11. Document

204 26 5
                                    

Hari telah berganti. Shani kembali menjalani aktivitas seperti biasa. Pagi hari berangkat ke rumah sakit, tapi kali ini wajahnya sedikit berbeda dari biasanya karena sepasang mata hazel itu terlihat sembab.

Bagaimana tidak sembab, kemarin dia sengaja berlama berada di pusaran anaknya. Menceritakan semua rasa gelisah selama ini pada gundukan tanah tersebut dengan air mata yang terus mengalir. Walaupun tak ada balasan sedikitpun, namun dia sedikit merasa lega.

Selama ini juga, dia hanya bisa memendam semua rasa sesak di hati. Tak mungkin mengeluarkan semuanya pada Gracio, mengingat pria itu sama sekali tidak ingin membahas masa lalu tersebut.

Bicara soal Gracio, hari ini tepat satu minggu pria itu berada di negeri bunga sakura itu. Komunikasi tetap berjalan lancar ditengah kesibukan pekerjaan di antara mereka.

Shani terus berjalan masuk ke setiap koridor rumah sakit dan berhenti tepat di meja resepsionis.

"Selamat pagi Dokter," sapa seorang petugas yang ber-nametag Eli.

"Pagi, Li. Apa saja jadwal saya hari ini?" Shani bertanya dengan senyuman yang manis.

"Pagi ini Dokter ada visit ke beberapa pasien, jam 11 siang nanti ada tindakan kemoterapi pada Lilly, setelah itu jadwal Dokter kosong," beritahu Eli yang baru saja melihat jadwal Shani di buku aktivitas harian seluruh Dokter di rumah sakit.

Shani mengangguk. "Oke, terima kasih untuk informasinya. Kalau begitu saya masuk dulu."

"Siap Dokter, hati-hati di jalan."

Shani terkekeh kecil mendengar seruan tersebut. Padahal dia hanya akan pergi ke ruangannya dan tak perlu terlalu hati-hati.

Bugh

Baiklah, sepertinya pesan Eli beberapa menit yang lalu tidak ada salah juga. Lihatlah sekarang, baru saja dia berjalan beberapa langkah, tapi sudah ada yang tiba-tiba menabrak tubuhnya.

"Maaf tante," cicit seorang anak kecil yang sedang menundukkan kepala dihadapan Shani.

Shani hanya menghembuskan napas kasar, tidak mungkin dia memarahi anak kecil itu.

"Kenapa berlarian disini? Bagaimana jika nanti kamu tertabrak yang lebih parah dari ini?" ucap Shani setelah membawa dirinya berjongkok dihadapan gadis kecil itu sambil memegang kedua bahu mungil itu.

"Maaf tante." Anak kecil itu terus menatap lantai rumah sakit karena takut melihat wajah Shani.

"Jangan terus menunduk, tante lagi dihadapan kamu," titah Shani menuntun wajah mungil itu menatap wajahnya. "Siapa nama kamu?"

"Asha."

"Asha kenapa berlarian seperti tadi? Bagaimana kalau Asha celaka karena lari seperti tadi?" Shani berkata dengan meneliti setiap wajah gadis kecil tersebut.

"Asha mau menyusul mama yang pergi duluan keruangan kakak, karena Asha tidak mau tertinggal akhirnya Asha berlari. Sekali lagi Asha minta maaf tante," jawab Asha dengan pelan, diikuti dengan membalas tatapan Shani.

Penjelasan Asha membuat Shani mengangguk kecil. "Tante maafkan. Kalau begitu, kamu mau tante antarkan menyusul mama?"

Asha terdiam sebentar memikirkan tawaran tersebut. Matanya kembali meneliti penampilan Shani. Lalu beberapa detik, Asha menggeleng. "Tidak, Asha bisa sendiri."

"Kenapa?"

"Tante harus kerja, kan? Lagi pula Asha sudah hapal kamar rawat kakak Asha, jadi tante tidak perlu mengantar Asha ketemu mama."

Akhirnya, dengan berat hati Shani memutuskan untuk mengikuti kemauan Asha. Dia tak ingin Asha merasa tidak nyaman dekat dengan dirinya yang notabe orang baru.

Heal With TimeTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang