4. Jadikan Aku Muridmu!

59 29 10
                                    

"Guru? Jangan bercanda, nak," ungkap Ilos sambil tertawa geli.

"Untuk apa aku harus mengajari bocah sialan sepertimu, huh?!" ujar wanita itu dengan ketus menolakku.

Wajahnya memang terlihat menyeramkan, rambutnya yang kusut, seperti tidak diurus, banyak bekas luka-luka hasil pertarungan-pertarungan sengit, tubuhnya tidak terlalu kecil, dan juga tidak terlalu besar, sama seperti perempuan muda pada umumnya, yang membedakan adalah otot-otot yang terbentuk sangat jelas di tubuhnya membuat kesan beringas, dan tampak seperti hewan buas yang kelaparan.

"Aku benar-benar serius!" ungkapku menatap tajam ke arahnya.

Wanita itu terdiam sejenak setelah memfokuskan diri melihatku. "Kau ...."

Alisku terangkat. "Kenapa? Apa Nona mengenaliku?"

Ilos menekan perutnya sambil tertawa terbahak-bahak. "No-nona! Yang benar saja! Kau memanggil Maya 'Nona'?" lanjutnya masih tertawa hingga tersedak.

Maya tertawa ringan. "Hey, bocah! Berapa uang yang akan kau berikan jika aku menjadi gurumu?"

Aku memalingkan wajah, lalu berkata, "dua puluh koin perak perbulan ...."

"HAHH?! Kau pikir aku ini petualang tingkat Z?! Jasa-jasaku tidak akan diberi dengan harga murahan seperti itu!" dia mengeluh, terlihat jelas urat di dahinya.

"Ngomong-ngomong, tidak ada petualang tingkat Z," ungkap Ilos dengan nada datar.

"BERISIK!" pekik Maya kesal.

Maya menghela napas berat. "Dengarkan aku bocah, aku tak lihai mengajari murid bodoh sepertimu. Sebelum kau menangis meminta ampun, lebih baik kau pulang ke rumahmu," ujar Maya dengan ketus—melangkah pergi dari hadapanku.

"Tunggu!" kataku sedikit menaikkan nada.

Maya memberhentikan langkahnya.

"Bagaimana kalau kita berduel?" aku menantangnya sambil tersenyum licik.

Maya menoleh ke arahku, menatapku dengan tatapan tajam. "Huh?" desisnya.

“Jika aku menang, kau harus menjadi guruku, namun jika kau kalah … aku bisa menjadi samsakmu selama tiga bulan!”

Maya mengerutkan keningnya. “Apa yang kau katakan!? Bisa-bisa aku masuk penjara karena menyiksa anak di bawah umur.”

"Kau takut?"

Terlihat di wajah Maya yang memerah. “Akan aku retakkan seluruh tulang rusukmu!” Maya berseru, mengepalkan kedua tangannya.

°—┌⁠★⁠┘—°

Kami bertiga menjauh dari kota yang ramai dan pergi ke hutan yang sunyi, jauh dari keramaian desa untuk berduel.

"Kukatakan sekali lagi, bocah! Aku tidak menyetarakan orang-orang. Wanita, anak-anak, orang tua, atau Dewa sekali pun, jika mereka menantangku, aku akan melawannya dengan jiwa yang membara!" seru Maya sambil menyodorkan pedang besar ke arahku.

"Aku mengerti," jawabku sembari mengangguk paham.

“Tuanku, dia berbahaya! Kekuatannya lebih hebat lima puluh kali lipat dari Lean!”

"Jika aku kalah, aku tak bisa menjadi muridnya. Maka dari itu, Arfita ...."

Segesit hewan buas, Maya datang menyerangku dengan pedang besar miliknya, dengan cepat aku tangkis pergerakannya.

"DI MANA SEMANGAT MUDAMU?!" teriak Maya dengan tawa riang.

Aku merasa sangat kewalahan menghadapinya, menangkis serangannya yang menyerangku dengan membabi buta.

Setelah dia merasa aku tampak kewalahan, dia melancarkan pukulan sikunya yang keras mengenai tulang punggung belakangku — aku merintih kesakitan — setelah melakukan aksinya, dia menduduki atas tubuhku yang terbaring lemas di tanah.

Dia tersenyum puas. "Lihat, kau tidak akan menang melawanku, bocah!"

Aliran listrik mengalir di pembuluh darahku, menghadirkan kekuatan sihir listrik yang dahsyat. Hal ini membuat Maya kaget, dengan cepat ia beranjak dari tubuhku.

Matanya terbelalak ketika melihat tubuhku yang dikelilingi oleh aliran listrik. "Wah, masih bocah sudah bisa menggunakan sihir elemen!” Tampaknya Maya mulai serius untuk menghadapiku, seluruh tubuhnya dipenuhi oleh api merah yang membara.

"Maka dari itu, Arfita ...," batinku kepada sosok wanita itu sekali lagi.

"PINJAMKAN AKU KEKUATANMU!"

Alam bawah sadarku mengatakan bahwa Arfita sedang tersenyum manis setelah aku mengatakan itu dengan penuh semangat di alam bawah sadar. "Dengan senang hati, Tuanku!"

Aliran listrik semakin menggema di tubuhku. Aku menyadari, tubuhku belum kuat untuk menampung kadar listrik yang dihasilkan oleh sang roh suci Arfita. Maka dari itu, aku membutuhkan ketahanan fisik yang kuat, stamina atau apa pun, seperti wanita buas ini!

Maya tersenyum puas memperlihatkan gigi taringnya. "Mari kita lihat, bocah! Apa yang akan terjadi jika api dan listrik berkolaborasi."

Ilos yang melihat pertarungan kami sedari tadi menjadi panik. Tentu saja, pertarungan ini akan menimbulkan kebakaran besar yang meledak-ledak, namun, dia sudah mempersiapkan diri dengan pusaran bola air yang sedari tadi ia kumpulkan setelah melihat sihirku. "Kumohon, jangan terlalu berlebihan! Merusak alam akan dikenakan denda yang besar!" Ilos berseru, namun kami tidak menghiraukannya. Yang lebih penting saat ini adalah pertarungan sengit antara kami berdua!

Aku menyerang Maya terlebih dahulu, kilatan listrik milikku melaju dengan kecepatan tinggi, hingga pedang besar yang dipegang oleh Maya rusak dan terhempas menjadi begitu jauh.

"Boleh juga!" dia memujiku dengan nada sombong—setelah itu Maya melancarkan pukulan kuat dengan energi sihir api di tumbukannya.

Aku yang melihat itu pun ikut melancarkan pukulan yang sama kuatnya. Dengan energi sihir listrik di genggaman tanganku, aku memukulnya dengan sekuat tenaga.

Ledakan dahsyat memenuhi tempat ini. Kami berdua terpelanting karena serangan yang dahsyat. Debu-debu tanah memenuhi area hutan. Api-api yang korsleting meledak-ledak, namun dengan cepat Ilos membanjiri hutan ini menggunakan sihir airnya tanpa henti, meskipun air dan listrik ketika bertemu akan membuat korsleting juga, tapi melakukan ini lebih baik daripada tidak mencegah kebakaran hutan.

Aku menatap cakrawala yang dipenuhi dengan hujan sihir air milik Ilos. "Aku masih lemah," batinku sambil merasa kesakitan akibat air dan listrik yang dipertemukan menjadi korsleting.

Lihatlah wanita dengan surai hijau dan mata hitam pekat itu. Ia masih berdiri tegak tanpa merasakan sakit sama sekali, kurasa. Dia menatapku dengan tatapan penuh antusias. "Sampah lemah!" cibirnya.

Aku bangkit dari tanah dengan susah payah. Aku tak sanggup menatap Maya, mengingat betapa menyedihkannya aku saat ini.

Maya tertawa, dia menepuk-nepuk pundakku. "Anak muda jangan bersedih hati. Kembalilah pulang ke rumah dan minum susu!"

Aku memutarkan bola mataku. "Kata-katanya membuatku menjadi kesal!" pikirku.

"Apa yang kamu lakukan, Tuan?" kata Arfita.

Aku memasang wajah datar. "Dia itu sangat kuat, aku tak akan bisa mengalahkannya."

"Kau masih ingat dengan tekadmu? Kembali ke masa lalu, selamatkan Bunda!"

Mulutku terbuka, kemudian aku tersenyum. "Begitu, ya, benar juga."

"Maya!" panggilku dengan kencang.

Maya melirik. “Apa? Kau tidak ingin menjadi samsakku, kan?”

"Aku ingin menjadi muridmu! Jadikan aku muridmu!" pintaku dengan seribu alasan.

Maya tersenyum, dia mendekat ke arahku. "Sihirmu itu, jika terus dilatih bisa menghancurkan dunia, nak. Tapi ya, boleh juga! Asal aku dibayar!"

Mataku terbelalak. "Jadi ...?"

Maya mengerutkan alisnya. "Asalkan kau sanggup."

Aku tersenyum puas. "Terima kasih, Nona Maya!"

Wajahnya memerah, ia mengetuk kepalaku dengan jarinya. "Jangan panggil aku Nona!"

Breaking the Curse [END]Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang