CHAPTER 1 : Awal

270 22 6
                                    

Dalam keheningan yang dingin dan hampa, rasa kekosongan merajai segala pikiranku. Semua terasa hampa dan tidak ada apapun yang aku rasakan, benar-benar kosong.

"Di mana aku? Apakah aku sudah mati?" bisikku dengan suara merana.

Perlahan-lahan, kesadaran pun kembali, menemukan diriku terbaring dalam kegelapan, dan dikelilingi oleh keheningan yang mencekam. Dengan penuh kesulitan, aku berusaha bangkit dari posisi berbaring, duduk dengan bertongkat lutut untuk menopang tubuh di lantai yang dingin.

Tak lama kemudian, aku menyadari bahwa tempat ini mungkin adalah alam kubur. Sontak, aku melihat bahwa tubuhku tidak terbungkus oleh seutas benang pun. Namun, apa artinya malu dalam kondisi seperti ini? Di sini, aku hanya sendirian, berkelana dalam kesepian.

Dalam kegelapan ini, banyak pikiran bergelayutan di kepalaku. Aku merenungkan banyak hal, terutama semua penyesalan yang akan terus menghantui jika benar-benar mati. Terasa pahit sekali saat menyadari bahwa aku belum sempat memberikan penghormatan terakhir kepada Ayah-Ibu sebelum pergi selamanya.

"Maaf, Ibu, Ayah! Yudha, belum bisa membuat kalian bangga," ucapku dengan suara lirih, diiringi oleh kesedihan yang melanda hati.

Dalam gelap yang sunyi, aku menyimpan rasa penyesalan yang mendalam. Aku sudah siap untuk mati, entah dalam kondisi apapun sebagai seorang Prajurit. Satu harapan yang pasti, aku ingin mati dalam peperangan, bukan tewas dalam insiden konyol seperti tersambar petir tadi. Tapi apa daya? Takdir sudah terukir dan tak ada yang bisa aku lakukan untuk mengubahnya.

Dalam keheningan dan kegelapan itu, muncul sebuah pintu bercahaya dari kejauhan. Membuat mataku tertuju padanya, melupakan segala penyesalan yang berkecamuk dalam diriku. Begitu kuat daya tarik pintu itu, hingga langsung membuatku berdiri.

"Pintu apa itu? Apakah itu pintu menuju akhirat?"

Tanpa ragu, aku menghampiri pintu cahaya tersebut dan berhasil mencapainya. Saat melangkah semakin mendekat, kesadaranku perlahan memudar.

***

"Arghh... Kepalaku sakit banget! Heh, sakit? Loh, kok ada angin kenceng gini?"

Aku merasa kebingungan karena tubuhku diterpa angin yang begitu kuat. Aku berusaha untuk mendapatkan kesadaran kembali dengan membuka mata. Saat mataku terbuka, kaget tak terkira. Pandanganku kembali jelas. Aku masih terombang-ambing dalam keadaan terjun bebas di udara.

"Loh!? Aku masih hidup, toh? Bentar, ini beneran kan?"

Aku memperhatikan cuaca di sekeliling berubah menjadi kondusif lagi. Tak ada lagi awan hitam yang menggelayuti langit. Aneh rasanya dengan fenomena alam yang tadi terjadi. Semoga saja rekan-rekanku yang lain selamat dan mendarat dengan sempurna. Aku pun memeriksa tubuh dengan seksama, padahal seharusnya tubuh ini terkena luka bakar setelah tersambar petir. Namun, tak sehelai luka pun yang kuterima. Bahkan, pakaian dan peralatan militerku masih utuh.

"Apa tadi cuma mimpi ya? Hem, masa sih? Ah, gak mungkin banget!! Tapi tadi itu aku yakin banget kalau aku udah mati," kataku meracau.

Setelah memastikan keadaan kembali normal, aku mencoba menghubungi rekan-rekan. Sayangnya, tidak ada tanggapan, aku kembali mendengar suara berderak.

"Kampret, kenapa ini gak bisa? Wah pelanggaran ini!!" seruku dengan geram.

Aku tak peduli dengan kemungkinan alat komunikasi rusak. Setelah merasa ketinggian di udara cukup, aku mengibaskan parasut untuk turun dari ketinggian tersebut. Setelah parasut terbuka, aku mencoba melihat ke sekitar untuk mencari tempat mendarat yang ideal. Namun, dengan cepat aku menyadari bahwa saat ini berada di tengah hutan belantara yang penuh dengan pepohonan. Melihat pemandangan ini membuatku mengernyitkan dahi.

"Lah, lokasinya bukan di wilayah latihan biasa. Kenapa aku malah ke tempat ini? Ah, ini bisa menjadi masalah!" gumamku bingung.

Sesuai dugaan, pendaratanku berakhir dengan kurang mulus. Parasutku terperangkap di antara cabang-cabang pohon. Untungnya, tidak terlalu jauh dari tanah, memungkinkanku untuk merapikan dan melipat parasut kembali ke dalam tas. Namun, parasut tersangkut dan tali-talinya saling melilit, memaksa ku untuk ekstra hati-hati agar tidak ada tali yang putus.

Dalam latihan kali ini, aku diberi tugas untuk membawa sejumlah besar peralatan dan persediaan. Hal ini benar-benar merepotkan ku. Tugasku adalah membawa dua tas dengan total kapasitas 100 liter yang penuh dengan peralatan dan perlengkapan militer. Menjalankan tugas ini merupakan tantangan bagiku.

Dalam latihan kali ini, aku dipersenjatai dengan Senapan Serbu SS2 varian V5-A1 yang dilengkapi dengan Scope empat kali pembesaran dan Suppressor, serta pistol G2 Premium.

Tak hanya itu, sebagai seorang penembak jitu, aku juga dibekali dengan Senapan Sniper berjenis SPR 3 yang dilengkapi dengan Scope dua belas kali pembesaran dan Suppressor. Selain itu, aku juga membawa beberapa bom dan perlengkapan militer lainnya.

Selain senjata api, aku juga membawa senjata tajam seperti kujang, kunai, karambit, dan pisau belati. Ini berguna saat melancarkan serangan dari jarak dekat.

***

Setelah selesai merapikan parasut, aku mulai memeriksa perlengkapan. Tujuannya adalah memastikan semuanya dalam keadaan aman dan tidak ada yang hilang. Beruntungnya, semua perbekalan masih lengkap, termasuk ransum, obat-obatan, pakaian cadangan, amunisi, dan perlengkapan bertahan hidup lainnya.

Oh iya, bicara tentang penampilanku sekarang. Aku mengenakan pakaian militer yang ketat dengan motif loreng TNI. Di leherku, ada bandana merah. Aku juga menggunakan rompi anti peluru, helm militer, dan earphone yang terpasang di telinga. Ini berguna agar aku dapat berkomunikasi dengan rekan-rekan lain melalui radio HT. Selain itu, aku juga dilengkapi dengan sebuah jam radar kecil yang terpasang di lengan kanan.

(Teknologi jam ini belum ada sebenarnya di realife. Jam Radar ini adalah inovasi dari Author sendiri atau bisa dibilang alat fiksi ilmiah.)

Setelah mengecek peralatan, aku mencoba menghubungi rekan-rekan Komando dengan mengirimkan sinyal darurat SOS menggunakan Personal Locator Beacon (PLB), yang merupakan alat militer pemancar sinyal

Ups! Gambar ini tidak mengikuti Pedoman Konten kami. Untuk melanjutkan publikasi, hapuslah gambar ini atau unggah gambar lain.

Setelah mengecek peralatan, aku mencoba menghubungi rekan-rekan Komando dengan mengirimkan sinyal darurat SOS menggunakan Personal Locator Beacon (PLB), yang merupakan alat militer pemancar sinyal. Bentuknya hampir mirip dengan handy talky, hanya saja memiliki fungsi yang berbeda.

***

Aku sudah menunggu lama kurang lebih sehari semalam penuh, belum ada tanda-tanda bantuan yang datang. Hal itu membuatku semakin stress.

"Ini bantuan kapan datangnya, cok. Biasanya tu orang-orang gak sampe ngaret gini. Wah pelanggaran ini!! Apa emang bener kalau aku ngilang?"

Dari tempat ini berdiri, aku mendekati PLB yang kuletakkan di dalam tenda. Aku merasa aneh, setelah memeriksanya dan mencoba mengirimkan sinyal menggunakan PLB, tak ada seorang pun yang menangkapnya. Aku berusaha untuk tetap tenang dalam kepanikan ini. Dalam keadaan putus asa, aku terus berusaha memperbaiki alat pemancar sinyal, berharap akan ada hasil yang muncul. Namun, setiap kali kegagalan terus menghantui dan menggerogoti semangatku.

"Ada yang salah apa ya? Wes wes," kataku sambil berkacak pinggang dengan mengucapkan logat khas Jawa ku.

Dalam kekacauan pikiran ini, aku menarik napas panjang, mencoba menenangkan diri. Gelombang kekecewaan itu semakin besar, meruntuhkan harapanku. Namun, tiba-tiba muncul suatu ide dalam benakku. Mengapa tidak mencoba menggunakan Smartphone Militer saja?

The Destiny of Parallel Worlds: Chosen As The Hero Commander (Ghost of Fluoran)Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang