Awan yang menutupi cahaya mentari terlihat mendung, menurunkan gerimis yang mengundang kilat dan guntur dari langit.
Kakiku tidak berhenti bergerak. Kekhawatiran melanda perasaanku. Aku menggigit jari-jariku di setiap kilat dan guntur menyambar di atas sana.
Pria itu, Rozen sesekali memandang ke arahku. Aku paham sekali, dia ingin menenangkanku.
"Apa masih lama?" aku bertanya dengan penuh kegelisahan.
Rozen beranjak dari duduknya, mendekati kusir yang tengah mengendarai delman, dengan gerak-geriknya yang terasa penuh dengan amarah. "Hey! Apa kau bisa menjalankan tugas dengan benar?! Harus berapa lama aku menunggu hingga sampai?!"
Serunya itu membuat kusir ketakutan, dan kemudian melajukan delmannya secepat mungkin tanpa peduli lagi apa bahaya yang akan terjadi di depan sana.
Aku menghela napas panjang. "Kita ini masih berada di kota. Kenapa tidak bisa pelan-pelan saja? Dasar pria yang suka emosi!"
Entah apa yang terjadi, pria ini selalu menuruti perkataanku semenjak ia mengetahui bahwa aku adalah anak kandungnya. Aku masih tak percaya, bahwa pria ini memiliki ikatan darah yang sama denganku.
Rozen kembali duduk di hadapanku.
"Kita harus pergi ke mana sekarang?" aku bertanya kepadanya, sembari celingak-celinguk, melihat ke arah luar jendela.
"Kita tunggu Ilos dan Maya terlebih dahulu," kata Rozen.
Aku mengangguk.
Sudah beberapa jam kami berada di dalam delman ini. Bosan dan jenuh telah kami lalui.
Awan yang mendung menurunkan hujan deras ke tanah. Roda delman menjadi licin karena terkena genangan air yang memenuhi tanah berlumpur.
Suara gemuruh membuatku semakin menggebu-gebu. Aku memainkan jari-jariku selagi menunggu Ilos dan Maya menyusul kami.
Tiba-tiba saja delman berhenti secara mendadak. Kami berdua kaget, sedangkan Rozen menghampiri supir delman dengan wajah marah.
"Hey! Kau gila?! Aku sudah membayarmu! Tetapi kau malah tidak bekerja dengan becus!" Rozen menghina supir delman itu.
Namun selang beberapa detik, pupil mata Rozen mengecil setelah melihat supir di depan.
"Ada apa?" aku bertanya, keheranan melihat pria ini mematung.
"J-jangan keluar!" tegas Rozen kepadaku, dia terlihat panik.
Aku melihat dari sekat kecil di dalam delman, yang mengarah ke arah supir. Alangkah terkejutnya aku ketika melihat supir tersebut telah bersimbah darah. Aku bahkan tidak melihat potongan tubuhnya yang lain.
Napasku tidak beraturan. "Ayah! Aku harus bagaimana?!"
Rozen semakin mematung ketika aku mulai berbicara. "Ayah, ya ...." Ia tersenyum tipis. "Kau tunggu saja di sini, biar ayah- maksudku aku, yang keluar untuk memeriksa."
Setelah Rozen turun dari delman, serangan mendadak dari seseorang berbadan besar menggoreskan pipi Rozen. Rozen menjauhi makhluk itu.
Aku yang melihat kejadian itu dengan seksama, langsung turun dari delman. "Apa itu?!" aku bertanya selagi guntur mengelilingi tubuhku. Mataku terbelalak, sebab ketika melihat makhluk itu, aku langsung mengingat bibi Lean yang telah berkhianat.
"Rey! Pergi cepat!" perintah Rozen yang sedang memegang pedang dengan raut wajah yang serius.
Aku menggertak gigiku. "Kau pikir aku lemah?! AKU YANG AKAN MEMBUNUHNYA!" aku berteriak, sambil berlari menuju ke arah makhluk itu.
Kulit makhluk itu tebal, serta berwarna merah gelap. Aku yakin sekali makhluk ini adalah troll.
Aku menyerang troll itu dari belakang, namun dengan gesit ia menghindari seranganku.
"Kau! Kau memiliki darah Lan!" pekik troll itu. Secepat kilat ia menyerangku dengan sihir aneh yang mengerikan, namun aku dengan gesit berpindah-pindah, menggunakan sihir petirku yang tak kalah laju dari pergerakannya.
Rozen mendekati troll itu dari belakang, selagi dia masih fokus menghadapiku dengan tawanya yang riang. Serangan Rozen dengan pedang berhasil menebas pergelangan tangannya. Membuatnya berteriak kesakitan, yang terdengar sangat amat berisik, bahkan teriakannya membuat para burung-burung berterbangan, menciptakan kekacauan di hutan, menarik perhatian sang guntur.
Pergelangan tangan troll yang telah terputus itu beregenerasi kembali, entah bagaimana caranya. Hal itu membuat kami kebingungan serta terkejut tak percaya.
"Bagaimana bisa!?" tanyaku yang kebingungan.
"Kami ini makhluk yang kuat! Dasar manusia yang munafik!" troll itu berseru, kemudian membalas serangan Rozen. Ia menyerang Rozen dengan cepat, namun Rozen hanya bisa menghindari serangannya, walaupun beberapa cakaran troll itu mengenai beberapa tubuhnya.
Aku yang melihat itu tentu tidak tinggal diam! Aku memejamkan mata, menghirup napas dalam-dalam. Kemudian, ketika aku membuka mataku lagi, tubuhku telah dipenuhi oleh aliran listrik. Aku berlari kencang, secepat kilat untuk menyerang troll itu, sebelum troll itu menyerang Rozen dengan cakarannya yang memberikan racun kepada Rozen.
Aku menyambar ulu hatinya dengan satu tanganku. Troll itu terpelanting sangat jauh, namun aku tetap menyerangnya, walaupun ia berteriak kesakitan atas serangan-seranganku.
Setelah di rasa ia terpuruk, aku mengalirkan listrik sebanyak mungkin dari tanganku, kemudian aku tersenyum lebar sembari bersiap, untuk menonjok perutnya dengan aliran listrik yang menyambar seluruh tubuhnya.
Aku mengerutkan alis, ketika dia mulai menangkis seranganku dengan kedua telapak tangannya. "Tenagamu lemah!" troll itu berseru, kemudian mendorong perlahan diriku yang masih menahan dorongannya. Aku pun memperkuat aliran listrik, supaya ia dapat dikalahkan.
"Terimalah angin ini!" Rozen berseru, dia menendang kepala troll itu. Namun, tendangannya itu diikuti oleh beberapa angin yang menyelimuti kakinya. Ya, elemen sihir Rozen dapat menciptakan angin. Dikarenakan aku mengeluarkan listrik yang mengenai sihir anginnya, terjadilah badai besar yang membuat kami semua terpental sangat jauh.
Aku mulai bangkit, melihat sekitar yang telah hancur karena serangan badai petir dari dua orang ayah dan anak.
Ketika aku membuka mata, aku dikagetkan dengan tubuh troll itu yang sudah hancur, namun masih bisa berdiri tegak menatapku.
Lagi-lagi aku mengalirkan listrik di tanganku. Melihatnya yang sudah sekarat, dan menghitam akibat tersambar, membuatku sedikit lega.
Troll itu hendak menyerangku lagi, walaupun pergerakannya menjadi lebih lambat, dia tetap ingin menyerangku.
"Musuh terkunci!" ucap seorang yang familiar.
Pergerakannya dikunci dengan sihir tanah, yang tiba-tiba muncul dari bawah tanah. Seorang gadis muda muncul dari semak-semak. Mataku terbelalak! Itu adalah Grace!
"Grace, kau!" aku berseru.
Grace menyudutkan bibirnya. "Tenang saja, kawan!"
"Benar, kawan! Kami ada di sini!" seru Pablo. Ia memunculkan sebuah sihir api ke arah troll itu. "MELEDAK!" serunya, sambil tertawa puas.
"Rozen, sekarang!" aku berseru kepadanya.
Dari balik debu-debu tanah yang berterbangan. Rozen datang dengan membawa pedangnya. "Aku mengerti!" Angin-angin dari segala arah berkumpul ke pedangnya. Serangan Rozen membuat hutan menjadi panas, akibat sihir Pablo, yaitu sihir api yang terkena angin, serta sisa-sisa listrik milikku membuat udara jadi tak sedap. Bau hangus, mengerikan!
Rozen menebas leher troll itu dengan sekuat tenaga. Bahkan beberapa pohon ikut terkena dampaknya.
"Wah, kalian tak perlu bantuan kami?" ucap seseorang yang muncul dari selatan.
Aku menoleh. "Ilos, dan Maya!" Mulutku terbuka lebar.
KAMU SEDANG MEMBACA
Breaking the Curse [END]
FantasiaReynard, terkurung dalam penjara sejak usia enam belas tahun, terjebak dalam belenggu masa lalu yang tak bisa ia lupakan. Hidupnya yang gelap dan penuh penderitaan berubah semenjak dia bertemu dengan seorang pria tua misterius. Pria tua itu membawan...