14. Hurts a lot

151 28 7
                                    

Waktu baru menunjukkan pukul 7 pagi, tapi Shani sudah berada di kediaman orang tuanya. Dia tidak sabar ingin mendengar penjelasan dari mereka tentang penemuannya tadi malam. Bahkan, semalam untuk memejamkan kedua mata saja Shani tidak bisa.

Ketika dia sampai di taman belakang mansion, terlihat sepasang suami istri itu sibuk menatap layar ponsel dengan duduk berdampingan. Sepertinya mereka sedang menelpon seseorang karena sesekali ibunya tertawa kecil setelah mendengar celoteh dari ponsel pintar itu.

"Pa ... Ma, ada yang ingin Shani tanyakan." Suara Shani yang memanggil keduanya itu membuat mereka terkejut dan segera mematikan panggilan telepon secara sepihak.

"Kalau baru datang itu ucapkan salam dulu Shani. Tidak biasanya kamu datang sepagi ini."

Shani menghela napas panjang. Sepertinya kedatangan dirinya tiba-tiba membuat orang tuanya tidak siap, semua itu terlihat dari raut wajah mereka.

"Apa maksudnya surat ini?" Saat sudah ada di hadapan Keenan dan Veranda, Shani langsung menyodorkan amplop temuannya tersebut. Memandangi wajah keduanya yang terlihat bingung. Tak tahu amplop apa yang diberikannya itu.

Tanpa banyak bicara, Keenan mengambil amplop tersebut dan membukanya. Semua pergerakan sang ayah tak lepas dari pandangan Shani.

"Kamu dapat dari mana barang ini?" Shani terkekeh pelan setelah melihat Keenan menatap datar padanya.

"Seharusnya Shani yang bertanya pada papa dan mama ... kenapa harus menyembunyikan fakta itu dari Shani!"

Veranda yang masih terlihat bingung surat apa yang diberikan oleh putrinya seketika terkejut mendengar bentakan Shani.

"Pa, jangan sampai kamu menyakiti putriku!" cegah Veranda segera menjauhkan Shani dari jangkauan suaminya. Hampir saja, sebuah tamparan mendarat di pipi mulus Shani. "Kamu juga tidak boleh bicara seperti itu pada papamu, nak."

Usapan lembut dari tangan sang ibu berhasil merobohkan dinding pertahanan Shani yang ditahan sejak tadi. Air mata mulai menetesi wajah cantiknya.

"Kenapa? Papa mau tampar Shani? Tampar saja Pa! Bahkan kalau bisa bunuh Shani seperti kalian menyembunyikan kalau anak Shani dan Ara itu kembar!" Shani tahu ucapannya terkesan sangat kurang ajar pada sang ayah. Namun, dia sudah tidak tahan menghadapi kenyataan jika telah dibohongi selama itu.

"Shan," panggil Veranda lirih. Merasa terkejut dengan ucapan Shani.

"Benarkan, ma? Kenapa kalian tidak langsung membiarkan aku mati saja pada waktu itu."

Air mata Veranda menetes. Hatinya menjerit. Kenapa tidak sadari dulu dia memberitahu Shani? Kenapa dia harus mengikuti permintaan Ara untuk menyembunyikan hal tersebut? Tidak ada seorang ibu yang bahagia setelah kehilangan anaknya. Kecelakaan, kritis, kehilangan anak, dan akhirnya ditinggalkan oleh suaminya saat dia masih berjuang melawan maut. Bahkan, Shani sendiri tidak bisa melihat bayi yang baru dilahirkannya ke dunia.

"Maafkan Mama, Nak." Veranda membawa Shani ke dalam pelukannya. Membiarkan Shani mengeluarkan semua rasa sakitnya selama ini.

"Sakit, Ma. Shani seorang ibu, tapi Shani sendiri tidak pernah menjalankan peran itu."

Veranda menjauhkan wajahnya. Berusaha menahan isak tangis karena mendengar ucapan Shani yang begitu menggores hatinya.

"Mama tahu, mama minta maaf."

Keenan terdiam. Jika kalian berpikir dia tidak sedih melihat kondisi putri sulungnya sehancur ini, kalian salah. Ayah mana yang tega melihat anak kandungnya telah ditinggalkan begitu saja oleh seorang pria yang sudah diberi amanat untuk menjaga, membimbing dan menyayangi. Tapi dia tak bisa berbuat banyak, semua yang terjadi memang atas kesalahan putrinya sendiri.

Heal With TimeTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang