22. Area Kastel Kuno [END]

26 5 0
                                    

Kastel terlihat begitu nyata di hadapanku. Tak pernah terbersit dalam pikiranku bahwa jarak antara kami dengan Mato sudah begitu dekat.

Di sepanjang lorong kastel, lukisan-lukisan roh suci dengan rambut pirang dan mata yang berkilau seperti berlian menghiasi dinding.

Aku bersama ayah terus melangkah, menjelajahi setiap ruang dalam pencarian kami akan keberadaan Mato.

Langkahku terhenti mendadak saat mataku menangkap sosok yang sedang menatap lukisan dengan rambut pirang panjang sambil menangis.

Kesadaran akan situasi ini membuat diriku waspada. Keyakinanku menguat saat aku yakin bahwa sosok di depanku itulah Mato.

"Akhirnya kau datang juga, pencuri," ucap Mato dengan nada penuh penyesalan dan penyesalan di matanya.

"Mato!" aku berseru.

Mato kemudian mendekati kami.

Aku mengeluarkan pedang. "Hapuskan kutukan yang merenggut nyawa itu!"

"Mari kita berbincang sebentar,” ucapnya.

Dengan erat, aku menggenggam gagang pedang, mati-matian menatapnya dengan penuh dendam dan tekad yang menggebu.

Mata ayah melotot, kemudian menarik tubuhku, menjauh dari "Menjauh dari anakku!"

Mato melirik tajam ke arah ayah. "Manusia, sudah cukup bagiku untuk melindungi kalian dari para pendosa itu.”

Tangan kanan ayah dikelilingi angin yang siap menyerang, tepat di ulu hati Mato, sementara ia berkata dengan penuh kemarahan, "RASAKAN INI, SIALAN!

Mato dengan sigap mampu menangkis serangan ayah dengan kecepatan yang mengejutkan. "Kau tidak akan mampu mengalahkanku, aku hidup abadi.”

Dengan tindakan kilat, Mato memukul perut ayah sehingga membuatnya terpental dan jatuh tak berdaya.

"AYAH!" Aku menggigit gigiku hingga bergetar.

Dengan hati berdebar, aku meluncur ke arah ayah, memastikan bahwa ayah tidak terluka parah. Rasa lega membanjiri hatiku saat melihat keadaan ayah yang masih bernapas.

“SIALAN KAU!!" teriakku dengan penuh kemarahan lalu menyerang Mato berulang kali dengan sihir guntur yang ku miliki.

Ayah mulai bangkit dengan perlahan, ia berkonsentrasi dan mengumpulkan kekuatan sihir angin di dalam tangannya. "REY!" teriak ayah dengan isyarat yang jelas kepada diriku.

Dengan berani, aku melompat ke depan, memberikan ruang bagi sihir angin ayah untuk mengenai Mato.

Mato meraih sihir angin yang dilontarkan ayah, meresponsnya dengan mengeluarkan petir yang semakin mengerikan, menciptakan badai petir yang mengguncang area sekitarnya.

Akibatnya, ayah dan aku terpental jauh karena kekuatan badai petir yang maha dahsyat.

"Sudah kubilang, kan? Kalian semua tidak bisa mengalahkanku, walaupun sudah bersusah payah," Mato berkata dengan tenang.

Aku membuka mataku perlahan—aku yakin, pasti ada cara yang sangat-sangat efektif untuk mengalahkannya.

Mato mendekat ke arahku, dengan pedang yang terbuat dari petirnya mulai mengancam di depan wajahku.

“Aku benci matamu,” kata Mato, datar.

Ayah menggunakan satu tangannya untuk menebas apa pun dari tubuh Mato. Namun, dengan kecepatan yang luar biasa, Mato berhasil memotong salah satu kaki ayah tanpa menunjukkan ekspresi apapun.

“AAAAGGGGHHHHH!!!” ayah berteriak histeris.

Dalam keadaan yang tegang, dengan keringat yang mengalir dan napas yang terengah-engah, tatapanku kosong, aku hanya merasakan kehampaan di dalam diriku. Suara jeritan ayah menusuk hatiku, membawa rasa takut yang mendalam.

Aku tak sanggup melihat darah yang terus muncrat dari kaki ayah, serta pendarahan di tangannya yang semakin membusuk. Perasaan cemas dan ketakutan meliputi seluruh diriku.

Breaking the Curse [END]Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang