13. Positif

180 34 8
                                    

Shani memandang sendu layar ponselnya. Memastikan ada balasan dari Ara karena sudah banyak pesan yang dia kirimkan pada lelaki itu. Namun sampai detik ini, tak kunjung juga mendapatkan jawaban. Menghela napas, lalu memandang jalanan yang dia lewati.

"Apakah sangat susah untuk kamu membalas pesanku, Ara," ucap Shani pada malam yang bahkan tak bisa menjawab pertanyaannya.

Wanita itu tertawa lirih merasakan sesak di dadanya kian mendalam. Sebelumnya ia tidak pernah berpikir sejauh ini jika penyesalan benar-benar membuatnya sakit.

"Sampai kapan aku harus merasakan penyesalan ini, Ara? Kepergian kamu yang tiba-tiba sudah sangat membuatku sulit menerima semuanya. Kamu perlu tahu, walaupun aku sudah menikah bersama kakakmu tetap saja aku tidak pernah bisa melupakanmu sepenuhnya," ucap Shani diiringi air mata yang mulai menetes membasahi wajah cantiknya.

Setelah pertemuannya bersama keempat sahabatnya tadi, Shani memutuskan tidak langsung pulang ke rumah. Ia ingin menikmati kesedihan ini dengan mengendarai mobil di malam hari. Beruntung saja, Sisca mengerti suasana hatinya yang sedang buruk sehingga gadis itu memilih pulang bersama Feni.

Shani pikir jika ia segera pulang ke rumah tidak akan membuat suasana hatinya membaik. Rumah itu sangat sunyi, seperti tak ada tanda-tanda kehidupan di dalamnya.

Sudah lama dirinya dan Gracio menantikan kehadiran seorang anak di tengah-tengah mereka. Namun, tak kunjung diberi oleh Sang Pencipta.

Dia tak kecewa. Hanya saja, sampai kapan Tuhan akan menghukum dirinya.

"Orang bilang ... penyesalan tidak membuat kita bahagia."

"Dan sekarang aku sudah merasakan itu, Ara. Aku harus bagaimana?" Suara itu terdengar sangat putus asa seakan terjebak dalam masa lalu menyakitkan tanpa seseorang pun bisa menolongnya.

"Apa sekarang kamu sudah menemukan penggantiku? Dan, apa kamu sudah merasakan bahagia tanpa kehadiranku?"

***

Chika terus saja tersenyum memandangi wajah damai suaminya. Jari telunjuknya mengintari wajah damai Ara yang sedang menikmati mimpi indahnya itu. Pernikahannya sudah menginjak usia tiga tahun hari ini. Selama itu juga, ia tak pernah bosan setiap bangun tidur memandangi wajah tampan Ara.

Dirinya sangat beruntung bisa mendapatkan lelaki seperti Ara. Lelaki yang mempunyai sifat cuek tapi perhatian, bertanggung jawab, penyayang, serta menjadi seorang suami dan ayah yang baik.

"Mau sampai kapan memandangi wajahku seperti ini?" Chika segera menjauhkan jarinya dari wajah Ara, tapi Ara segera menahan jari istrinya.

"Good morning, Sayang," bisik Ara dengan suara serak khas bangun tidur di dekat telinga Chika. Kemudian, mendaratkan kecupan kecil di dahi dan bibir sang istri.

"Morning," jawab Chika memeluk pria itu dan menyembunyikan wajahnya di dada bidang Ara.

"Kamu ingat ini hari apa?" Pertanyaan Chika membuatnya batal memejamkan kembali kedua matanya.

"Hari rabu."

"Ihh Ara bukan itu," rengek Chika mencubit gemas hidung Ara.

"Awh, sakit sayang. Kamu nanya ini hari apa dan benar ini hari rabu, loh," jawab Ara sembari melepaskan jari lentik Chika dari hidungnya.

"Terserah, aku kesal sama kamu." Ara terkekeh pelan mendengar rengekan istrinya, serta membiarkan Chika melepaskan pelukannya dan membelakanginya.

"Padahal jawaban aku sudah bener kalau ini hari rabu," ucap Ara memeluk Chika dari belakang.

Tidak ada penolakan, tapi tidak ada juga jawaban. Chika membiarkan Ara memeluk tubuhnya.

Sejenak, kamar itu menjadi hening sebelum tiba-tiba Chika melepaskan pelukan Ara dan melangkah cepat ke arah kamar mandi.

Heal With TimeTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang