6. Prajuritku!

42 23 10
                                    

Aku membuka pintu kedai makaroni, yang juga merupakan rumahku. "Aku pulang." Suara lonceng kecil terdengar ketika aku membuka pintu.

Bunda menyambutku dengan senyum hangatnya yang memancarkan kelembutan seorang ibu. "Selamat datang, Rey! Dan ...." Mata bunda tersorot ke arah Maya.

“Apakah kau … Maya?” tanya bunda penasaran.

Maya mengangkat rahangnya, memperhatikan wajah bunda dengan seksama.

Ketika Maya mulai sadar, matanya terbelalak tak percaya. Seperti melihat sosok teman yang telah lama hilang. "Nona Joanna!" Maya berlari, memeluk bunda, dengan tangis kencang yang membuat hatinya pedih.

°—┌⁠★⁠┘—°

Bertahun-tahun lalu, ketika Joanna masih menjadi gadis remaja…

Di tepi perbatasan negara Dhoreland, ada tempat kumuh yang memperjualbelikan manusia sebagai budak. Sering dibilang, pasar gelap yang menjual berbagai barang-barang terlarang dan berbahaya.

“Nona Joanna, di sini sangat berbahaya. Saya mohon, kembalilah sebelum hal-hal yang tidak mengenakkan terjadi …,” pinta seorang pelayan kepada majikannya.

Joanna tersenyum hangat. “Aku ingin melihat kondisi langsung ke tempat wargaku.” Ia mengerutkan dahinya. “Aku tak percaya, tempat ini lebih mengkhawatirkan dari yang aku kira.”

“Jangan khawatir, Nona Joanna! Saya akan selalu menjaga anda dari serangan para pengutil,” tegas seorang prajurit yang meyakinkan nona muda tersebut.

Semenjak bangsawan napi itu menjadi tuan tanah perbatasan ini, tempat ini kehilangan satu-persatu tawa anak-anak. Kelaparan, kekurangan gizi, penyakit menular, membuat semuanya menjadi kacau-balau. Untunglah bangsawan itu tertangkap, karena ketahuan memakan uang hasil kerja keras rakyat.

Suara rantai besi terdengar dari kejauhan, menarik perhatian para bangsawan yang penasaran akan baru saja terjadi.

“LEPASKAN!” pekik gadis kecil dengan kuping dan ekor berbulu, mirip serigala.

“JANGAN BERGERAK!” tegas seorang bedebah yang menarik paksa gadis itu ke dalam kandang tak layak bagi kemanusiaan.

Joanna mengerutkan hidungnya—tak tega melihat kejadian yang baru saja terjadi.

Gadis kecil itu berusaha melepaskan diri dari rantai besi yang mengikat lehernya.

“HENTIKAN! KAU MAU MATI?!” teriak seorang yang masih menarik rantai tersebut.

Kegigihan gadis kecil itu berhasil mematahkan rantai besi kuat, hanya dengan tubuh kecilnya itu. Tubuh gadis itu hampir saja jatuh ke tanah, namun dengan sigap, Joanna memeluk gadis itu di dekapannya.

“Siapa kau!? Beraninya kau menyentuh budakku!!”

Joanna melirik dengan tatapan dingin nan tajam. “Aku akan membelinya!” Joanna berseru.

°—┌⁠★⁠┘—°

"Aku tidak menyangka bahwa Reynard anak Nona Joanna! Aku benar-benar bersyukur bisa dipertemukan denganmu lagi ...." Maya mengelap air matanya dengan sapu tangan yang baru saja aku bawa.

Bunda tertawa terbahak-bahak. "Maya, kau sudah besar sekarang! Pertama kali aku bertemu denganmu ketika kau masih sekecil Reynard.” Mata bunda berkaca-kaca.

"Aku dengar dari para pelayan, anda diusir dari kediaman Tuan Rozen Hopeen dan menghilang bersama anakmu.” Maya menunduk.

"Apa kau berhasil lulus dari akademi?" tanya bunda berusaha menenangkan Maya.

Aku beranjak dari dudukku, kemudian membuat adonan kue untuk membantu penjualan.

Maya mengangguk. "Setelah lulus, aku pergi ke seluruh pelosok negeri untuk mencarimu, dan aku menetap di tempat ini menjadi petualang," jawab Maya sambil tersenyum.

"Kutukan anda … bagaimana?" tanya Maya.

Aku berhenti mengocok adonan kue, dan memasang telingaku untuk menggali informasi lebih lanjut.

Bunda mengangguk. "Kutukan ini tidak bisa hilang, tetapi aku mendapatkan mimpi aneh yang terus menerus muncul ketika aku mulai tidur.”

"Di sebuah pulau kecil, di mana orang-orang di sana masih mengikuti aturan adat-istiadat yang ketat. Mereka memuja Mato, keturunanku," jelas Bunda menatap langit-langit ruangan.

"Lalu aku melihat sebuah pedang besar yang telah retak karena kutukan. Pedang itu telah berkarat setengahnya.”

"Kutukan itu sudah menyebar ke mana saja?" tanya Maya dengan ekspresi sedih.

"Semuanya. Seluruh tubuhku hampir diselimuti oleh kutukan itu. Akhir-akhir ini aku juga sulit bergerak. Seperti ada yang menunda-nunda kinerja ototku."

Maya memijat keningnya. "Aku harus bagaimana? Aku tidak ingin kehilanganmu untuk kedua kalinya."

Bunda menyentuh pundak Maya. "Tidak usah dipikirkan. Aku tidak akan mati karena penyakit ini. Penyakit ini hanya membuat tubuhku menjadi tidak enak dipandang saja, namun tidak menyebabkan kematian." Bunda berusaha menenangkan suasana, namun, aku tahu itu semua bohong. Aku melihatnya sendiri. Bunda yang terbaring lemas di lantai dengan tubuh yang sudah membusuk dan penuh luka tragis. Mengingatnya, kepalaku rasanya dipenuhi jarum-jarum yang bersedia menusuk serat-serat dagingku.

“Sudahlah, maafkan aku membahas hal itu secara tiba-tiba,” ujar Maya.

“Itu benar!” Bunda tersenyum lebar.

“Jadi … Maya ya yang membuat Rey berkeliling kota dengan membawa besi-besi berat itu?” Urat-urat muncul di pelipis dan kening bunda.

“Benar itu Bunda! Tubuhku terasa berat setiap harinya!” aku berseru, berusaha menenangkan suasana.

“N-nona! Aku tidak tahu kalau Rey adalah anakmu!” Maya meneteskan air matanya.

Bunda terkekeh pelan. “Bagaimana dengan Rey? Apakah ada perkembangan dalam latihannya?”

Maya memutarkan bola matanya ke atas. “Dia cukup kuat, baru saja empat minggu kulatih, tapi dia sudah pintar bertarung, terutama ketika membuat strategi.” Maya melirik bunda. “Kepintarannya menurun dari anda, ya.” dia tersenyum.

“Wah! Benarkah?” Bunda tersenyum manis ke arahku.

“Maya, kau berlebihan … aku tidak sekuat itu,” ujarku sedikit malu-malu.

“Benar juga, kau kuat, kenapa kau tidak bersekolah di akademi saja? Pelajaran di sana lebih baik daripada materi yang aku berikan padamu,” tanya Maya kepadaku.

“Benar itu, Rey. Uang kita sekarang lebih dari cukup untuk ini semua!” Bunda bersemangat.

Mataku terbelalak kaget. “A-akademi?!”

Kenangan buruk menusuk ke dalam saluran pernapasanku, merenggut napasku dalam keputusasaan yang mendalam.

“Rey!”

Breaking the Curse [END]Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang