21. Losing Game

633 75 8
                                        


Nolan terpaku pada posisinya, tubuhnya tidak masalah ketika Gavin pergi meninggalkannya dengan senggolan pada bahu yang sangat tidak ramah di lorong sepi itu. Namun jiwanya seakan menghilang.

Rasanya hampa.

Ia sudah yakin bahwa saat ini wajahnya berwarna merah padam. Ia tak ingin menangis. Ia tidak mau menjadi bahan tontonan seluruh istana. Maka ia tahan tangisnya dan berjalan cepat menuju kamarnya sendiri.

Nolan buka pintunya dengan kasar.

"Loh, Tuan? Sarapannya sudah se-" Ucapan Winona terhenti ketika melihat Nolan terjatuh di tengah ruangan. Langsung mengeluarkan seluruh isi hatinya dan menangis sekuat tenaga.

Tanpa menunggu apapun, Winona, Catherine, dan Kaila langsung menghampiri Nolan.

"Tuan? Tuan kenapa? Tuan!" Ketiganya berusaha menenangkan Nolan walau sebenarnya juga tidak kalah panik.

Dinding yang tebal tidak berhasil menahan suara heboh dari dalam kamar, membuat Elias dan Tobias dengan was-was memasuki kamar Nolan dengan siaga. Namun malah menyaksikan adegan yang menyayat hati didepan mata mereka. Keduanya langsung menutup pintu dengan rapat dan mendekat ke arah empat orang yang terduduk lemas di lantai, sedang meneteskan air mata.

"Kenapa?" Ucap Nolan lirih lebih pada dirinya sendiri. "Apakah aku begitu sulit untuk dicintai?" Lama kelamaan suaranya semakin besar. Saat ini kesedihan sedikit-demi sedikit digantikan dengan amarah. "Apa- Apakah selama ini aku diperlakukan dengan baik hanya karena aku adalah seorang bangsawan? Selama ini aku diterima oleh seisi istana karena aku bukanlah seorang rakyat biasa? Jika aku bukan siapa-siapa, apakah nasibku tidak akan seberuntung ini?" Sesekali kalimatnya terhenti karena tersedak atau terhalang oleh tangisnya.

Nolan berucap tanpa berpikir. Dan ia juga tidak menyadari perubahan raut wajah pelayan dan penjaganya. Ucapan Nolan salah. Mereka baru tahu kenyataan bahwa Nolan adalah seorang bangsawan detik itu juga. Dan mereka selalu menyayangi Nolan dengan tulus, tanpa mengetahui apapun latar belakangnya. Nolan adalah seorang pria yang sangat mudah untuk dicintai. Seluruh ucapannya salah. Namun mereka tak dapat mengatakan apapun. Kelimanya terbungkan dengan kekecewaan di dalam hati.

Namun Nolan yang tatapannya masih lekat pada lantai dan ditutupi dengan air mata terus-terusan mengoceh dalam tangisnya. "Gavin tidak mencintai ku..." Akhirnya suaranya kembali melirih. Sangat menyakitkan untuk didengar. "Gavin tidak lagi membutuhkanku. Dia... Dia bukan Gavin." Pada akhirnya Nolan berbisik bersamaan dengan redanya isakan. "Pangeran Louis telah membuangku..." Ia menatap satu persatu lima orang yang telah menemaninya selama ia tinggal di istana. Seakan benar-benar mengucapkan selamat tinggal.

Dan semuanya menyadari hal itu. Tiga pelayan langsung menangis tersedu-sedu, menyadari bahwa ini adalah perpisahan mereka. Winona bergegas memeluk tubuh Nolan dengan erat. Tubuh yang terasa lebih mungil dan rapuh, yang masih bergetar akibat kesedihan dan tangis. Pelukan itu diikuti oleh dua gadis lainnya. Berusaha menyalurkan kehangatan dan menunjukkan bahwa masih ada mereka yang menyayangi Nolan disini.

"Bantu aku mengemas barang-barang ku ya? Aku akan berangkat besok pagi, tepat setelah matahari telah muncul."

Semuanya dengan berat hati menuruti permintaan terakhir dari tuannya.

Keenam orang itu mengemas barang tanpa semangat. Hanya dilingkupi dengan kesedihan dan rasa tidak siap untuk berpisah.

Ketika Nolan terbangun di pagi hari, seluruh memori itu langsung kembali memasuki otaknya secara bertubi-tubi. Dengan lemas ia menuruni tempat tidur dan membersihkan diri. Ia tahu bahwa kereta kudanya telah menunggu dirinya di gerbang istana.

"Winona, aku akan melakukan sesuatu sebentar, angkatlah barang-barang terakhir ini." Nolan secara tersirat mengatakan bahwa ia ingin ditinggal sendiri, maka semua orang yang membantu pindahan keluar tanpa menunggu apapun, menyisakan Nolan dalam sebuah kamar kosong. Hanya terisi dengan perabotan yang posisinya persis seperti saat pertama kali ia sampai ke istana.

Banyak yang telah berubah. Saat itu kamar ini terasa begitu asing. Namun saat ini sudah terasa begitu nyaman. Sangat banyak memori yang disimpan oleh satu ruangan. Nolan tak dapat memungkiri bahwa ia juga merasakan bahagia disini.

Akhirnya ia bergegas, menulis pada selembar kertas, sebelum berjalan keluar untuk benar-benar meninggalkan istana.

Sesampainya Nolan pada teras luar istana, ia melihat Natalie telah berdiri di sana dengan mata yang merah. "Lani..."

Nolan sudah bertekad untuk tidak menangis hari ini. Air matanya sudah habis semalam. "Ibu, maaf Lani tidak bisa bertahan lama disini. Maaf jika Lani punya salah. Terima kasih telah menyelamatkan Lani berkali-kali, dan telah berbaik hati untuk menerima Lani dengan hangat disini."

Natalie memeluk Nolan. "Lani tidak harus pergi." Akhirnya air mata Natalie luruh.

"Selamat tinggal, Ibu." Nolan memutuskan untuk tidak menanggapi ucapan Natalie, karena ia tahu bahwa tidak akan ada gunanya dia berada di istana itu jika ia tetap tinggal. Ia hanya akan melihat Pangeran berbahagia dengan orang lain, menyakiti hatinya sendiri.

Ketika pelukan itu terlepas, Nolan melihat ke sekitar secara diam-diam. Hatinya masih berharap. Berharap akan kehadiran Pangeran yang tiba-tiba muncul. Setidaknya hanya untuk mengucapkan selamat tinggal.

Namun batang hidungnya tak tampak sedikitpun.

Mungkin kenangan mereka selama ini memang bukanlah sesuatu yang penting bagi Pangeran.

Maka Nolan pada akhirnya benar-benar meninggalkan istana dan seluruh kenangannya, kembali ke rumahnya yang terletak di pinggiran kerajaan. Meninggalkan hatinya yang masih terpaut dengan Pangeran Mahkota dari kerajaan yang ia punggungi dan jauhi saat ini, tanpa menoleh ke belakang sedikitpun.

Tanpa mengetahui bahwa ada sepasang mata yang mengawasi kereta kudanya dari jendela di istana, melihat dengan kesedihan dan penuh penyesalan.

Untuk: Pangeran Louis, Gavinku.

Aku yakin aku tak akan bisa bertemu denganmu untuk mengatakan pesan terakhirku kepadamu. Maka akan aku sampaikan segalanya disini ya.

Aku tidak tahu apa arti dari kenangan kita selama ini bagimu, namun itu semua terasa nyata bagiku. Mungkin untuk mu semuanya hanya sebuah fase yang dapat menemanimu di hari-hari yang sibuk, namun bagiku semua kenangan itu adalah segalanya, Gavin.

Aku mau tinggal di istana, rela merasakan kesepian yang terkadang aku rasakan, jika saja di akhir pekan aku dapat bertemu dengamu. Semuanya sepadan. Gavin mengerti maksudku?

Selama aku masih memiliki Gavin di dunia ini, hanya dengan keberadan Gavinnya Lani, maka tidak ada kata sepi di kamusku.

Gavin membuktikan bahwa tidak semua orang yang berkasta tinggi itu sombong, jahat, dan kejam. Gavin mematahkan seluruh bayangan burukku terhadap para bangsawan. Dan aku telah menerima seluruh kehidupanku di istana.

Namun, jika Gavin tak ingin Lani berada di hidup Gavin, maka Lani ikhlas.

Mohon maaf jika saya telah mengganggu waktu anda, Yang Mulia. Semoga kita tidak akan pernah bertemu lagi.

Dari: Nolan Arthur.

— tbc

The Crown PrinceTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang