Aku dan sebuah mimpi

37 4 0
                                    

Setelah kejadian itu. Raillea dan Ragatha seperti menjaga jarak, mereka yang biasanya pulang bersama kini terpisah Raillea memilih untuk naik bus sementara Raga yang tetap memilih untuk jalan kaki sendirian.

Kini pagi menyambut, Railea terbangun dari tidur lelapnya menatap keluar jendela. Terlihat langit berwarna oranye kemerahan itu terlukis dengan indahnya di langit. Hari ini hari yg bebas, dikarenakan ia liburan musim dingin. Railea yang belum melihat salju yg turun segera bangkit dari ranjangnya, berjalan menuju dapur. Ia mulai memainkan pisau di tangannya, gerakan itu sangat terampil caranya memotong dan menumis sayuran dan bumbu lain terlihat seperti atraksi.

Selesai di dengan masakannya, Railea terdiam, ia berfikir sudah 3 hari ini ia tak bertemu dengan Raga ia khawatir jika anak bertubuh tinggi itu sakit dan mengurung diri lagi. Ingatannya beku, Lea terdiam dalam menungannya sampai suara ketukan dari luar terdengar, melintas di telinganya. Lea mantap ke arah pintu yg berbunyi, tanpa menunggu lagi ia segera berjalan membukakan pintu, dan melihat Raga yg datang sembari mengenakan Hoodie berwarna hitam di ikuti dengan masker yang menutupi bibir dan hidungnya.

"Raga?" Kaget Lea.
"Soory, gw tiba tiba ganggu lo" Raga menyerahkan tas berwarna hitam pada Lea tas yang sama dengan hari dimana Lea datang ke club basket.
"ini..., lo udah lese bacanya?" Lea mencoba memulai obrolan dengan beruang dingin di depannya. "Em..., lumayan bagus" Raga tersenyum tipis dengan tetap mempertahankan tatapan datarnya di balik masker. Anehnya Railea bisa merasakan jika Raga yang berada di depannya sedang tersenyum ke arahnya.

"Nanti sore gw ke gramed, lo?" Raga bertanya. "Gw ikut...,gw mau ngomong sama lo nanti sekalian ngafe gapapa?" Lea menatap penasaran, rambutnya terbawa angin menari nari di depan Raga yang hanya memasang wajah datar. "Em..., jam 4 di gramed "Jawabnya dengan singkat, Raga berjalan melewati pekarangan rumah Lea yang tak begitu luas, berjalan dengan santainya meninggalkan Lea yang hanya tersenyum sembari melambaikan tangan ke arahnya
saat ini.

***

4 sore janjinya, Lea bersiap pergi dengan membawa tetobag nya keluar.

Yang secara tiba tiba

Raga bertemu Lea di jalan yang kebetulan keluar dari rumahnya untuk bertemu.

Hal hasil kedua remaja ini berjalan bersama menuju Garmed yang ada di dekat perumahan mereka.
Kaki mereka melangkah bersama, masuk ke dalam Gramedia yang ramai dengan pengunjung.

"Gw ke sebelah" Raga berjalan menuju area Novel yg di ikuti Railea di belakangnya.

Lea berhenti di depan kumpulan Novel yang tersusun dengan rapinya di rak.
"Lo suka baca yg beginian Ga?" Tanya Lea meraih salah satu novel. "Gw suka tulisan daripada gambar" Raga hanya memberikan tatapan khas nya yang datar tanpa senyum, menatap ke bawah yg dimana ada Railea yang mendongak menatap dirinya.
"Gw mau nyoba deh, kayak nya seru" Lea dengan girang menyahut dengan nada gembira. Tatap nya manis menangkap tatapan mata Raga yang hanya kosong menoleh nya.
"Lo pinjem punya gw, novel ga semudah itu lo pahami " Raga berjalan melewati Railea yang hanya terdiam mencoba mencerna perkataan temannya, lalu mulai menyusul langkah Raga yang lebih jauh darinya.

***

Cafe Kenangan namanya, berada di jalan besar kota, dekornya antik tak semewah cafe lain namun itu rumah tenang bagi Raga dan Lea yang sering pulang malam.

Duduk bersebelahan, kedua remaja itu hanya memesan Capuccino sembari menikmati hujan di luar cafe.
"Lo bilang mau bicara ma gw?" Raga memainkan ponselnya seolah tak peduli dengan Lea yang matanya berbinar bersemangat untuk menyampaikan kalimat yang melintas di kepalanya saat ini.
"Yah...gitu deh, akhir akhir ini kita jarang ketemu. Gw cuman mau nanya saran aja sih ke lo" Railea meregangkan tangannya yang terasa lelah. Senyum terukir di wajah indah Lea, melirik ke arah Raga yang seperti biasa tak menoleh sedikitpun ke arahnya.
"Saran?, lo mau saran apa?"
Masih sibuk dengan ponsel nya, Raga menanyai Railea tentang saran yang gadis itu maksudkan tadi, ia tetap bertanya walau tak menatap nya langsung, ia tau jika Railea di depannya yang sedang menopang dagu menatapnya sekarang.
"Gw ga tau pasti, tapi gw mau jadi penulis" Lea menatap mata Raga yg sekarang menatap nya balik dengan tatapan datar.

"Penulis?"

Pertanyaan singkat dari Raga. Tatapan itu jelas tergambar rasa tak setuju namun tetap berusaha bersikap tenang.

"Lo ga setuju ya?" Railea tersenyum kecut, seolah tau ini akan terjadi, menatap wajah tampan Raga sembari tersenyum menerima kenyataan.
"Gw belum ngomong"
Raga menatap serius mata Lea yang sekarang memasang wajah masam.

"Ga papa, gw dengerin kata lo kok Ga gw ga mau keluar jalur lagi"

Lea menyeruput minumannya, mencoba menenangkan pikirannya.

"Lo belum nyoba tapi udah putus asa?"
Raga menaruh ponsel nya lalu menatap datar wajah masam Railea.

"Ga gitu..., gw cuma ga mau buang buang waktu buat hal yang ga berguna kan lo bilang hargai waktu"

Raga hanya terdiam mendengar kata kata yang baru saja keluar dari mulut gadis di depannya ini.

Raga hanya berfikir bahwa Railea tak akan bertahan di alur perjalanan seorang penulis.
Rai terlalu ovt untuk hal yang beresiko tinggi untuk di kritik orang lain. Trauma nya mungkin saja muncul dan kembali menguasainya. Dan jika itu terjadi mungkin umurnya akan ia akhiri di angka 16.

"Cobalah keluar dari zona aman tak akan ada yg tau bagaimana di luar sana kecuali lo masuk dan nyari tau isinya. Lo boleh jadi penulis karena lo perlu keluar dari zona aman lo buat tau dunia luar"
Raga, diam bagaikan gunung bergerak bagaikan api tenang bagaikan angin. Hanya dengan kata kata itu bisa membuat seorang Railea kembali tersenyum.
Senyumnya tipis menatap wajah Railea yang menggenang kan airmatanya.
"Lo bisa cari gw kalo lo butuh bantuan. Gw juga bakal manfaatin lo jadi jangan kaget"
Senyum Raga memancing, ia tersenyum kecil menghiasi suasana hening itu. Sementara Rai yang hanya bisa tertawa sambil menyeka matanya bahagia.
"Thanks Ga..., gw ga tau gimana gw kalo ga ada lo. Mungkin gw udah pasrah sama keadaan dan mungkin gw ga jadi OSIS di SMA ini"

"Makasih", hanya itu kata kata kecil yang terlintas di benak Rai sekarang. Kembali menyeka matanya ia tersenyum bahagia bersyukur ada rumah yang siap menjadi tempat berlindung nya.
Mengingat perbandingan kehidupan nya yang dulu hanya hidup dalam pemerdayaan orang lain. Berteman dalam kepalsuan dan janji palsu yang hanya ingin memanfaatkannya. Tak bisa keluar dari zona nya karena takut untuk melihat dunia luar lagi.
Trauma nya terlalu menusuk untuk di obati. Takut keluar dan pergi dari dunia yang penuh duri.

Tapi sekarang Rai bukanlah Rai yang dulu, yang bisa di manfaatkan dengan mudahnya. Rai yang sekarang lebih berani dan mandiri berani menghadapi dunia luar yang mungkin tak sesuai ekspektasi nya.
Tekad nya membuat orang di sekitarnya tersenyum bahagia.
Ia bagai rumah di tengah laut, orang lain masuk ke dalam untuk bertamu lalu pergi meninggalkan belati.
Menjadi obat namun tak bisa sembuh untuk diri sendiri.
Yang ia pikirkan hanya keinginan nya membuat nama teman teman nya abadi dalam karyanya.



______________________________________

"Keluarlah dari zona aman mu, walau gagal tetap berusaha karena kegagalan hal yang lumrah terjadi dalam suatu kehidupan"

_全部ごめんなさい_



Aku Dan Arti Pertemanan (End)Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang