CHAPTER 22 : Trauma

52 9 0
                                    

"Nona Chinua, apa kamu gakpapa?" tanyaku dengan nada khawatir. Aku benar-benar cemas jika serangan monster itu melukainya.

"Monster kayak gitu butuh seratus tahun buat menyakiti aku, serangan kayak gitu gak akan ngebuatku terluka," sahutnya dengan sedikit kesombongan.

Aku menjadi semakin penasaran mengenai asal-usul Nona Chinua, siapa sebenarnya dirinya? Seiring dengan gerakannya yang lincah dan tangkas dalam menghindari serangan ganas monster tadi, tidak bisa dipungkiri bahwa dia adalah seorang pendekar tingkat tinggi.

Keingintahuanku beralih pada sebuah batu yang berkilauan di tangan Nona Chinua. Sepertinya batu itu adalah inti kekuatan milik monster tadi. Untuk mengonfirmasi, aku pun kembali bertanya.

"Benda apa itu?" tanyaku dengan penuh keheranan.

"Nggak mungkin kamu gak tahu! Ini inti mustika monster. Gelang yang kamu pake itu juga terbuat dari benda ini," jawab Nona Chinua dengan nada heran.

"Gitu ya, aku sama sekali kurang tahu soal itu," kataku terkejut.

Mendengar kata-kataku, Nona Chinua menepuk kepalanya pelan, seolah mengherankan kebodohanku. "Coba pikirin, sejak kapan kamu bisa hidup di dunia ini tanpa tahu dasar-dasar tentang monster sama kekuatan mereka?" ucapnya dengan keheranan.

Perkataannya memang benar adanya, aku harus mulai mempelajari dunia ini dengan lebih serius. Aku harus memahami sihir dan logika yang berlaku di dunia ini. Dugaanku sebelumnya ternyata tepat, batu itu memang menjadi sumber kekuatan monster itu.

"Udahlah, jangan terlalu terjebak dalam kebingungan. Yang penting sekarang, kita harus bantu para prajurit ini," ujar Nona Chinua yang perihatin dengan kondisi sekarang.

Pemandangan di sekeliling kami sangatlah suram. Para prajurit terluka, dari ringan hingga parah. Kebingungan melanda, kami merasa tidak tahu bagaimana cara untuk menyembuhkan mereka semua. Aku berpikir, jika ada seorang penyembuh atau tabib dalam regu ini, akan sangat membantu. Namun, sayangnya tidak ada.

"Apa gak ada cara instan buat nyembuhin mereka?" tanyaku, rasa penasaran masih menggelitik.

"Cara instan emang ada, tapi cuma orang-orang tertentu yang punya kemampuan itu. Biasanya tabib bekerja di bawah naungan katedral. Mereka punya keahlian penyembuhan yang efektif buat berbagai macam luka. Sayangnya, mereka gak mau kerja secara cuma-cuma. Mereka pasti mematok harga mahal buat menyembuhkan pasien. Gak semua tabib begitu, tapi rata-rata," jelas Nona Chinua dengan wajah bimbang.

Aku terheran-heran dengan orang di dunia ini. Betapa banyaknya orang yang kehilangan moralitas. Aku dibawa ke dalam dunia yang penuh kemunduran dan kekacauan. Barangkali salah satu tujuanku datang ke dunia ini adalah untuk memperbaiki moralitas mereka.

"Apa kamu bisa melakukan sesuatu sama sihirmu?" tanyaku dengan rasa ingin tahu yang memuncak, berharap bahwa Nona Chinua memiliki cara penyembuhan khusus.

"Aku memang bisa, tapi punya batasan. Selain itu, metode penyembuhan yang aku gunain beda sama kebanyakan orang di negara ini. Aku cuma mampu menyembuhkan satu orang aja, dan tentunya adikku yang jadi prioritas utama ku," jelasnya dengan nada yang penuh perhatian.

Setelah mendengarkan penjelasannya, aku menyadari bahwa teknik penyembuhan menggunakan sihir tidak bisa dipelajari begitu saja oleh sembarangan orang. Mungkin diperlukan bakat alami atau dedikasi yang besar untuk menguasainya. Tuan Leonard dengan yakin menentukan saat yang tepat untuk turun dari wagon. Sementara itu, Syira mengikutinya dengan hati-hati. Dia melihat banyak prajurit yang terkapar di sekeliling mereka.

"Kenapa bisa seperti ini?" tanya Tuan Leonard dengan putus asa.

"Hal buruk memang sulit dihindari, Tuan Leonard. Mari kita hadapilah dengan kepala tegak," jawab ku, agar menaikan semangatnya kembali.

The Destiny of Parallel Worlds: Chosen As The Hero Commander (Ghost of Fluoran)Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang