Happy reading :)
“Kita akan memulainya dari perawi dan jalur periwayatan hadisnya. Para ulama mengkritik sanad hadis ini karena disandarkan pada Hisyam bin urwah bin Zubair. Hisyam bin Urwah bin Zubair adalah seorang ulama terkenal dari generasi kedua umat Islam. Ia lahir pada tahun enam ratus delapan puluh Masehi di Madinah, Arab Saudi. Hisyam bin Urwah merupakan cucu dari Zubair bin Awwam, salah satu sahabat dekat Nabi Muhammad ﷺ. Ia juga memiliki hubungan keluarga dengan Nabi Muhammad ﷺ sebagai anggota Bani Hasyim, keluarga Nabi Muhammad ﷺ,” ucap Ahmad bercerita.
“Hisyam bin Urwah belajar dan mencari ilmu dari para ulama terkemuka pada masanya, termasuk ayahnya sendiri, Urwah bin Zubair, serta Zaid bin Tsabit dan Abu Hurairah. Dia terkenal sebagai ahli hadis, sejarawan, dan penulis. Hisyam bin Urwah belajar langsung dari para sahabat Nabi Muhammad ﷺ dan meneruskan warisan pengetahuan ini kepada generasi berikutnya. Hisyam bin Urwah terlibat dalam penulisan sejarah kehidupan Nabi Muhammad. Hisyam bin Urwah meninggal pada tahun tujuh ratus tujuh puluh dua Masehi di kota Kufah, Irak. Warisannya dalam ilmu hadis dan kontribusinya dalam pengumpulan dan penulisan hadis sangat berharga bagi umat Islam. Pada saat meriwayatkan hadis pernikahan Nabi Muhammad dan Siti Aisyah, Hisyam bin urwah bin Zubair sedang berada di Irak dan sudah berusia senja, sekitar tujuh puluh tahun ke atas. Jalur periwayatannya adalah orang-orang yang tinggal di irak, sedangkan peristiwa pernikahan Nabi Muhammad dan Siti Aisyah terjadi di Madinah.” Ahmad melihat jam dinding di kamarnya sekilas dan waktu sudah menunjukkan pukul 23.00.
Ahmad kembali menolehkan kepalanya pada Fajar dan berkata, “nggak kerasa kita ngobrol udah lama banget, Jar. Nanti, setelah saya menjelaskan mengenai kritik sanad dan matan hadis ini, lebih baik kita beristirahat, Jar.” Fajar mengangguk dan Ahmad pun melanjutkan penjelasannya.
“Nah, karena Hisyam bin urwah bin Zubair meriwayatkan hadis ini pada waktu senja, terlebih lagi hadis-hadis lain yang beliau riwayatkan ada beberapa yang keliru, tentu saja patut diragukan hadis yang beliau riwayatkan. Dalam ilmu hadis, Jika kualitas perawinya memiliki problem atau masalah, maka hadis tersebut boleh dikritik secara sanat. Begitu pula jika isi hadisnya janggal, maka kita diperbolehkan untuk mengkritik matan hadisnya. Oleh karena itu, beberapa ulama mencoba untuk kembali menelusuri jejak pernikahan Nabi Muhammad shallallahu alaihi wasallam dan Siti Aisyah radhiyallahu anha melalui ilmu sejarah,” tutur Ahmad menerangkan.
“Ada beberapa kejanggalan dalam isi hadis tersebut. Pertama, Mengapa pada saat Siti Aisyah diserahkan kepada Nabi Muhammad shallallahu alaihi wasallam, yang menyerahkannya adalah Ibu Siti Aisyah? Padahal, Harusnya yang menjadi wali bagi Siti Aisyah adalah Ayahnya. Kedua, Jika dilihat dari informasi-informasi sejarah lainnya, kita akan menemukan kesimpulan yang berbeda.” Fajar mendengarkan dengan seksama karena ia benar-benar penasaran mengenai penjelasan Ahmad dari sisi sejarah.
“Menurut Imam ath-thabari, Siti Aisyah dan anak-anak abu bakar lainnya lahir ketika zaman jahiliyah. Jika Aisyah dipinang oleh Nabi Muhammad shallallahu alaihi wasallam di tahun enam ratus dua puluh Masehi, ketika Siti Aisyah berumur enam tahun dan berumah tangga tahun enam ratus dua puluh tiga masehi, ketika usia Siti Aisyah radhiallahu anha sembilan tahun, hal ini mengindikasikan bahwa Aisyah dilahirkan pada enam ratus empat belas Masehi. Sehingga, Siti Aisyah seharusnya dilahirkan empat tahun sesudah masa Jahiliyah usai (pasca enam ratus sepuluh Masehi. Jika menurut Imam ath-thabari, Siti Aisyah dilahirkan pada era jahiliah, seharusnya pada saat menikah, Siti Aisyah sudah berumur minimal empat belas tahun. Jika Siti Aisyah dinikahi Nabi Muhammad shallallahu alaihi wasallam pada umur empat belas tahun, maka kemungkinannya Siti Aisyah hidup satu rumah dengan Nabi Muhammad shallallahu alaihi wasallam pada umur minimal tujuh belas atau delapan belas tahun,” ujar Ahmad menjelaskan.
“Hal ini diperkuat dengan adanya riwayat yang menceritakan bahwa Asma, saudara perempuan dari Siti Aisyah radhiyallahu anha memiliki selisih umur sepuluh tahun dengan Siti Aisyah. Lalu, ada juga riwayat yang menjelaskan bahwa Asma berusia dua puluh tujuh tahun ketika sudah hijrah ke Madinah. Secara otomatis, umur Siti Aisyah adalah tujuh belas tahun ketika di Madinah. Seperti biasa, jika terdapat perbedaan seperti ini, saya tidak akan menyalahkan siapapun. Yang pasti, jika Siti Aisyah dinikahi pada umur enam tahun dan hidup satu rumah dengan Nabi Muhammad pada umur sembilan tahun, hal itu tidak membuktikan bahwa Nabi Muhammad adalah pedofilia karena alasan-alasan yang sudah saya jelaskan sebelumnya. Dan saya juga tidak ada masalah jika Siti Aisyah dinikahi oleh Nabi Muhammad pada umur empat belas tahun dan hidup satu rumah dengan Nabi Muhammad di umur tujuh belas tahun,” pungkas Ahmad mengakhiri penjelasan.
KAMU SEDANG MEMBACA
Teologi Dealektika
EspiritualBerpikir kritis adalah sebuah kemampuan yang dibutuhkan oleh manusia agar dapat mengembangkan dirinya. Namun Bagaimana bila seseorang berpikir kritis mengenai agama dan eksistensi Tuhan? Apakah pemikiran kritisnya akan membuat iman manusia itu makin...