13. Titik Terang

27 11 0
                                    

[Reynard Lan]

"Kenapa aku harus tinggal dengan pria itu?!" kataku dengan nada tinggi.

"Jangan kekanak-kanakan, Rey. Akan sangat berbahaya jika kau tetap bersama Joanna," Maya berkata dengan serius.

"AGHHH! AKU TAK MENGERTI!!”

Suara retakan misterius terdengar dari tubuh bunda. Kami berdua menoleh dengan cepat.

Aku tahu suara retakan itu, suara itu berarti bahwa kukan bunda sudah semakin menyebar, atau semakin parah.

Dengan panik, aku langsung mendekati bunda. "Bunda!"

Bunda tampak memikirkan sesuatu. "Rey, kehadiranmu membuat kutukan ini semakin parah.”

Mataku terbelalak tak percaya. "Itu tidak benar! Bunda telah ditipu oleh pria itu!"

Maya menarik pundakku. "Tenangkan dirimu, Rey!"

"Bagaimana aku bisa tenang? Pria itu tiba-tiba datang, lalu menyuruhku untuk tinggal bersamanya! Melihat wajahnya saja aku mual!”

Aku benar-benar tidak peduli dengan perasaan Rozen. Dia tengah bersandar di tembok, tanpa rasa bersalah.

Bunda menghela napas panjang. "Roh suci yang berada di dalam tubuhmu itu. Namanya Arfita, kan?" tanya bunda.

Aku mengangguk pelan.

"Arfita, bisa kau jelaskan semua ini?" Bunda memijat keningnya. "Aku tidak sanggup mengatakannya," keluh bunda.

"Dimengerti," ucap Arfita yang tiba-tiba muncul dari tubuhku. Seperti tumpukan asap. Roh suci muncul dari tubuhku.

"Kau?!" kataku.

Arfita membungkukkan tubuhnya. "Izinkan saya menjelaskan semuanya, Tuan."

Aku merapatkan rahang. "Jelaskan, Arfita.”

°-┌⁠★⁠┘-°

Pagi ini, aku benar-benar pergi ke negara Dhoreland. Aku berdiri di depan toko, menatap papan kayu yang bertuliskan 'Makaroni Reyn' yang ditulis olehku saat itu.

Bunda keluar dari toko, membawa beberapa barang bawaanku. "Rey ...."

Aku menatap matanya yang indah, yang mungkin ini adalah untuk terakhir kalinya.

Bunda sangat paham. Dia melemparkan senyuman termanisnya kepadaku. "Selamat tinggal, Rey. Sering-seringlah mengirimi Bunda surat, ya! Bunda menantikan kisah-kisah keren darimu!”

Rozen melirik bunda dengan tatapan sendu. "Tenang saja, Joanna. Akan aku pastikan kau tetap hidup dengan tenang.” Rozen tersenyum.

Kami berdua pergi dari toko. Sebelum pergi, aku melirik Ilos dan Maya dengan serius. Mereka seaakan paham, karena kami merencanakan sesuatu yang tidak diketahui bunda.

°-┌⁠★⁠┘-°

Semalam, aku duduk di atas bukit….

Merenung sendu menatap gelapnya malam yang dipenuhi oleh awan yang mendung. Aku tidak melihat satu pun bintang, karena awan yang menutupinya, tidak mengizinkan cahaya masuk untuk menyinari bumi.

Aku menggigit jari-jariku yang dipenuhi luka-luka.

Kebiasaan ini telah berlaku semenjak aku dijerumuskan dalam penjara. Kebiasaan yang tidak baik, namun itu membuatku tenang.

Seseorang datang, melepaskan jariku dari gigitanku sendiri.

Aku tahu siapa dia. Terlihat jelas dari tangannya yang berurat dan kasar.

"Kebiasaan yang sama denganku, tetapi tindakanmu itu sudah termasuk menyakiti diri sendiri," ungkap Rozen, dan kemudian duduk di sampingku.

"Jangan sentuh aku! Pergi saja kau!" tegasku tanpa melihat wajahnya.

Rozen memandang kakiku yang bergetar. "Aku tidak menyentuhmu.”

“Aku akan mencari Mato itu. Di mana pun dia berada. Aku akan membunuhnya, meskipun nyawaku taruhannya,” jelas Rozen.

Aku terdiam. "Memangnya kau bisa?"

Rozen terkekeh. "Jika kau tidak ingin tinggal bersamaku, itu artinya kau harus ikut denganku untuk mencari Mato itu."

"Bagaimana caranya? Sedangkan keberadaannya masih belum diketahui," aku berkata dengan ketus.

Rozen mengerutkan keningnya.

Aku melirik dalam-dalam wajahnya, ekspresinya yang dipenuhi kegelisahan yang begitu nyata. Matanya yang dipenuhi kantung gelap memancarkan aura ketakutan yang tak berkesudahan.

"Apa kau tahu? Ketika Ilos masih sangat muda, dia dan rekan petualangnya pernah tiba di sebuah pulau misterius. Pulau yang dipenuhi oleh ritual-ritual aneh. Hanya dia yang selamat dari pulau itu," jelas Maya yang tiba-tiba muncul, berdiri di depanku dengan tatapan yang meyakinkan.

"Nak, aku bisa mengantarkan kalian ke pulau itu." Ilos yang biasanya selalu bercanda, muncul dengan wajah serius di hadapan kami.

Mataku berbinar-binar, aku sangat terharu atas perlakuan orang terdekatku. Aku menyeka air mata yang hampir mengalir di pipiku.

"Apakah pulau itu benar-benar pulaunya Mato?" aku bertanya serius.

"Ya. Di pulau itu, mereka menyembah Mato, tetapi tempat itu sangatlah berbahaya. Guntur Mato tidak segan-segan menyambar orang asing yang berusaha masuk ke pulau."

Lagi dan lagi, listrik muncul dari kulitku.

"Aku rasa kita terlalu sering menyebut namanya," kata Ilos, sedikit menyudutkan bibirnya.

Breaking the Curse [END]Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang