06. Home

141 23 3
                                    

Shani memandangi sang ibu yang duduk di salah satu sofa di ruang keluarga. Perempuan itu sebentar lagi akan memasuki usia 50 tahun. Dia sedang membaca sebuah majalah sehingga tidak menyadari kehadiran Shani saat ini.

Setelah menghembuskan napas berat, Shani mulai melangkah maju. Perlahan tapi pasti, tubuhnya berhenti tepat di hadapan sang ibu.

Menyadari kehadiran seseorang dihadapannya, wanita paruh baya itu mendongakan kepalanya. Raut wajah terkejut benar-benar menggambarkan perasaannya saat ini.

Kedua tangan Shani mulai terkepal kuat saat keduanya saling bertatapan. Bagaimana rasa rindu dan kecewa menggambarkan perasaan keduanya.

"Ma," lirih Shani setelah mengumpulkan semua keberaniannya.

Tak ada respon yang Shani terima. Tapi, pandangan sang ibu sama sekali tak lepas darinya.

"Mama apa kabar? Maaf Shani baru berani berkunjung lagi," ujar Shani memecahkan keheningan di antara mereka.

Bukan sebuah jawaban yang diterima Shani, melainkan sebuah pelukan yang sangat dirindukan oleh dirinya. Perlakuan itu mampu membuat tangis Shani lepas begitu saja.

Shani tersakiti. Di detik itu juga, dia benar-benar sakit mendengar suara tangisan sang ibu.

"Maafkan Mama, Nak. Maafkan selama ini Mama bukan seorang ibu yang baik untuk kamu." Shani menggelengkan kepalanya, dia sangat tak setuju dengan kalimat itu. Bukan sang ibu yang salah, tapi ego di antara mereka terlalu besar.

"Bukan salah mama, tapi kita yang sama-sama egois selama ini." Shani semakin mengeluarkan isakannya ketika Veranda mempererat pelukan mereka. Shani akan berubah menjadi perempuan paling lemah jika di hadapan ibunya.

"Mama sangat rindu kamu, Nak." ujar Veranda ditengah tangisannya. Wanita itu tahu, tidak mudah untuk Shani berkunjung ke rumah ini lagi setelah empat tahun lalu. Cukup masalah itu menjauhkan dirinya dengan si sulung Wardhana. Veranda tak mau itu terjadi lagi.

"Bukan Mama saja ... Shani juga rindu Mama, tapi Shani takut kehadiran Shani menambah kebencian untuk Mama dan Papa," ucap Shani yang hatinya tidak kuat menampung keluh kesahnya selama ini.

"Kamu salah, Nak. Kamu salah kalau selama ini berpikir kami akan membencimu. Kami kecewa, tapi kami tidak akan pernah bisa membenci kamu. Mau bagaimana pun, kamu tetap putri sulung papa dan mama." Veranda menangkup wajah putrinya, lalu memberikan kecupan diseluruh wajah putih anaknya.

***

Ara memandang sendu layar ponsel miliknya. Menghela napas, lalu menatap jalanan yang ramai dengan lalu lalang kendaraan lain.

"Kenapa sangat sulit untuk melupakan semuanya?" tanya Ara pada diri sendiri yang bahkan tidak pernah menemukan jawaban atas pertanyaan itu.

Pria itu tertawa lirih merasakan denyut jantungnya yang berdetak kencang, lalu menatap gadis kecil di sampingnya sedang tertidur lelap dengan tatapan tak terbaca. "Maafkan Daddy jika di kemudian hari kamu membenci Daddy, Nak." lirih Ara diiringi air mata yang satu per satu menetes membasahi wajah tampannya yang sudah lelah dengan semuanya.

"Orang bilang ... cinta pertama anak perempuan itu ayahnya."

"Karena itu, Daddy tidak akan membiarkan satu tetes air mata kesedihan keluar dari mata cantik ini." Usapan lembut jari di mata yang tertutup itu tak sedikit pun mengusik ketenangan empunya.

"Daddy berharap kamu selalu menyayangi Mommy Chika apapun keadaannya."

***

Shani terus saja memandangi salah satu foto yang terletak di meja riasnya. Saat ini, sepasang ibu dan anak itu sudah berada di dalam kamar milik Shani di kediaman orang tuanya. Dengan Veranda yang duduk disisi tempat tidur dan terus memperhatikan pergerakan putrinya.

Heal With TimeTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang