CHAPTER 9 : Sentimen

72 11 2
                                    

POV Yudha

Aku mencoba menceritakan situasi kepada mereka. Cerita terurai satu per satu, namun keraguan masih tersembunyi di mata mereka. Mereka mempertanyakan apakah benar aku yang telah membunuh puluhan bandit ini.

Pak tua mengerutkan dahinya, ragu tergambar jelas di wajahnya. "Kau yang membunuh mereka? Bagaimana kau melakukannya?" tanyanya dengan suara penuh keheranan dan ketidakpercayaan. "Tidak, aura pembunuhmu cukup untuk meyakinkan kami. Aku yakin kaulah orangnya," lanjutnya dengan tegas.

"Aura pembunuh?" pikirku, kesulitan memahami apa yang sedang terjadi. "Aku gak ngerti," gumamku dengan kebingungan mendalam.

Ketegangan terasa ketika para anggota rombongan mendengar pernyataan Pak tua. Alis mereka berkerut, ekspresi yang menggambarkan kekaguman campur rasa tak percaya.

Pendekar wanita itu terdengar bergumam dengan terkejut, "Apa?! Jadi dia memang orangnya?" Suaranya penuh dengan keheranan.

"Sulit dipercaya bagaimana dia melakukan itu? Apa dia menggunakan ilmu sihir?" Pendekar pria yang bersamanya bergabung dalam percakapan dengan nada takjub.

"Apa kau orang kiriman dari ibu kota?" tanya Pak tua.

"Bukan, sebenarnya saya hanya kebetulan lewat sini dan melihat kekacauan ini dari atas bukit. Jadi saya berinisiatif membantu," jawabku dengan hati-hati.

Pak tua mengernyitkan dahinya, wajahnya penuh dengan keraguan. Namun, kilatan penghargaan muncul di matanya. "Jika itu benar, terima kasih, Anak muda. Tanpamu, kami pasti berakhir di sini. Tindakanmu telah mencegah bencana antara kedua kerajaan," ucapnya dengan suara serak.

Kata-kata itu membingungkan, membuat alis kiri ku terangkat tinggi. "Bencana antara kedua kerajaan? Apa yang terjadi?" tanyaku dengan penuh kebingungan.

Pak tua mengambil napas panjang dan mulai menjelaskan situasi yang tengah berlangsung. Para bandit yang sekarang kami hadapi adalah anggota pemberontak dari Kerajaan Sivieth yang sedang melarikan diri dari wilayah mereka. Di bawah kepemimpinan seseorang yang tak dikenal, mereka menyelinap ke hutan ini untuk sembunyi dari hantaman pasukan Sivieth.

Ironisnya, Kerajaan Elceria sama sekali tidak menyadari kedatangan mereka. Keberadaan mereka di sini adalah bahan bakar yang siap meletuskan perang antara kedua kerajaan. Terkuaklah tujuan ganas di balik penyerangan oleh kelompok berandal ini adalah memperburuk hubungan diplomatik antara kedua negara. Bayangkan, jika Pak tua ini gugur di sini, kerajaan Elceria akan menuding Sivieth sebagai dalang pembunuhan atas diplomat mereka.

Percikan api ini akan menjadi bara yang membakar dan memicu konflik yang lebih dahsyat, membangunkan ambisi pemberontak untuk merebut kembali takhta Kerajaan Sivieth. Setelah tiba di Sivieth, Pak tua pun menerima laporan tentang kelompok pemberontak yang tersembunyi di dalam lebatnya hutan Fluoran. Begitu mereka kembali dari negeri Sivieth, Pak tua dan rombongannya berjaga-jaga, mengendus bahaya pemberontak yang mungkin mengintai jelang memasuki wilayah hutan Fluoran.

"Maka dari itu, karena engkau berhasil menyelamatkan kami semua, kau patut mendapatkan penghargaan, Anak muda. Kami berhutang nyawa padamu," ujar Pak tua dengan suara penuh rasa syukur.

Namun, perkataan tersebut sepertinya masih diragukan oleh Pendekar wanita yang mengenakan setelan serba hitam. Suaranya terdengar tajam saat ia berkata dengan bahasa yang tak kuerti, "Tunggu, Tuan Leonard. Jangan terburu-buru percaya padanya. Kita perlu memastikan bahwa dia benar-benar adalah orang yang baik. Aura pembunuh yang begitu kuat tidak mungkin dimiliki oleh seseorang dengan niatan baik."

Pak tua, yang terdengar dipanggil Leonard, kembali menatapku. "Nampaknya ada anak buahku yang masih meragukanmu. Bisakah kamu menghilangkan aura pembunuh itu terlebih dahulu?"

The Destiny of Parallel Worlds: Chosen As The Hero Commander (Ghost of Fluoran)Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang