Ini pertama kalinya Chava tinggal menumpang di rumah seseorang. Tapi dibilang menumpang tidak juga, karena pangeran di rumah ini sudah resmi menjadi suaminya.
Kebingungan dan serba salah adalah rasa yang dominan saat ini. Bingung apa yang bisa ia kerjakan, tapi sebagai menantu yang baik, ia tidak boleh hanya diam saja. Terlebih lagi ia tipe orang yang tidak bisa diam.
Memaksakan diri untuk mandi di kondisi cuaca yang dingin menurutnya, Chava sudah tampak segar meskipun ia hanya tertidur sebentar saat di mobil.
Sembari mengoleskan body cream, Chava melihat pantulan dirinya di kaca.
Apa yang Nathan lihat darimu, Chava? Kamu tidak cantik, kamu tidak seksi, kamu tidak pandai berciuman...
Chava langsung menyentuh bibirnya. Ia tersipu malu, sekujur tubuhnya meremang. Kejadian semalam masih terus berputar di ingatannya. Melepaskan ciuman pertamanya untuk suaminya sendiri membuat dirinya merasa keren. Nathan sudah memberikan pengalaman pertama yang tidak mungkin ia lupakan.
"Chava, kau tau betapa Tuhan mengasihimu. Jika dipikir, siapalah seorang Chava ini. Seorang gadis yang dianggap tidak punya masa depan oleh kebanyakan orang. Tapi lihatlah sekarang, masa depan itu sungguh ada," ucapnya pada bayangannya sendiri sebelum memutuskan untuk keluar dari kamar.
***
Dia bukan yang pertama, tapi dia yang termanis.
Nathan masih berbaring, menatap langit-langit kamarnya. Bayangan saat Chava berada di pangkuannya terus saja berputar di pikirannya. Wajah polos bersemu merah itu sungguh membuatnya mabuk.
Rasanya ingin sekali ia langsung mengatakan kepada semuanya jika gadis yang datang bersamanya adalah istrinya. Mungkin saat sarapan pagi ini adalah waktu yang tepat.
Nathan sudah tidak sabar ingin selalu memandang wajah Chava setiap kali membuka mata.
Menuruni tangga yang membawanya ke lantai bawah, Nathan langsung dihadapkan dengan sebuah pemandangan yang indah. Dua orang wanita yang sangat dicintainya sedang menyibukkan diri di dapur.
Chava yang mengikat rambutnya asal tampak sibuk memotong sayur-sayuran. Matanya begitu fokus saat tangannya lihai memainkan pisau dapur seperti layaknya seorang chef profesional. Mengapa Nathan baru menyadarinya? Jika tidak salah, pengurus panti asuhan pernah mengatakan jika Chava pernah bekerja menjadi helper di cafe dan restoran sebelumnya.
Nathan menelan salivanya saat tatapannya jatuh pada bibir dan leher Chava. Insting drakulanya mulai bangkit lagi. Aroma floral yang khas, manis dan lembut itu kembali menari di indra penciumannya. Semua sudah menjadi candu yang sangat berbahaya, ia ingin dan ingin selalu berada di dekat Chava.
Mengapa Chava tampak begitu sexy?
Menggelengkan kepala, Nathan mencoba mengenyahkan semua pikiran yang menerjangnya, setidaknya untuk pagi ini. Selanjutnya, ia tak yakin bisa menahan diri.
"Ini dimasukkan, Mam?" tanya Chava.
"Tunggu mendidih dulu, sayang."
Chava menurut, ia lalu mengerjakan hal lain sembari menunggu air di panci mendidih.
"Selamat pagi," sapa Nathan yang sekian lama terabaikan.
Chava mendongak. Wajahnya bersemu merah dan matanya mencoba menghindar saat bertemu dengan mata Nathan.
"Pagi," balas Chava tanpa melihat ke arah Nathan. Gadis itu langsung mengambil sebuah cangkir lalu menyeduh kopi untuk Nathan.
Nathan menahan tangan Chava saat ingin berbalik. "Apa aku melakukan sebuah kesalahan?"
KAMU SEDANG MEMBACA
Summer In Paris || Nathan Noel Romejo Tjoe-A-On
General FictionChava, terbiasa sendiri dalam menghadapi kerasnya kehidupan, membentuknya menjadi cewek yang tangguh. Nathan, terbiasa hidup di tengah-tengah kehangatan keluarga, membentuknya menjadi cowok yang penuh cinta kasih. Jika cinta itu saling melengkapi...