25. Abrahamic Religion Bagian Empat

14 8 1
                                    

Happy reading :)

“Ada beberapa ulama yang menganggap bahwa kisah ini adalah kisah yang tidak nyata atau tidak pernah terjadi, Tetapi ada juga ulama-ulama yang berpendapat bahwa kisah ini beneran terjadi. Well bagi saya pribadi sih, mau cerita itu beneran terjadi ataupun tidak, hal itu tidak akan merubah kesucian Alquran. Jika memang peristiwa itu beneran terjadi, Memangnya Apa masalahnya? Nabi Muhammad shallallahu alaihi wasallam bukanlah Tuhan yang tidak pernah melakukan kesalahan. Beliau memang ‘Maksum’ atau terbebas dari dosa. Namun orang yang terbebas atau terhindar dari dosa belum tentu tidak pernah melakukan kesalahan kan?” komentar Ahmad berargumen.

“Lagi pula, Allah subhanahu wa ta'ala sudah mengoreksi kesalahan yang dilakukan Nabi Muhammad shallallahu alaihi wasallam sehingga Alquran tetap terjaga kesuciannya. Inilah yang dimaksud dengan ‘Maksum’. Bukan berarti Ketika Nabi Muhammad memiliki gelar terhindar atau terbebas dari dosa, lantas Nabi Muhammad tidak pernah melakukan kesalahan. Nabi Muhammad pasti pernah melakukan kesalahan sebagai seorang manusia biasa, tetapi kesalahannya tidak menjadi dosa karena Allah langsung mengoreksinya. Di beberapa ayat Alquran juga Allah menegur Nabi Muhammad beberapa kali yang mengartikan Nabi Muhammad pernah keliru atau pernah melakukan kesalahan. Tetapi Allah selalu membimbing Nabi Muhammad dan mengingatkan mengenai kesalahan yang beliau perbuat,” ujar Ahmad menjabarkan.

“Kita ambil contoh. Dalam surat abasa ayat satu sampai sebelas, Allah subhanahu wa ta'ala menegur Nabi Muhammad yang mengacuhkan salah seorang sahabat nabi yang merupakan seorang tunanetra. Ketika itu, beliau sedang mengadakan rapat dan berdiskusi dengan petinggi-petinggi Quraisy. Allah subhanahu wa ta'ala berfirman ‘'abasa wa tawallaaa. anv jaaa-ahul-a'maa. wa maa yudriika la'allahuu yazzakkaaa. au yadzdzakkaru fa tanfa‘ahudz-dzikrâ. ammaa manistaghnaa. fa anvta lahuu tashoddaa. wa maa 'alaika allaa yazzakkaa. wa ammaa manv jaaa-aka yas'aa. wa huwa yakhSaa. fa anvta 'an-hu talahhaa. kallaaa innahaa ta@kiroh’.” usai membaca bahasa arabnya, Ahmad pun lanjut dengan membaca terjemahannya.

“Artinya, ‘Dia (Muhammad) berwajah masam dan berpaling, karena seorang buta telah datang kepadanya (Abdullah bin Ummi Maktum). Dan tahukah engkau (Muhammad) barangkali dia ingin menyucikan dirinya (dari dosa), atau dia (ingin) mendapatkan pengajaran, yang memberi manfaat kepadanya? Adapun orang yang merasa dirinya serba cukup (pembesar-pembesar Quraisy), maka engkau (Muhammad) memberi perhatian kepadanya, padahal tidak ada (cela) atasmu kalau dia tidak menyucikan diri (beriman). Dan adapun orang yang datang kepadamu dengan bersegera (untuk mendapatkan pengajaran), sedang dia takut (kepada Allah), engkau (Muhammad) malah mengabaikannya. Sekali-kali jangan (begitu)! Sungguh, (ajaran-ajaran Allah) itu suatu peringatan’. Dari ayat-ayat ini, kita bisa lihat jelas bahwa Allah menegur Nabi Muhammad karena Nabi Muhammad melakukan kesalahan,” jelas Ahmad berargumen.

“Atas dasar itulah, saya membuat sebuah postingan yang menyatakan bahwa Nabi Muhammad shallallahu alaihi wasallam itu nggak pernah merasa dirinya paling benar. Nabi Muhammad itu terbebas dari dosa, Bukan terbebas dari kesalahan. Analoginya seperti ini. Bayangkan, kamu diminta untuk melakukan pidato di depan banyak orang. Karena kamu bukanlah orang yang jago berpidato, kamu meminta bantuan teman kamu yang jago berpidato untuk mengarahkan apa yang harus kamu katakan di depan banyak orang melalui perantara handsfree yang kamu pasang di telinga.” Fajar dan Ridho membayangkan apa yang Ahmad katakan.

“Dalam kondisi seperti ini, dari sudut pandang para penonton yang mendengarkan kamu berpidato, mereka akan menganggap bahwa kamu adalah orang yang sangat mahir berpidato. Tapi, jika sudut pandang tersebut diganti menjadi sudut pandang kamu sendiri, Kamu tahu dan sadar persis bahwa kamu tidak jago dalam berpidato, namun kamu bisa terlihat jago berpidato karena ada teman kamu yang menuntun serta membimbing kamu dalam berpidato. Analogi ini adalah analogi yang cocok untuk menggambarkan sudut pandang Nabi Muhammad shallallahu alaihi wasallam. Sahabat-sahabat nabi dan orang-orang yang mendengar dakwah nabi, mereka akan beranggapan bahwa apapun yang keluar dari mulut Nabi Muhammad shallallahu alaihi wasallam dan apapun yang Nabi Muhammad lakukan adalah sebuah kebenaran. Kita akan menganggap bahwa Nabi Muhammad shallallahu alaihi wasallam adalah manusia yang selalu benar dan tak pernah salah. Tapi jika sudut pandang kita diganti menjadi sudut pandang Nabi Muhammad shallallahu alaihi wasallam, bisa jadi Nabi Muhammad shallallahu alaihi wasallam tidak pernah merasa dirinya paling benar karena beliau tahu persis bahwa beliau bisa benar dikarenakan bimbingan dari Allah subhanahu wa ta'ala. Oleh karena itulah, Nabi Muhammad shallallahu alaihi wasallam tetap beribadah dan memohon ampun kepada Allah subhanahu wa ta'ala, sebab beliau menyadari bahwa beliau tidak akan bisa benar jika tanpa bimbingan dan tuntunan dari Allah. Itulah yang harus kita teladani dari sifat beliau,” papar Ahmad membeberkan.

Teologi DealektikaTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang