Gavin bersama satu pengawalnya melesat cepat, menunggangi kuda masing-masing menuju ke arah barat. Tidak dibutuhkan kereta kuda. Gavin hendak sampai pada tujuan secepat mungkin, tidak ingin terus-terusan membuang waktu yang telah ia sia-siakan.
Disanalah dirinya, menatap rumah milik keluarga Arthur dari kejauhan, yang dengan cepat terlihat semakin besar setiap detiknya sesuai dengan jarak yang terus ia kikis. Lalu pada satu titik, ia melihat ibu Nolan disana, sedang menyiram tanaman di halaman rumah.
Gavin bisa gila rasanya ketika ia melihat ekspresi dari Ibu Nolan.
Di kala wanita itu mendengar derap kuda miliknya, wanita itu menoleh dengan cepat. Dan tepat setelah Ibu Nolan menyadari bahwa dirinya lah yang datang, beliau bergegas meninggalkan seluruh kegiatannya dan memasuki rumah.
Gavin tidak tinggal diam. Ia mempercepat langkah kuda dan menuruni kudanya ketika telah sampai tepat di hadapan kediaman Arthur. Ia berlari tegopoh-gopoh untuk mengejar calon ibu mertuanya –jika dunia mengizinkan.
Namun Gavin terlambat satu detik.
Tepat ketika ia sampai pada depan pintu, pada saat itu pula pintu kayu itu ditutup —atau lebih tepatnya dibanting — di hadapannya.
Gavin sepenuhnya sadar ia salah, dan sepenuhnya sadar pula bahwa ini adalah hukuman yang harus ia tebus. Bagaimanapun caranya, ia harus berusaha. Setidaknya ia harus menyampaikan sebuah permintaan maaf.
"Ibu, Ibu Gavin mohon buka pintunya..." Ucapnya memelas.
Beberapa detik hening, lalu Gavin mencoba lagi, "Ibu, Gavin hanya ingin berbicara sebentar."
"Berani-beraninya kau memanggil ku ibu." Suara milik Nyonya Arthur dari seberang pintu terdengar sangat dingin. Sarat akan kebencian. Tanpa adanya embel-embel, tanpa rasa hormat sama sekali. Tidak peduli dia sedang berbicara dengan siapa. Yang Nyonya Arthur tahu, pria yang berdiri di pekarangan rumahnya adalah seorang yang telah menyakiti hati anaknya.
"Maaf. Maafkan saya, Nyonya. Saya datang hanya untuk berbicara, dan meminta maaf. Saya berhutang banyak maaf dari kalian semua, Nyonya saya mohon." Pada sore itu, terdapat seorang calon raja yang sedang memohon pada seorang rakyat biasa. Sebuah peristiwa langka, sebuah keajaiban dunia.
"Tidak. Lebih baik kau pulang ke matras lembutmu dan seluruh pelayanmu di istana. Kami tidak butuh permintaan maaf."
"Nyonya." Gavin semakin putus asa. Dengan cara apa dia harus terus membujuk? Dia tidak punya alasan. Dia memang sepenuhnya orang yang patut disalahkan. Gavin tidak tahu harus berkata apa. "Saya tetap harus meminta maaf, terutama kepada Lani."
Hening. Tidak ada jawaban.
"Ibu?" Gavin mencoba memanggil lagi. Dia benar-benar tidak disambut. Dia tidak digubris. Tidak sedikitpun dibiarkan menyentuh rumah itu. Keluarga Nolan membencinya, dan ia pantas menerimanya. "Ibu..." Suara Gavin melemah, semakin kehabisan kata-kata untuk menembus pertahanan dari keluarga Nolan.
Lalu tiba-tiba pintu itu terbuka. Namun bukan Sang Ibu yang terlihat, melainkan kepala keluarga Arthur.
"Ayah." Ada secercah harapan pada suara Gavin. Pintunya telah terbuka, artinya dia akan kembali diterima, kan? "Ayah, Gavin hendak memi-"
"Pulang."
Belum sempat Gavin mengucapkan kalimatnya, Tuan Arthur telah lebih dulu memberikan titah. Wajahnya penuh akan kebencian. Tidak ada kata kasihan, tidak ada tersisa kasih sayang.
Di hari itu ketika Gavin menjemput Nolan untuk pergi ke istana, Pria yang berada di depannya ini sangatlah lembut. Menyuruhnya memanggil dirinya dengan sebutan ayah. Menerima Gavin dengan sangat hangat.

KAMU SEDANG MEMBACA
The Crown Prince
Fanfiction[GeminiFourth Fanfic/Royalty AU] Pangeran Mahkota kerajaan Rouguemont, Pangeran Louis, sebentar lagi akan memasuki umur dewasa. Sang raja sedang berada dalam misi menjodohkan anaknya karena ia meyakini bahwa seorang pemimpin itu membutuhkan pasangan...