3. NAGA BUMI

18 5 1
                                    

° ayo kita berlayar...✨

°

°

°

Omeir bergegas setelah melahap sisa makanan tadi malam, " pelabuhan ini tak begitu buruk untuk ditinggali " pikir Omeir, yang tiba-tiba berubah pikiran ingin membatalkan perjalanan.

"Omeir.. "

Rubin menggigit mantel Omeir yang masih tergeletak "apa?, Coba katakan yang lain Rubin! Aku tak paham dengan omeir, omeir dan omeir ". Cetus Omeir sedikit kesal karena tersadar bahwa misinya mencari semenanjung Timur belum terpecahkan. Tangannya mengepal memukul pohon kelapa di sampingnya.

Rubin tetap tak peduli dengan ucapan omeir yang seakan-akan marah padanya. Mantel tetap ditariknya penuh semangat, ekornya bergerak ke kanan dan kiri, telinganya mengepak senang.

"Ayo!"

Kata kedua yang Rubin ucapkan, Omeir terbelalak kaget, seketika ia urungkan niat menetap di pelabuhan, lagipula telinga nya sudah mulai mendengar lonceng pasukan peri yang memburunya.

Tekadnya bulat untuk melanjutkan perjalanan, ia akan pergi untuk mengaju bandingkan Rubin kepada Hakim besar metology di ibukota, pasti.

"Kehadiranmu pasti diterima". Ujar Omeir bersemangat, penuh tekad, keputusannya sudah bulat.

Tanpa sadar, mata zamrudnya kembali lagi menyala, mengerah kepada seorang pria bertubuh kekar, berkulit hitam, tinggi, botak dan berpakaian tidak seperti orang lainnya. Terlihat lebih kuno dan kontras dengan kulitnya yang gelap, warna baju yang dipakai nya berwarna putih tulang dengan celana ungu tua. Di tangan kanannya memegang sebuah kunci, dan tangan kirinya menggenggam sebuah tongkat berbentuk seperti trisula.

Kesan pertama omeir "aneh". Tapi dari keanehan itu secercah harapan datang lagi, pasalnya peta yang sudah begitu jelas dicek berapa kali pun lokasi semenanjung Timur masih tetap terlihat. entah mengapa awak-awak kapal satupun tiada yang tahu lautan semenanjung Timur? Bukankah lautan sudah seperti jalan hari-hari bagi para nelayan, dan awak-awak kapal? Bukankah itu jalan tercepat untuk ke ibukota? Entahlah...... Pikir Omeir masih belum menemukan jalan, fikirannya seakan buntu hingga dia terus mengikuti arah yang di tunjukkan mata zamrudnya.

Omeir bergegas, orang hitam itu ada di tepi pantai, dengan badan tegap dan menerawang sesuatu yang disekitar nya. tentu jelas terlihat dia sedang menjaga sesuatu.

Keadaan terlihat aman, mata Omeir kembali menjadi coklat hazel dengan kornea almond. Rambutnya yang acak-acakan membelah terhempas angin.

"Permisi"

belum sempat Omeir selesai berbicara, orang tinggi berkulit hitam berbadan tegap tanpa aba-aba langsung menggaret dengan paksa.

"Tuan! Saya mau dibawa ke mana?" Ringik Omeir menahan Rubin dalam pelukan.

"Sudah diam!" Orang hitam itu menyentak kasar, dengan suaranya yang berat dan serak.

Dari wajahnya terlihat banyak bekas sayatan luka dengan tato di bawah telinga yang melingkar ke leher belakang hingga leher bawah dengan tato bergambar naga.

"Tuan! , setidaknya jawab dulu ada keperluan apa saya dibawa ke sini?" Geram Omeir lagi.

"Ini kapten punya kuasa!" Suara lelaki hitam itu lebih serak dari sebelumnya, terdengar sarkas dan culas. Namun tidak sekadar tadi.

"Ah... Aku tak kenal dengan kaptenmu, aku hanya anak ingusan yang diusir dan sekarang aku ingin pergi" suara Omeir meraung-raung kesakitan. Pasalnya tangan lelaki itu mencengkram kerah belakang Omeir hingga lehernya tercekik.

"Diam!" Lelaki itu semakin culas saja Omeir lantas kesal, mantra penghilang diri diluncurkan begitu mulusnya.

"Lasasgiee! "

lelaki hitam itu tetap saja menyeret kerah omeir, pandangannya fokus kedepan, Meski Omeir meluncurkan mantra penghilang diri.  Lelaki itu tetap tak peduli, acuh dengan keadaan, bahkan sekalipun tak melihat.

"Sial!", rutuk Omeir

"Oi! Mau kau bawa kemana diriku?" Tanya Omeir geram, tangannya mengepal hebat.

Si lelaki hitam diam saja, semakin ketus perangainya. Tak bisa lagi Omeir menentang, dia pasrah dan mengikuti arus berjalannya memasuki lorong sempit, gelap dan pengap. hanya ada dua lilin yang menerangi lorong-lorong itu.

Omeir gelagapan, melihat dirinya sudah tergeletak lunglai dalam lorong itu meraba-raba ruang sekitar, memastikan ia menemukan ada jalan keluar.

Diam, terdiam berfikir "Zaini light!" Sontaknya mengajukan tangan, cahaya jingga menggelora menerangi setelah di ucapnya mantra cahaya. Meski cahayanya tak seterang lampu bolham karena tenaga Omeir hampir habis untuk hari melelahkannya. Tak apa meski ruangan tak begitu terang sisa-sisa tenaga dia keluarkan, "setidaknya Aku bisa melihat ada air yang bisa di minum" Omeir tersenyum simpul.

Terlihat berpuluh-puluh tong air, gandum, daging ayam, sapi, roti dan...... Rubin dan omeir tentunya.

Ternyata ini lumbung makanan, dia disandra di dalamnya "pantas saja baunya menyengat" gerutu omeir.

Rubin meringik ketakutan, tapi rasa takutnya kalah dengan rasa laparnya, Rubin mengendus bau wortel di sampingnya, dengan lahap Rubin memakannya. Tak jauh beda dengan omeir yang sudah meminum air di dalam tong dan melahap roti yang tersedia di meja.

BRAAAKK!!!!!

Ada yang membuka ruangan ini, Omeir terbelalak kaget sekaligus lega. Semoga bukan si hitam botak tadi. ujarnya penuh harap dalam hati.

Betul saja seorang wanita
dengan tinggi 165 cm dengan baju zirah lengkap menghampiri Omeir dan Rubin. Tangan omeir masih menghembuskan cahaya kilat jingga, dengan tangan yang satu lagi masih melahap roti, si wanita berbaju zirah itu melepas topeng zirahnya. Barulah terlihat rambutnya yang rata di atas pundak, terlihat seperti seorang ksatria wanita yang hebat.

"Bocah!, ayo ikut aku" ucapnya dengan nada galak. spontan mengikuti si wanita berbaju zirah dengan menggendong ransel dan Rubin, tentunya mulut Rubin masih penuh dengan wortel.

_____---______---________---________

Pencahayaan Omeir semakin lama semakin  meredup, tanda cahaya di luar mulai menerpa dengan cepatnya, ruangan sudah terang kembali. di sepanjang lorong terjajar bahan makanan dan persediaan minuman.

"Siapa namamu bocah?" Wanita itu menoleh rendah karena omeir lebih pendek darinya.

"Omeir jackot" jawab Omeir cepat.

"Selamat datang di Nagabumi, MZ..... Maaf kalau peron bersikap kasar padamu". wanita itu tersenyum seperti tak terjadi sesuatu. Lagatnya kini terlihat lucu.

"Peron?, lelaki hitam tadi, si culas itu?" Omeir terbelalak tak percaya. Lelaki seseram dia bernama seimut itu.

"Baiklah, perkenalkan, aku Leona selaku penjaga kapal Naga bumi" ucap wanita yang mengaku bernama Leona itu dengan sopan.
Leona tersenyum menyipitkan mata.

"boleh aku bertanya?" Leona mengiyakan pertanyaan omeir.

"Mengapa aku dipaksa untuk masuk di kapal naga bumi ini?, dan mengapa aku disekap di lumbung makanan seperti tadi?" Omeir menimbun pertanyaan dengan kesal.

Leona hanya tersenyum menanggapi, "ah maaf..... Maaf..... Daniel memang keterlaluan".

"Siapa lagi itu Daniel? "Omeir menggaruk kepalanya yang tidak gatal. Sejujurnya dia bingung dengan keadaan yang baru saja menimpanya.

"Nanti kau akan bertemu dengannya. lagipula bukankah kau ingin melewati semenanjung Timur?"

Tiba-tiba pertanyaan Leona menyentakkan, bagai tau apa yang selama ini Omeir cari.

Omeir tersenyum memahami maksud Leona kali ini, tak banyak bertanya, tak banyak menuntut, meski hati dan fikirannya banyak menerka, siapakah kapten yang membawanya, dan apa itu naga bumi.

_______-------______-----______-----

Adanu MaitriTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang