17. Benua Persembahan

21 10 0
                                    

Saat kami tiba di tepi pantai, ombak tetap tenang seperti biasa. Pulau ini memiliki tebing yang tinggi, sehingga sedikit menyulitkan kami untuk mendaki ke atas pulau.

"Tenang saja, kawan!" Grace berseru.

Tak lama, Grace melompat ke laut—sebetulnya aku terkejut, tetapi setelah melihat tanah muncul dari laut, aku jadi sadar bahwa Grace ternyata sedang menggunakan sihirnya.

"Cukup beratraksi. Aku tahu kau kuat," ujar Pablo dengan ketus.

Grace menjulurkan lidahnya. Setelah itu, ia membuat tanah yang menyerupai tangga dari sihirnya. Kami pun menaiki tangga-tangga itu dengan cukup tenang.

Pertama kali aku menginjakkan kaki di pulau itu. Aku merasakan aura hebat yang belum pernah aku rasakan sebelumnya. Aura dari sosok yang menyerupai Dewa. Aku yakin dialah Mato.

Pulau itu dipenuhi oleh pepohonan yang rindang. Dedaunannya menutupi cahaya mentari. Aku tidak melihat satu pun manusia, bahkan hewan dan serangga di pulau ini.

Rozen menepuk punggungku. "Kita harus berjuang."

Ratapanku menjadi serius—aku mengangguk.

Kami menyusuri pulau ini dengan kewaspadaan tinggi.

"Apa benar ini pulau yang dimaksud?" tanya Pablo kepada Ilos.

Ilos mengangguk. "Di depan sana." Ilos menunjuk ke depan. "Ada rumah para penduduk. Aku yakin sekali."

"Penduduknya tidak memperdulikan kita, kan? Ayo kita ke sana," kata Grace yang hendak melangkahkan kakinya menuju perkampungan penduduk.

"Jangan ke sana," ucap seseorang dari arah semak-semak.

Kami semua berwaspada.

Maya dengan cakarannya langsung menyerang suara yang tak dikenal itu. Namun, serangan Maya langsung ditangkis olehnya.

Manusia yang tak dikenal itu muncul dari gelapnya pepohonan. "Jika kalian ke sana, aku yakin lima puluh juta persen, kalian akan dibunuh dengan sadis oleh mereka."

Mataku terbelalak. "Kau!"

Rambut panjang berwarna putih, mata yang tertutup, serta kulit yang keriput. Aku sangat yakin, bahwa pak tua ini adalah orang yang mengantarkan aku ke masa lalu.

Aku mengerutkan alis. "Kenapa mereka menentang kehadiran kami di pulau?"

Pria itu berbalik badan. "Ikuti aku," perintahnya yang langsung berjalan entah ke mana.

Aku menyusul pria itu tanpa takut sedikit pun.

"Hey! Jangan percaya dengannya!" Maya menarik tanganku.

Aku melirik Maya sekilas. "Aku mempercayainya."

Maya menelan ludah. Kemudian mengikuti langkahku, dan disusul yang lainnya.

Selama dalam perjalanan, aku tidak mendengar suara langkah kaki pria itu. Berapa kali aku mencoba memulai percakapan kepadanya, namun, dia tidak menjawab satu kata pun dariku.

Tibalah di salah satu pohon, yang di bawahnya terdapat gubuk kecil, yang aku yakini tempat itu adalah rumahnya.

Kami memasuki gubuk itu, kemudian ia mempersilahkan kami duduk di lantai, membentuk lingkaran.

Aku melihat ia yang tampaknya sedang menyiapkan teh untuk kami. Lalu teh itu, ia bagikan ke kami semua secara rata.

"Minumlah," ucap pria itu dengan nada datar.

Tak ada respon dari kami semua. Pria itu menghela napas pelan, kemudian ia meneguk teh miliknya.

"Namaku Hato. Penduduk asli pulau ini."

Breaking the Curse [END]Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang