"Meeting hari ini cukup sampai disini."
Semua orang yang mendengar perintah dari atasannya itu mengangguk paham. Kemudian, mereka mulai membereskan barang mereka masing-masing.
Setelah semua karyawan keluar dari ruangan tersebut Ara menghempaskan tubuhnya pada sandaran kursi. Memijat pelipisnya yang mulai terasa kaku karena meeting kali ini cukup melelahkan.
Bugh
Tubuh pria itu tersentak setelah mendengar pintu ruangan terbuka dengan kasar. Menampilkan dua orang laki-laki yang memperlihatkan deretan gigi serta menggaruk tengkuk mereka dengan menatap ke arahnya.
"Apakah kalian tidak bisa membuka pintunya secara perlahan?!" gerutu Ara menatap malas pada dua sahabatnya itu.
"Sorry, Bro. Kita takut ditinggal lagi seperti kemarin," ucap salah satu dari mereka. Tanpa meminta izin keduanya duduk di kursi yang kosong diruangan itu.
Ara memutar bola matanya. Memandang kedua sahabatnya dengan tatapan datar. Malas sekali rasanya harus berhadapan dengan mereka berdua saat ini, tapi jika bukan mereka siapa lagi yang bersedia mendengarkan keluh kesahnya selama ini.
"Ra, kenapa jadi melamun? Ayo kita pergi untuk makan siang." Tiba-tiba, Oniel memukul meja dengan keras. Yang tentu saja langsung dibalas pukulan di kepala belakangnya oleh Mirza karena terkejut.
"Aww ... sakit monyet," gerutu Oniel mengusap bekas pukulan dari Mirza.
"Salah sendiri bikin orang terkejut, untung saja aku tidak mempunyai riwayat penyakit jantung." jawab Mirza dengan malas.
Di saat Oniel berusaha menghilangkan rasa nyeri di kepalanya, Mirza menatap Ara yang tidak bereaksi apapun padahal mereka berdua sudah sangat berisik seperti ini.
"Apa ada yang sedang mengganggu pikiran kau?" tanya Mirza mengabaikan Oniel yang masih meringis.
Tetap dengan wajah datar, Ara mengangguk. Melepas kacamatanya dan memandangi kedua sahabatnya yang juga menatap ke arahnya.
"Apa masalah saat ini? Apa ada hubungannya dengan masa lalumu lagi?" sahut Oniel dengan mengakhiri usapan di kepalanya.
Ara mengangguk saja. "Aku bingung apakah selama ini keputusanku sudah benar."
"Bisa dikatakan 50 persen sudah benar dan 50 persen masih salah," jawab Mirza memberikan pendapatnya.
"Maksudnya?"
"Yaa ... 50 persen sudah benar untuk langkah yang kau ambil selama ini, pergi menjauh dari semua rasa sakit dan belajar menata kembali hatimu. Tapi, 50 persen lagi masih salah karena kau selalu menghindar dari masa lalumu," jawaban Oniel membuat Mirza menjetikkan jarinya.
"Baru kali ini aku mendengar kalimat dari Oniel yang tidak menjijikkan," canda Mirza santai, sedangkan Oniel mendelikkan matanya.
"Sembarangan! Selama ini juga aku selalu memberikan masukan yang terbaik untuk kalian berdua," gerutu Oniel sembari memukul bahu Mirza dengan kuat.
"Aww ... bener-bener kau!" geram Mirza yang ingin membalas, namun Oniel menghindar dengan cepat.
Ara menatap keduanya dengan kesal. Selalu saja kedua sahabatnya tersebut bertingkah konyol seperti ini.
"Aish ... apakah kalian bisa serius saat ini?" Ujar Ara yang mampu membuat keduanya terdiam.
"Oke, saat ini kita akan serius. Jadi, masalah apa yang membuat kau seperti ini?" tanya Mirza serius dengan melipat kedua tangannya di atas meja.
"Dua minggu yang lalu Shani menghubungi Chika--"
"Tunggu-tunggu, bukannya selama ini mereka tidak pernah saling berhubungan lagi? Terus kenapa tiba-tiba Shani menghubungi Chika." Mirza memotong ucapan Ara, sedikit bingung dengan pernyataan yang disampaikan oleh Ara.
KAMU SEDANG MEMBACA
Heal With Time
Fanfiction"Sejauh apapun aku berjarak denganmu, kemungkinan cinta ini tidak akan menghilang karena ada penghubung di antara kita." ~ Zaraan Albern Wilson. "Kita hanya dua orang yang tidak sengaja dipersatukan, jadi jangan pernah berharap akan ada cinta dianta...