Jarang sekali aku bisa mengingat wajah seseorang yang baru kutemui sekali, setelah ribuan orang kutemui dalam beberapa minggu ini. Tapi kamu? Aku sangat-sangat mengingat wajahmu. Mungkin karena kebaikanmu waktu itu. Kamulah wajah Asia pertama yang terekam dalam memoriku. Mata bulat itu... lesung pipi itu... aku mengingat semuanya.
Akhirnya semesta mempertemukanku denganmu, namun aku malah membuatmu terluka.
Nathan masih berdiri di tepi lapangan. Keringat membanjiri tubuhnya. Napasnya pun masih terengah. Ia meraup wajahnya dengan tangan kanan.
Tatapan matanya tak lepas dari satu sosok yang berada di bangku penonton. Gadis itu tampak memegangi hidungnya.
"Chava?" gumamnya.
Dari tempat Nathan berdiri, samar-samar ia melihat bercak merah di kaos putih Chava. Lembaran putih yang dipakainya untuk menutup hidung pun cepat sekali berubah menjadi merah. Orang-orang disekitar Chava mengerumuni, namun gadis itu menghalau mereka.
Tatapan keduanya beradu. "I'm oke." Setidaknya itu yang bisa Nathan baca dari gerak bibir Chava. Ditambah gestur tangan Chava yang menyatukan ujung ibu jari dan ujung jari telunjuknya.
Nathan menoleh ke belakang. Rekan-rekannya masih melakukan selebrasi kemenangan. Entah mengapa ia masih enggan beranjak.
Di satu sisi, rasanya sungguh membahagiakan karena mereka bisa membalas kekalahan saat laga terakhir kali, namun di sisi lain ada resah karena seseorang terluka karenanya, terlebih itu Chava--orang yang sudah menolongnya beberapa minggu yang lalu.
Nathan memanggil seseorang dengan tanda pengenal kepanitiaan dan membisikkan sesuatu.
Tak berapa lama rekan-rekannya menghampiri. Mereka berpelukan erat dan masih bersorak riang. Seakan semua beban yang menghimpit selama sembilan puluh menit lebih itu hilang seketika.
Di bangku penonton, Kevin maju ke depan kursi Chava kemudian berjongkok di hadapan Chava. Semua teman Chava berpandangan dan melempar kode. "Kita ke rumah sakit, ya?" tanya Kevin saat melihat darah di hidung Chava tak kunjung berhenti.
Chava menggeleng. "Aku nggak papa. Cuma mimisan doang." Tangan Chava mengganti tisu yang sudah penuh darah dengan yang baru.
"Nggak papa gimana?" Intonasi Kevin meninggi.
Sekilas Chava melirik tangan Kevin. Kulit Kevin yang putih tampak memerah, dari telapak tangan hingga pergelangannya. "Tanganmu nggak papa?"
"Nggak usah ngalihin pembicaraan, deh," kesal Kevin.
"Kevin, ayo pulang," ajak seseorang di bangku atas sedikit merengek. Semua mata beralih ke cewek itu.
Kevin mendongak. "Lo bareng yang lain dulu, ya." Perhatiannya kembali ke Chava.
"Sebaiknya kamu pulang, Kev," pinta Chava tak enak hati. Terlebih wajah cewek yang datang bersama Kevin tadi seperti kurang bersahabat.
"Nggak!" tegas Kevin. Aku antar kamu pulang."
"Aku bawa mobil sendiri."
"Dalam kondisi kaya gini kamu masih mau nyetir sendiri?"
"Aku sudah biasa sendiri."
Kevin menghela napasnya. "Maaf-"
"Lo pulang, deh. Chava udah ada kita." Aga yang sebelumnya hanya berdiam diri, angkat bicara.
"Suka-suka gue, dong," sinis Kevin.
Chava menggelengkan kepalanya. "Mas Aga, Kevin. Sudah, dong. Malu dilihat banyak orang."
KAMU SEDANG MEMBACA
Summer In Paris || Nathan Noel Romejo Tjoe-A-On
General FictionChava, terbiasa sendiri dalam menghadapi kerasnya kehidupan, membentuknya menjadi cewek yang tangguh. Nathan, terbiasa hidup di tengah-tengah kehangatan keluarga, membentuknya menjadi cowok yang penuh cinta kasih. Jika cinta itu saling melengkapi...