16. Lautan Terbentang Luas

23 10 0
                                    

Laut yang tenang seakan mengatakan bahwa pada hari yang tampak menegangkan ini, semuanya pasti akan baik-baik saja.

Aku menutupi sinar mentari dengan jari-jariku. Entah mengapa, matahari pada pagi ini sangat terik. Aku bahkan tidak merasakan bahaya apa pun.

"Aku sangat gugup, tapi aku juga bersemangat!" Grace datang menghampiriku bersama Pablo.

"Kita tidak boleh menganggap remeh pulau itu," ucap Pablo, menatapku serius. "Penduduknya hanya diam, sibuk dengan urusan pribadi. Jelas sekali mereka tidak akan menyambut orang luar."

Grace menyeka air matanya. "Ibu ... jika aku mati mengenaskan di pulau itu, apa dia masih tetap marah? Karena aku membawa seluruh roti di rumah hingga habis tak tersisa?" Matanya berbinar-binar.

Pablo menyikut tubuh Grace dengan kesal. "Kita tidak akan mati! Dasar ... selalu saja bercanda di saat orang-orang serius!"

"Itu tidak benar! Sungguh, aku tidak bercanda! Ketika ibuku marah, dia benar-benar seperti gorila yang mengamuk!"

"Oh, ya? Memangnya dia berani melakukan kekerasan kepada anak perempuannya satu-satunya?" Pablo melipatkan tangannya.

Grace mengangkat lengan bajunya. "Kau lihat luka ini?"

Pablo mengangguk.

Grace menelan ludahnya. "Tulang lenganku pernah retak karena wanita gorila itu!" Ia menunjuk ke suatu tempat.

Aku menoleh ke arah itu, dan betapa terkejutnya aku ketika mengetahui, bahwa wanita gorila yang disebut Grace adalah wanita dengan surai kusut dan berbadan kekar. "MAYA!?" aku berteriak kencang.

Rozen yang hampir tertidur karena sunyinya ombak laut seketika terbangun, kemudian ia memasang kuda-kuda waspada. "Di mana musuhnya?!"

Maya melirik tajam ke arah kami, sambil mendayung perahu.

"Rey ... kau baru tahu?" tanya Pablo sambil menyudutkan bibirnya.

Aku mematung, tak menjawab apa pun—aku benar-benar masih tidak percaya akan hal ini. Maya memiliki anak? Yang benar saja!

"Hey, bocah! Sekarang giliran kalian! Dasar merepotkan. Seharusnya kalian berbakti kepada orang tua," kata Maya, sambil membawa dua alat dayungan perahu—matanya terlihat sinis.

Maya melirik Grace. “Apa yang kau katakan tadi, Grace? Roti?”

Grace berusaha menyembunyikan sesuatu. “T-tidak ada apa-apa!” Grace tertawa kecil.

Pablo menghela napas. "Aku sudah mendayung tadi, sekarang giliran Grace dan Rey."

Grace yang masih memegang lengannya, tiba-tiba terduduk lemas. "Oh tidak ... aku rasa tulangku bisa retak lagi karena mendayung ... apa aku bisa istirahat saja?" ujarnya dengan wajah yang entah mengapa membuat aku kesal.

Maya memukul perut Grace menggunakan batang dayungan perahu. "Jangan mengomel!"

Hubungan orang tua dan anak ini benar-benar aneh.

Mataku tertuju kepada Ilos yang termenung menatap pulau di seberang. Aku mendekat ke arahnya, selagi Grace dan Maya sedang beradu mulut.

"Apa kau baik-baik saja?" aku bertanya, ketika melihat tatapan matanya yang serius, hingga kerutan-kerutan halus terlihat di kulit-kulit wajahnya.

Ilos tersenyum tipis. "Trauma itu memang susah dihilangkan, ya. Di dalam benakku, aku masih ingat dengan jelas, tangisan gadis kecil itu."

"KAU BILANG, KAU AKAN MEMBAWA AYAH KEMBALI DENGAN SELAMAT!!" teriak gadis kecil yang menangis, sambil memukul-mukul tubuh Ilos—memori itu akan selalu diingatnya.

"Maksudmu?" aku bertanya, memiringkan kepalaku, kebingungan.

Ilos menggelengkan kepalanya, kemudian ia berdiri, untuk bergantian denganku, mendayung perahu. "Dayungkan dengan laju, ya," ujar Ilos sembari memberikan alat dayung perahu.

Aku tersenyum lebar. "Tentu saja!"

Aku mendayung perahu itu dengan tenang, kemudian disusul oleh Grace, yang baru saja berdebat dengan ibunya.

"Aku tidak menyangka, ternyata kau anak dari guruku," ujarku berbasa-basi.

Grace menghela napas. "Begitulah faktanya. Orang-orang tidak percaya bahwa Maya memiliki anak perempuan, yang cantik dan seimut diriku ini!"

Aku memasang wajah jijik. "Aku tidak pernah melihat Maya bersama ayahmu."

Seketika suasana menjadi hening. Hanya terdengar suara ombak, dan desiran angin yang berhembus.

"Dia sudah lama mati," Grace berkata dengan datar.

"Maafkan aku ...." Aku memandang ke bawah, tak berani melihatnya.

"Tidak apa! Jangan dipikirkan. Aku juga sudah lupa kenang-kenangan bersamanya, dia meninggalkanku saat aku masih kecil. Aku pun sudah lupa semua tentangnya."

Meski begitu, tetap saja. Aku merasa sangat bersalah. Kehilangan orang tua itu rasanya sangat pahit—aku mengangkat rahang, melihat Grace yang sedang asyik mendayung, dengan senyumannya yang khas.

“Kau tahu, kan? Tentang rekan-rekan Ilos yang datang ke pulau itu. Ayahku juga bagian dari petualang yang mati di sana, Rey,” kata Grace.

“Begitu ya ….”

“Benar! Maka dari itu, ayo kita membalas dendam!” Grace berseru.

Mataku tertuju kepada burung elang yang berterbangan di langit lepas. Aku berpikir sejenak, betapa senangnya jika aku memiliki sayap. Terbang bebas di langit biru yang cerah.

Aku mengepalkan tanganku, melihat dengan serius pulau misterius itu yang semakin mendekat.

"Takdir kematian apa pun itu, akan aku ubah demi bunda!"

Breaking the Curse [END]Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang