01. Bern

215 26 3
                                    

"Sayang." Panggilan lembut itu membuat Ara mendongak. Muncul dari pintu balkon, Chika berjalan mendekatinya dengan membawa segelas teh hangat.

"Fey sudah tidur?" Chika mengangguk saat Ara sudah mengambil alih teh yang dia bawa.

"Sudah, walaupun harus dengan sedikit paksaan."

Ara terkekeh kecil, lalu meminum sedikit teh yang berada ditangannya. Chika memperhatikan wajah suaminya, dia bisa melihat jika ada kekhawatiran diwajah pria itu.

"Ada yang sedang mengganggu pikiran kamu?" Chika mengusap pipi sang suami ketika Ara meletakkan gelas teh di atas meja.

Ara menghelan napas. "Papa menyuruhku untuk pulang ke Indonesia."

"Lalu?" tanya Chika singkat menatap sendu suaminya.

Sebenarnya, sudah sejak lama mertuanya meminta mereka untuk pulang ke negara asal mereka. Namun, lagi dan lagi Ara belum mempunyai keinginan kuat untuk meninggalkan negara yang telah menjadi saksi perjuangannya sampai di titik ini.

"Khem, bukannya aku ingin memaksamu untuk kembali kesana. Tapi, tidak ada salahnya kita pulang sebentar hanya sekedar untuk liburan."

"Aku akan memikirkannya lagi, yang terpenting saat ini aku hanya ingin hidup damai bersamamu dan anak kita." Jawab Ara setelah beberapa menit berpikir.

Apa yang dikatakan oleh Chika ada benarnya. Mungkin saja kedua orang tuanya rindu pada sang cucu dan ingin Fey bisa melihat negara asalnya. Karena dari usia Fey satu bulan, Aran sudah membawanya meninggalkan Indonesia.

Chika tersenyum mendengar jawaban Ara. Dia yakin, Ara juga merasa rindu pada Indonesia. Tentu saja, dirinya juga. Terutama Chika rindu pada kedua orang tuanya. Terakhir kali dia melihat mereka saat pernikahannya bersama Ara yang berlangsung di kota Bern.

"Sayang?" Panggilan itu berhasil memecahkan lamunan Chika. Dia menatap Ara yang dapat dipastikan pria itu sudah menatapnya sedari tadi.

"Kenapa?"

"Seharusnya aku yang bertanya seperti itu, kamu kenapa?" tanya Ara menatap sang istri bingung.

"Aku hanya rindu dengan papa dan mama."

Ara paham bagaimana perasaan Chika, lalu menyentuh pipi Chika dengan lembut. Pasti istrinya itu benar-benar merindukan kedua orang tuanya. Astaga, bagaimana dia tidak pernah berpikir sampai sejauh ini.

"Maafkan aku, karena aku kamu harus berjauhan dengan mereka." Nada lirih Ara membuat Chika menggelengkan kepala dengan cepat.

"Ini semua bukan salah kamu. Sebelum aku menikah pun, aku sudah jarang bertemu mereka." Chika menjadi tidak enak ketika Ara hanya diam seraya menatap wajah sendunya.

"Sayang, bagaimana dengan keadaan perusahaan? Apa pelakunya sudah diketahui?" tanya Chika mengalihkan pembicaraan.

Cukup sampai disini. Dia tidak ingin Ara merasa bersalah sepenuhnya atas pilihan hidup yang telah mereka pilih bersama. Kehidupan saat ini seakan cukup membuat hidup Chika bahagia.

"Sudah. Ternyata yang melakukan kejahatan itu adalah orang kepercayaanku sendiri."

"Alex?"

Aran mengangguk. Dia membawa Chika masuk ke dalam dekapannya.

"Bagaimana jika kita tidak membicarakannya? Aku berusaha untuk melupakan masalah itu, karena aku sudah memberikan masalah dan mempercayakan pada pengacaraku untuk menyelesaikannya." Gumam Ara di dekat telinga Chika. Hal itu seketika membuat Chika merinding begitu saja.

"Ara" lirih Chika saat merasakan lidah Aran bermain di daun telinganya.

"Fey sudah 4 tahun. Bagaimana jika kita memberikannya seorang adik?" ujar Ara mengabaikan reaksi dari Chika.

Heal With TimeTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang