18. Datanglah Wahai Dewa

23 11 5
                                    

"Aku mengirimkan kamu ke sana. Apa benar begitu?" Hato bertanya dengan serius.

Tampaknya dia sangat serius, menatapku dengan penuh keyakinan yang kuat-aku mengangguk.

"Rey. Ceritakanlah semuanya," Rozen berkata, sembari menatapku dengan tatapan penuh keyakinan.

Aku menitikkan air mataku, kemudian menatap Rozen dengan penuh dendam. "Kau tidak tahu, kan? Apa yang telah terjadi ketika kau tidak bersama kami?!"

Mata Rozen terbelalak. "Aku tidak bermaksud meninggalkan kalian-"

"KAU TIDAK MENGERTI! Betapa tersiksanya aku di penjara!" Aku menarik-narik baju Rozen. "Kau tidak pernah datang menolongku di penjara! Mengapa? Mengapa saat aku di penjara, kau tidak datang?!" Suaraku terisak-isak.

"Setiap harinya aku disiksa. Memangnya dosa apa yang telah aku perbuat?!" Tangisku tak terbendung lagi. Rasa trauma siksaan yang ada di penjara selama bertahun-tahun membuatku sakit karena telah membuka luka lama.

Rozen bersimpuh di depanku—aku tak dapat melihat wajahnya. Aku terus menatap ke bawah.

"Rey ...." Ia memelukku dengan erat. "Maafkan aku. Semenjak hari itu, aku dihantui oleh rasa bersalah yang luar biasa. Semenjak saat itu, aku selalu berdoa."

Aku mengangkatkan rahangku perlahan. Tangisku terhenti saat itu juga. Wajah Rozen saat ini bukanlah wajah seorang pria yang aku lihat. Senyumannya yang penuh dengan kerutan kulit itu, itulah senyuman seorang ayah.

"Aku selalu berdoa, supaya aku dapat bertemu denganmu. Aku tak menyangka kau bisa tumbuh menjadi anak yang dipenuhi tekad sebesar ini." Rozen menepuk-nepuk pelan kepalaku.

Aku menyeka air mata yang mengalir di pipi, dan kemudian, aku meliriknya. "Ayah ... ayo kita selamatkan bunda!"

Sudah kuputuskan. Setelah aku melihat keteguhan hatinya, aku akan memanggil pria ini ayah. Saat itulah, aku melihat ayah tersenyum sebagai seorang ayah untuk pertama kalinya.

Dalam sekejap, kilatan petir menembak tangan kiri ayah hingga putus dari tubuhnya, menyisakan keheningan dan kekagetan di sekeliling.

Mataku terbelalak, aku langsung memasang kuda-kuda, mencari siapa dalangnya.

"Para keturunanku dan manusia fana. Kalian mencoba memberontak kepadaku?" ucap seorang pria yang mengenakan kain putih panjang sebagai bajunya.

Mata Hato terbelalak. "Tuan Mato!?"

Tatapan yang begitu dingin. Aku dapat merasakan auranya. Inikah kekuatan Dewa yang gagal?!

Alis mataku berkerut. Urat-urat di dahiku menimbul sempurna. Dendamku kepadanya bukanlah dendam biasa. Dendam ini selalu aku tanamkan pada diri, walaupun waktu telah lama diulangi.

"KAU! HILANGKAN TUMBAL KEABADIAN ITU SEKARANG!!" aku berteriak kencang, hingga membangunkan rekanku yang lainnya.

"APA YANG TERJADI?!" Ilos keluar dari gubuk, membawa pedang besarnya, disusul oleh rekan lain.

Mata Pablo terbuka lebar. "Guntur yang menyelimuti seluruh tubuhnya, dan rambut kuning panjangnya itu! MATO!!?"

Tanpa beralaskan kaki. Mato berjalan ke arah kami semua dengan tenang.

"Hato, kau mengkhianati kepercayaanku," ujar Mato dengan tatapan tajam.

"Tuanku! Kumohon, dengarkanlah mereka dahu–"

Belum sempat melanjutkan pembicaraannya, tubuh Hato hampir diserang oleh sang guntur. Untung saja Hato dapat menangkis serangannya yang penuh dengan petir itu.

"Kalian semua, bersiaplah!" Ilos memimpin pasukan kami yang telah bersiap untuk melawannya.

"MAYA!" pekik Ilos, untuk mengisyaratkan Maya agar mengambil alih.

"BAIK!"

Maya dengan cakaran-cakarannya yang lincah, menyerang Mato dengan membabi buta. Upaya, agar Mato bisa fokus dengan serangan Maya dahulu.

Di bawah tubuh sang guntur, aku dapat melihat tanah yang menyerupai tangan manusia berhasil menangkap Mato hingga ia tak dapat bergerak. Aku langsung mengerti saat itu juga, bahwa tanah-tanah itu adalah sihir milik Grace.

Aku memandang Pablo yang sedang memberikan perlindungan kepada Grace di belakangnya.

"ROZEN! PABLO!" pekik Maya.

Sihir ayah adalah sihir angin, dan sihir Pablo adalah sihir api. Itu adalah kombinasi yang mematikan.

Pablo menciptakan belitan api yang meluncur dari tangannya, sementara Ayah membentuk pusaran angin untuk mengarahkan serangan api tersebut.

Dengan kekuatan sihir petirku, aku menjadikan beberapa pohon di sekitar hingga hangus, kemudian dengan gerakan lincah aku bereaksi secepat kilat untuk meletakkan beberapa pohon ke dalam pusaran api itu.

"BERHATI-HATILAH DENGAN APINYA!" aku berteriak, upaya mengingatkan rekanku.

Aku menaruh batang pohon ke dalam pusaran api itu. Setelah api itu semakin membesar dikarenakan batang pohon tersebut, aku berteriak, "AYAH!!"

Ayah menyerang Mato yang terperangkap oleh sihir tanah milik Grace dengan serangan pamungkas yang penuh yang dahsyat, membuat kami semua terhempas oleh kekuatan dentuman yang luar biasa.

Tubuhku telungkup, kemudian membuka mataku perlahan. "Apakah berhasil?" bisikku pelan.

Kegelisahan melanda saat aku menyadari seorang tanpa alas kaki berdiri tepat di depanku. Aku angkat rahangku meski bergetar. Dengan mata melotot dan jantung yang berdebar kencang, aku merasa ketakutan yang tak terbantahkan merayapi setiap serat tubuhku.

"Kau pikir, kau siapa? Sampah yang meniru diriku." Mato menyerangku dengan sihir petirnya yang mematikan.

"REY!!" ayah berteriak histeris.

Breaking the Curse [END]Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang