05. Give up

172 25 3
                                    

Shani bersandar pada kursi dengan kepala mendongak ke atas. Tak lama, dia memilih mengusap kasar wajahnya. Selama lima hari ini dia selalu berusaha menghubungi Ara walaupun tidak menghasilkan apapun. Untuk mendapatkan kontak pria itu saja Shani harus menyiapkan mental karena hanya mertuanya yang mempunyainya.

Ingatannya kembali ke empat tahun lalu, dimana semua masalah terjadi karena ego dalam dirinya. Sempat terlintas dalam pikiran wanita itu, jika egonya saat itu bisa di atasi dengan baik, mungkin saja semua masalah ini tidak terjadi.

"Shan!"

Tubuh Shani tersentak begitu saja. Dia menatap kesal ke arah wanita yang berdiri di hadapannya.

"Bisa tidak jangan buat orang kaget? Untung saja aku tidak mempunyai riwayat jantung," gerutu Shani sembari mengubah posisi duduknya.

"Habisnya kamu di panggil dari tadi tidak ada reaksi sama sekali, jadi terpaksa aku gunakan cara seperti tadi," jawab Sisca tidak ingin kalah. Pikirnya Salah sendiri Shani larut dalam lamunannya itu.

Mendengar jawaban sahabat sekaligus rekan kerjanya membuat Shani memutar bola matanya jengah. "Ada perlu apa?"

"Yeh, bisa biasa saja nggak wajahmu itu" ujar Sisca mengusap wajah Shani dengan cepat.

Tak ingin merasa kalah, dengan cepat Shani menepis tangan sahabatnya itu.

"Ishh, tanganmu bau terasi!" gerutu Shani membersihkan wajahnya dengan tisu.

Mendengar protes itu, Sisca mencium tangannya, lalu tersenyum lebar dengan memperlihatkan deretan giginya. "Padahal tadi aku sudah cuci tangan dengan bersih"

"Tetap saja bau, Sisca." geram Shani melemparkan tisu bekas ke arah Sisca.

Beruntung saja, Sisca berhasil menghindar dari lemparan tersebut. "Oke ... oke, aku minta maaf. Sekarang ada yang lebih penting dari bau terasi ini"

"Apaan?" sahut Shani menatap dengan malas.

"Sebelum aku kasih tahu kamu, bolehlah minta minum dulu. Haus banget soalnya tadi habis berhadapan dengan pasien ibu-ibu kompleks," Ucapan Sisca tersebut membuat Shani ingin sekali menendang wanita itu sekuat mungkin. Bisa-bisanya dia meminta minum di tengah rasa penasaran Shani yang begitu tinggi.

Walaupun rasa kesal sedang mendominasi tubuhny, Shani tetap mengambilkan Sisca minum di lemari pendingin berukuran mini di sudut kiri ruangannya.

"Nih, minum sampai puas biar ceritanya tidak setengah-setengah" Shani menyodorkan air mineral pada Sisca. Bukannya segera mengambil air kemasan itu, Sisca menatap Shani dengan intens.

"Kenapa?" tanya Shani bingung dengan tatapan sahabatnya.

"Seriously? Kamu ngasih air mineral?"

"Sengaja, biar kamu nggak minum-minuman yang manis terus. Selain itu air putih sehat untuk tubuh dan tentunya kamu tahu itu" jawab Shani masih mempertahankan nada kesalnya. Karena Sisca tak kunjung menerima ulurannya, terpaksa Shani meletakkan air mineral itu ke atas meja dengan kasar.

"Astaga, sabar Shan" ujar Sisca mengusap dadanya.

"Hmm"

Tak ingin membuat Shani bertambah kesal. Dengan cepat wanita bergigi gingsul itu meminum air tersebut hingga tandas.

"Sepertinya kamu beneran haus, ya?" tanya Shani tak percaya melihat Sisca dapat menghabiskan air hanya dalam satu menit saja.

"Hah" Sisca meletakkan botol kosong tersebut di atas meja. "Tadi kan sudah aku bilang alasannya dan kamu pikir menghadapi seorang ibu-ibu itu tidak menghabiskan banyak tenaga."

Heal With TimeTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang