanda-tandanya, dia bakal jadi papa yang bucin.
Chava meletakkan kembali dumblenya. Sejak semalam punggungnya terasa sangat pegal. Ia pun kesulitan tidur karena cukup sulit menemukan posisi ternyaman baginya. Alhasil ia memilih untuk melakukan yoga dan diakhiri dengan angkat beban ringan.
"Mom, minum dulu susunya!" seru Nathan.
Kebetulan sekali saat ini sudah memasuki libur musim dingin, Nathan bisa meluangkan waktu bersama dengan Chava. Menjadi suami siaga di saat usia kehamilan sang istri sudah semakin tua. Ia juga rajin sekali mengantar Chava mengikuti kelas ibu hamil. Intinya, Nathan tidak ingin jauh dari Chava.
"Thank you, Papa," ucap Chava lembut.
Tangan Nathan terulur untuk mengusap keringat di kening Chava sementara Chava meminum susu buatannya. Ini musim dingin dan Chava berkeringat sebanyak itu? Tampak sekali Chava begitu kepayahan dengan kehamilannya saat ini, namun tidak pernah sedikitpun istrinya mengeluh, itu yang membuat Nathan semakin ingin mencurahkan perhatian penuh. Ia harus lebih peka.
Nathan mendekat, ia memijit punggung hingga ke pinggang Chava. "Apa kau merasa tak nyaman?"
"Dia begitu aktif di dalam sana. Sedang bermain bola, mungkin?" Chava terkekeh pelan.
"Atau dia sedang belajar memanah sambil berkuda?" ucap Nathan menyambut tawa Chava.
Nathan membungkuk kemudian meletakkan telapak tangannya di perut buncit Chava. "Hai, sayang... Give me five," bisiknya.
Sebuah gerakan halus menyapa telapak tangannya, perlahan gerakan itu semakin brutal.
"Kau lihat!" Chava tertawa geli saat melihat tonjolan-tonjolan di perutnya ketika bayi dalam kandungannya bergerak.
"Kiss papa," bisik Nathan. Perlahan gerakan itu mereda berganti gerakan lembut yang menyapa pipi Nathan. "Love you."
Di luar sana salju mulai turun. Ini salju pertama yang Chava lihat selama tinggal di Belanda. Ya, Nathan sudah membeli sebuah rumah segera setelah mengetahui kehamilan Chava. Alasannya adalah, ia tidak ingin keluarga Alexa mengusik kebahagiaan keluarga kecilnya jika ia masih tinggal berdampingan dengan keluarga Dexter.
Nathan menekan egonya, ia membiarkan Chava memilih seperti apa rumah impiannya. Dan nyatanya pilihan Chava tidak pernah gagal. Sebuah rumah yang sedikit jauh dari keramaian menjadi pilihan Chava. Masih banyak pepohonan, juga hamparan bunga tulip yang tampak seperti karpet warna warni saat berbunga, sungguh sebuah pemandangan yang menjadi idaman para kaum introvert seperti Chava.
Suasananya begitu tenang dan damai, di rumah itu mereka bisa beristirahat dengan nyaman tanpa suara bising yang mengganggu.
Jika dulu Nathan suka dengan monokrom yang berkesan misterius dan dingin sebagai interior kamarnya, sekarang Chava memilih rumah dengan interior berwarna putih dengan sentuhan kayu oak yang memberikan kesan hangat. Bukan Chava namanya jika tidak penuh konsep. Melihat antusias Chava turun tangan sendiri untuk menata dan membeli perabot yang diperlukan, membuat Nathan bahagia. Terlebih saat mulai mengisi kamar untuk bayi mereka kelak, rasa di hati Nathan semakin membuncah.
"Sayang, besok adalah hari ulang tahunmu, kau minta apa untuk kadonya?" tanya Chava.
"Apa yang ku inginkan sudah ada di sini. Aku tidak butuh apapun lagi. Lalu kau minta apa untuk kado ulang tahun dan Natal pertamamu?
Chava tersipu. Masih saja ucapan manis dari mulut Nathan sukses membuatnya tersipu. "Aku tidak butuh apapun selain kau dan dia." Ia mengusap perut buncitnya dengan lembut.
KAMU SEDANG MEMBACA
Summer In Paris || Nathan Noel Romejo Tjoe-A-On
General FictionChava, terbiasa sendiri dalam menghadapi kerasnya kehidupan, membentuknya menjadi cewek yang tangguh. Nathan, terbiasa hidup di tengah-tengah kehangatan keluarga, membentuknya menjadi cowok yang penuh cinta kasih. Jika cinta itu saling melengkapi...