Sekitar pukul sebelas malam, setelah menyelesaikan semua pekerjaan di rumah sakit, akhirnya Shani pulang, ia sudah tidak sabar mengistirahatkan tubuhnya yang sangat lelah untuk segera menyentuh kasur.
Seharusnya hari ini dia bisa pulang pukul dua siang, tapi mengingat mulai besok sampai satu minggu kedepan dia harus melakukan perjalanan ke Swiss. Dengan sangat terpaksa semua pekerjaan selama satu minggu tersebut harus di selesaikan hari ini juga, supaya tidak terbelengkalai.
Baru beberapa langkah Shani memasuki kediamannya, keberadaan seseorang terpaksa membuat langkahnya terhenti. Dia berusaha mengingat apakah sebelumnya ada janji dengan orang itu yang belum ditepati.
"Kenapa baru pulang?" Keenan menutup sebuah majalah dan mengambil fokus pada putrinya.
"Ada beberapa pekerjaan yang harus aku selesaikan, Pa." Shani kembali melangkahkan kaki dan berhenti tepat dihadapan sang ayah. "Papa sudah lama disini?"
"Duduk," titah Keenan mengabaikan pertanyaan yang dilontarkan oleh Shani.
Tanpa banyak bicara Shani memilih duduk di sofa berbeda dengan yang diduduki oleh Keenan. Rasanya, aura Keenan malam ini tak seperti biasanya. Biasanya sorot mata ayahnya itu penuh kelembutan, tapi malam ini yang terlihat hanya tatapan intimidasi.
"Pekerjaan apa yang membuat kamu pulang sampai larut malam seperti ini?"
Pertanyaan tersebut sangat membuat Shani takut untuk menjawab dengan jujur. Sebab, rencana kepergiaannya esok hari tanpa sepengetahuan kedua orang tuanya. Dia tak ingin, jika keduanya mengetahui rencana itu, bisa-bisa kepergiannya batal begitu saja.
"Ada beberapa dokumen rumah sakit yang harus Shani cek ulang." Jawaban dari Shani tidak membuat Keenan merasa puas. Pria paruh baya itu merasa putrinya sedang menutupi sesuatu. Namun, dia tak ada keinginan untuk mengulik lebih dalam lagi.
"Papa berkunjung kesini ingin membicarakan jika sudah mendapatkan pengganti Sisca. Jadi Papa harap kamu tidak lagi berharap pada Chika," Pernyataan dari Keenan membuat Shani mengerutkan keningnya. Sepertinya beberapa hari ini fokusnya selalu tentang putrinya sehingga mengabaikan rencana untuk membawa sang adik sebagai pengganti Sisca sebagai dokter anak di rumah sakit milik Keenan.
Sejenak ruangan itu hening. Keenan menunggu jawaban dari Shani, sedangkan Shani memikirkan kalimat supaya tidak menyinggung perasaan papanya. Perempuan itu yakin pembicaraan malam ini sepertinya sedikit berat karena sudah dipastikan dua akan beradu argumen dengan sang ayah.
"Tapi kenapa? Sebelumnya juga Chika tidak keberatan dengan permintaan Shani," jawab Shani dengan tenang, walaupun perasaannya saat ini sudah menggebu-gebu.
"Baiklah jika itu menurutmu. Sekarang papa tanya, apa sudah ada jawaban pasti dari Chika sampai hari ini? Kamu jangan sampai lupa Shani jika tinggal satu minggu lagi Sisca sudah harus pergi."
Shani menghembuskan napas kasar. Mempunyai seorang ayah yang tak ingin sedikitpun kalah ketika berargumen membuatnya terkadang tertekan. Tidak bisakah Keenan memberikan kepercayaan penuh pada dirinya?.
"Besok akan Shani tanyakan lagi pada Chika. Apabila besok belum ada jawaban pasti, maka Shani akan menyerahkan itu semua pada Papa." Shani beranjak dari duduknya, ia menatap lirih ke arah Keenan. "Maaf kalau Shani terkesan kurang ajar. Tapi Pa, hari ini Shani benar-benar merasa lelah dan tolong biarkan Shani istirahat dulu. Selamat malam."
Terkesan kurang ajar. Namun, dia tak ingin lebih kurang ajar lagi jika percakapan mereka diteruskan. Tanpa menunggu jawaban Keenan, Shani segera berlalu dari sana.
Keenan menatap punggung putri sulungnya dengan sendu. Bukan keinginannya untuk ikut campur lagi dengan urusan rumah sakit. Akan tetapi, dia hanya tak ingin Shani merasakan sakit melebihi fakta sebelumnya jika Chika memang benar-benar pulang ke Indonesia.
KAMU SEDANG MEMBACA
Heal With Time
Fanfiction"Sejauh apapun aku berjarak denganmu, kemungkinan cinta ini tidak akan menghilang karena ada penghubung di antara kita." ~ Zaraan Albern Wilson. "Kita hanya dua orang yang tidak sengaja dipersatukan, jadi jangan pernah berharap akan ada cinta dianta...